
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Farhan dan Dosa Lama Bandung)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Muhammad Farhan baru saja menapaki bulan pertamanya sebagai Wali Kota Bandung. Mantan presenter televisi itu kini berdiri di panggung politik lokal yang jauh lebih berliku dibandingkan sorotan lampu studio. Harapan warga menggantung di pundaknya, tetapi warisan dosa lama birokrasi Bandung tak bisa dihapus hanya dengan retorika atau semangat belaka.
Bandung bukan sekadar ibu kota Jawa Barat, melainkan etalase bagi kota-kota lain di Indonesia. Citra kota ini sebagai pusat kreativitas dan inovasi sering kali bertolak belakang dengan wajah aslinya: macet, tata kota semrawut, korupsi birokrasi, dan pelayanan publik yang tertatih-tatih. Farhan berjanji membawa perubahan. Tapi pertanyaannya: sejauh mana ia mampu menjebol kebiasaan lama yang sudah mengakar?
Dosa Lama Bandung
Setiap pemerintahan di kota besar pasti memiliki problematika, tetapi Bandung memiliki dosa-dosa lama yang terus berulang. Dari satu wali kota ke wali kota berikutnya.
Pertama, korupsi yang mengakar di birokrasi. Kota Bandung bukan hanya pernah tersandung kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi. Tetapi juga praktik rente yang menjadi rahasia umum. Mulai dari perizinan usaha, proyek infrastruktur, hingga pengelolaan aset daerah, semuanya kerap berbau korupsi. KPK sudah berkali-kali turun tangan, tetapi akar masalahnya tak pernah benar-benar dicabut.
Kedua, tata kota yang semakin kacau. Bandung pernah dijuluki “Paris van Java,” tetapi kini lebih mirip “Kota Beton van Macet.” Ruang publik semakin tergerus oleh pembangunan yang tak terkendali, sementara drainase buruk menyebabkan banjir langganan. Jalan-jalan yang seharusnya menjadi akses lancar bagi warga justru menjadi arena parkir liar dan kemacetan yang tak berkesudahan.
Ketiga, pelayanan publik yang lamban dan berbelit. Dari pengurusan KTP, izin usaha, hingga layanan kesehatan, masih banyak warga yang mengeluhkan birokrasi yang bertele-tele. Era digital seharusnya membuat pelayanan lebih cepat dan transparan. Tetapi justru di banyak lini, prosesnya tetap saja diwarnai pungutan liar dan calo perizinan.
Semua ini bukan masalah yang lahir dalam semalam. Dosa lama ini adalah akumulasi dari kebijakan yang setengah hati, pengawasan yang lemah, dan kepentingan oligarki lokal yang terlalu nyaman dengan status quo.
Tantangan Perubahan
Sejak awal, Farhan menegaskan bahwa ia tak ingin terjebak dalam ilusi “100 Hari Kerja.” Ia mengklaim akan bekerja setiap hari, bukan sekadar mengejar pencitraan. Sikap ini patut diapresiasi, tetapi tantangan utama tetap ada: sejauh mana ia bisa mengguncang sistem yang sudah mapan?
Ada beberapa faktor yang akan menentukan sukses atau gagalnya Farhan dalam membangun Bandung yang lebih baik.
Pertama, bersih-bersih birokrasi. Tidak cukup hanya dengan pidato dan instruksi moral kepada ASN, Farhan harus berani melakukan audit menyeluruh terhadap dinas-dinas yang selama ini menjadi sarang pungli dan korupsi. Reformasi birokrasi di tingkat daerah harus dimulai dari rekrutmen yang transparan, promosi berbasis kinerja, dan digitalisasi layanan yang menghilangkan celah korupsi.
Kedua, membongkar mafia tata kota. Pembangunan Bandung selama ini lebih banyak dikendalikan oleh para pemilik modal besar, bukan oleh kepentingan publik. Perubahan zonasi sering kali lebih ditentukan oleh lobi-lobi pengembang ketimbang visi pembangunan berkelanjutan. Jika Farhan benar-benar ingin meninggalkan jejak sejarah, ia harus berani melawan kepentingan-kepentingan ini dan mengembalikan tata kota ke jalurnya.
Ketiga, mewujudkan pelayanan publik berbasis kepercayaan. Warga Bandung butuh layanan yang cepat, transparan, dan tanpa pungli. Digitalisasi memang sudah berjalan di beberapa sektor, tetapi masih banyak yang belum optimal. Farhan harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang dibuat benar-benar dirasakan dampaknya oleh warga, bukan sekadar proyek berbasis angka-angka statistik yang hanya bagus di laporan akhir tahun.
Politik Lokal dan Godaan Kekuasaan
Tak bisa dimungkiri, politik lokal sering kali lebih brutal daripada politik nasional. Wali Kota bukan hanya harus menghadapi birokrasi yang bandel, tetapi juga dinamika DPRD yang penuh tarik ulur kepentingan. Banyak program bagus yang akhirnya mandek karena kepentingan politik yang lebih dominan daripada kesejahteraan publik.
Farhan, sebagai sosok yang sebelumnya lebih dikenal di dunia media dan hiburan, perlu menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar pemimpin populis yang hanya pintar bicara. Ia harus membuktikan bahwa ia bisa berdiri di atas semua kepentingan politik dan memprioritaskan warga Bandung di atas segalanya.
Tantangan lainnya adalah godaan kekuasaan itu sendiri. Banyak kepala daerah yang memulai dengan niat baik, tetapi di tengah jalan tergoda oleh kenyamanan jabatan, transaksi politik, atau iming-iming proyek besar. Jika Farhan ingin mengukir sejarah sebagai wali kota yang berbeda, ia harus berani menolak segala bentuk kompromi yang mengorbankan kepentingan rakyat.
Tindakan Bukan Sekadar Janji
Warga Bandung sudah terlalu sering mendengar janji perubahan dari pemimpin sebelumnya. Yang mereka butuhkan saat ini bukan sekadar narasi optimistis atau tagline kampanye, melainkan tindakan konkret yang bisa dirasakan.
Farhan punya modal awal yang cukup baik: citra sebagai orang luar yang tidak terlalu lekat dengan jaringan oligarki lokal, pengalaman di dunia politik nasional, serta kemampuan komunikasi yang kuat. Tapi tanpa keberanian untuk mengguncang status quo, ia bisa saja berakhir sebagai wali kota yang hanya numpang lewat dalam sejarah Bandung.
Bandung berada di persimpangan. Apakah kota ini akan tetap tenggelam dalam dosa lama ataukah benar-benar berubah? Jawabannya ada di tangan Farhan dan sejauh mana ia bisa bertahan dari jebakan politik lokal yang penuh godaan.
Sejarah akan mencatat. Apakah Farhan sekadar nama di deretan wali kota yang datang dan pergi, ataukah ia akan menjadi sosok yang benar-benar mengubah wajah Bandung? Warga Bandung menunggu jawabannya. (han)