CIMAHI, WWW.PASJABAR.COM – Forum Komunikasi Kepala SMK Swasta atau FKKSMKS Kota Cimahi menyampaikan berbagai permasalahan dunia pendidikan kepada Anggota Komisi X DPR RI Hj. Ledia Hanifa Amaliah, S.Si., M.Psi.T., dalam kegiatan diskusi dan penyampaian aspirasi yang digelar di SMK Pasundan 3 Kota Cimahi, Senin (2/6/2025).
Kegiatan FKKSMKS Kota Cimahi ini merupakan bagian dari pelaksanaan program kerja FKKSMKS tahun 2024/2025. Dan dihadiri oleh para kepala sekolah serta wakil kepala sekolah SMK swasta se-Kota Cimahi.
Selain sebagai ajang silaturahmi, forum ini menjadi ruang terbuka untuk menyuarakan tantangan yang dihadapi sekolah swasta. Khususnya dalam aspek pendanaan, regulasi, dan pemenuhan hak serta kewajiban dalam proses pendidikan.
Kepala SMK Pasundan 3 Kota Cimahi, Subaryo, S.Pd., M.Pd., menyampaikan bahwa kegiatan ini telah dirancang sejak lama. Dan kehadiran Hj. Ledia Hanifa diharapkan mampu menjembatani aspirasi lapangan kepada pihak-pihak terkait.
“Diskusi ini menjadi ajang untuk mengeluarkan unek-unek tentang realita di sekolah swasta. Saat ini, sekolah swasta seakan tidak dilihat. Perlambatan pendapatan sekolah akibat dinamika pendidikan di Jawa Barat menjadi salah satu dampak serius yang perlu disikapi,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Hj. Ledia Hanifa menanggapi langsung berbagai isu yang disampaikan.
Mulai dari kompetisi ketat antara sekolah negeri dan swasta, pengurangan alokasi Program Indonesia Pintar (PIP) bagi jenjang SMA/SMK. Hingga keterbatasan anggaran pendidikan.
“Persaingan antara sekolah negeri dan swasta saat ini sangat ketat, seperti persaingan bisnis, padahal orientasi pendidikan bukan itu. Kita harus memperhatikan semua, bukan hanya sekolah negeri. Apalagi, peraturan-peraturan di Jawa Barat pun masih sering hanya berbentuk lisan, belum tertulis,” ujar Ledia.

Ia menyoroti pentingnya regulasi tertulis dan kesinambungan kebijakan antara pusat dan daerah.
Pentingnya peran Orang Tua hingga Pemerintah
Dalam wawancaranya, Ledia menegaskan bahwa pendidikan swasta tidak bisa hanya mengandalkan bantuan pemerintah. Mengingat sumber daya awal sekolah swasta berasal dari masyarakat.
“Kebijakan publik tidak boleh menyebabkan pergeseran paradigma. Masyarakat tetap harus diedukasi bahwa menyekolahkan anak adalah tanggung jawab orang tua. Masuk ke sekolah swasta berarti siap dengan konsekuensinya, termasuk pembiayaan. Kalau memang tidak mampu, harus dikomunikasikan dengan sekolah. Bukan berlindung di balik pernyataan bahwa ijazah harus diberikan gratis,” tegasnya.
Ledia juga menyampaikan bahwa pihaknya di Komisi X DPR RI tengah mengupayakan agar kebijakan PIP kembali diarahkan untuk mendukung program wajib belajar 13 tahun.
Ia berharap, regulasi yang dihasilkan bisa lebih proporsional dan adil bagi sekolah negeri maupun swasta.
Kepala SMK Pasundan 3, Subaryo, juga menambahkan bahwa salah satu hal penting yang dibahas dalam forum ini adalah tuntutan penyempurnaan petunjuk teknis (juknis) BOS, khususnya terkait honor guru.
“Selama ini guru swasta yang bersertifikasi tidak mendapat keleluasaan sebagaimana guru PNS. Kami berharap ada fleksibilitas alokasi dana BOS hingga 50 persen untuk honor, dan tidak dibatasi hanya untuk guru yang belum bersertifikasi saja. Harusnya yang sudah bersertifikasi juga bisa,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa pola pikir orang tua yang terlalu bergantung pada pemerintah dalam membiayai pendidikan sangat berbahaya. Apalagi saat kemampuan keuangan negara masih terbatas.
“Orang tua adalah faktor penting dalam pendidikan. Mereka harus sadar akan tanggung jawabnya. Melalui forum ini, kami berharap sinergi antara sekolah swasta, Komisi X DPR RI, dan pemerintah semakin kuat agar pendidikan dapat berjalan baik tanpa konflik,” pungkas Subaryo. (han)












