BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Bitcoin (BTC), aset kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia, kembali ambruk setelah harga menembus batas psikologis US$80.000.
Sentimen negatif ini diperburuk oleh kekhawatiran investor terhadap dampak ekonomi global. Akibat kebijakan tarif perdagangan baru dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Berdasarkan data CoinMarketCap pada Senin (7/4/2025), harga Bitcoin sempat menyentuh level US$83.700 sebelum ambruk ke titik terendah harian di US$77.000—menandai penurunan lebih dari 5% dalam 24 jam.
Ini merupakan level harga yang terakhir terlihat pada November 2024. Sesaat setelah Trump kembali terpilih sebagai Presiden AS.
Hingga saat ini, harga Bitcoin sedikit pulih ke kisaran US$78.800. Dengan kapitalisasi pasar turun menjadi sekitar US$1,56 triliun—terpaut 27% dari rekor tertinggi pada Januari 2025.
Penurunan harga BTC turut menyeret aset kripto utama lainnya. Ether (ETH), XRP, dan Solana (SOL) tercatat mengalami koreksi signifikan di kisaran 11% hingga 12%.
Akibatnya, kapitalisasi pasar kripto global terkikis lebih dari 6% dan menyisakan nilai sekitar US$2,51 triliun.
Di pasar derivatif, tekanan jual tak kalah besar. Menurut CoinGlass, nilai likuidasi posisi mencapai lebih dari US$890 juta dalam sehari.
Posisi long menjadi yang paling terpukul, dengan likuidasi melebihi US$758 juta. Dari total tersebut, Bitcoin menyumbang lebih dari US$308 juta. Diikuti oleh Ether dengan hampir US$258 juta.
Ketegangan Perdagangan Global Memicu Kekhawatiran Resesi
Volatilitas tajam ini dipicu oleh eskalasi perang dagang global. Menyusul kebijakan tarif impor menyeluruh yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump.
Langkah ini tidak hanya menyasar Tiongkok dan Eropa, tetapi juga negara mitra dagang lainnya termasuk Indonesia.
Kebijakan tersebut memunculkan kekhawatiran investor atas ancaman resesi. Dan memicu aksi jual besar-besaran terhadap aset berisiko seperti kripto dan saham.
Data S&P Dow Jones Indices mencatat, hanya dalam dua sesi perdagangan sejak pengumuman tarif, pasar global kehilangan kapitalisasi sebesar US$7,46 triliun.
Dari jumlah itu, pasar saham AS menyumbang US$5,87 triliun. Sedangkan bursa global lainnya merugi US$1,59 triliun.
Situasi ini bahkan menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya peristiwa “Black Monday” seperti pada Oktober 1987. Ketika pasar saham ambruk dalam waktu singkat.
Jim Cramer, analis dan pembawa acara Mad Money di CNBC, menyebut kondisi saat ini sangat rentan terhadap krisis serupa.
“Sulit membentuk tatanan dunia baru secara mendadak. Upaya panik sedang dilakukan, tapi sejauh ini tidak ada yang bisa menjauhkan kita dari skenario Oktober 1987,” tulis Cramer melalui akun X (Twitter) pribadinya.
Sebaliknya, Max Keiser, tokoh pendukung Bitcoin, memandang krisis pasar sebagai peluang besar bagi kripto.
Ia meyakini bahwa kepanikan global justru akan mendorong lonjakan harga Bitcoin secara drastis.
“Triliunan dolar kekayaan akan mencari tempat berlindung paling aman: Bitcoin,” tulis Keiser. Bahkan memprediksi harga BTC bisa menembus US$220.000 sebelum akhir bulan. (han)











