
Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si., Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan (Pengertian Din, Religi dan Agama dalam buku Mengenal Kesempurnaan Manusia)
WWW.PASJABAR.COM – Term din berasal dari bahasa Arab, yang memiliki arti harfiah yang cukup banyak, seperti pahala, ketentuan, kekuasaan, peraturan dan perhitungan. Dalam Qamus al-Muhith, kata din diartikan kekuasaan, kemenangan, kerajaan, kerendahan hati, kemuliaan, perjalanan, peribadatan, dan paksaan.
Dalam wacana Islam, ditemukan dua istilah yang identik dengan istilah din, yaitu millah dan madzhab. Din dinisbatkan kepada Allah dan disebut dinullah, artinya agama yang diturunkan Allah. Kemudian millah dinisbatkan kepada nabi tertentu, seperti millah Ibrahim, artinya agama yang diamalkan Nabi Ibrahim. Sedangkan madzhab dinisbatkan kepada seorang mujtahid tertentu, seperti madzhab Syafi’i, artinya agama menurut paham Imam Syafi’i.
Para ilmuwan Barat mengidentikkan din dengan religion. Kata “religi” berasal dari bahasa Latin yang tersusun dari dua kata, yaitu “re” yang berarti “kembali” dan “ligere” yang berarti “terkait” atau “terikat”.
Maksudnya, manusia dalam hidupnya tidak bebas menurut kemauannya sendiri, tetapi harus menurut ketentuan hukum, dan hukum itulah yang mengikatnya. Kemudian, kata religie tersebar ke seluruh penjuru Eropa dengan pelafalan yang berbeda-beda, seperti religie (Belanda), religion dan religious (Inggris), kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi religi.
Term Din
Term din, dalam terjemahan bahasa Indonesia secara umum, berarti agama. Kata “agama” itu sendiri asal-usulnya adalah dari bahasa Sansekerta yang tersusun dari kata “a” yang berarti “tidak” dan “gam” yang berarti “pergi”. Menurut makna harfiahnya, agama berarti “tidak pergi, tetap di tempat, langgeng, abadi yang diwariskan secara terus-menerus dari satu generasi kepada generasi lainnya” (Harun Nasution, 1985: 9).
Pada umumnya, kata “agama” diartikan tidak kacau, yang secara analitis juga diuraikan dengan cara memisahkan kata demi kata, yaitu “a” berarti “tidak” dan “gama” berarti “kacau”. Maksudnya, orang yang memeluk agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengan sungguh-sungguh, hidupnya tidak akan mengalami kekacauan.
Kata “agama” sering dinyatakan dengan lafal yang bervariasi, seperti ugama dan igama. Akan tetapi, kedua kata tersebut sudah jarang digunakan kecuali di beberapa daerah, seperti di Kepulauan Sumatera, terutama Sumatera bagian utara dan di Negara Malaysia.
Adapun pengertian agama secara terminologi, seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution (1985: 10), antara lain meliputi:
- Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. Atau pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
- Pengakuan atau kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia yang menimbulkan cara hidup tertentu.
- Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
- Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari Perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat di alam sekitar manusia.
- Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melahy seorang utusan-Nya (Rasul).
Dari beberapa pengertian agama di atas, dapat disimpulkan bahwa agama secara terminologis merupakan satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar diri manusia, dan satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada sesuatu yang dianggap mutlak serta sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud (Endang Saefuddin Anshari, 1986: 1).
Kemudian, agama secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu agama samawi (wahyu) dan agama ardhi (kebudayaan). Agama samawi adalah agama yang diwahyukan Allah melalui malaikat-Nya kepada utusan-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia. Sedangkan agama ardhi adalah yang bukan berasal dari Allah melalui wahyu, tetapi karena proses antropologis yang terbentuk dari adat-istiadat lalu melembaga dalam bentuk agama.
Karakteristik dari kedua bentuk agama tersebut antara lain adalah:
Pertama, agama samawi berpangkal kepada konsep keesaan Tuhan (monoteisme), sedangkan agama ardhi konsep ketuhanannya bersifat politheisme. Kedua, agama samawi beriman kepada para nabi dan rasul, sedangkan agama ardhi tidak mengakui adanya para nabi dan rasul. Ketiga, bagi agama samawi, sumber tuntunan baik dan buruk adalah kitab suci yang diwahyukan, sedangkan pada agama ardhi, berbentuk tradisi atau adat-istiadat.
Keempat, sesuai dengan ajaran dan tradisi historisnya, agama samawi merupakan agama missionary, sedangkan agama ardhi bukan merupakan agama missionary. Kelima, ajaran agama samawi adalah tegas dan jelas, sedangkan ajaran agama ardhi adalah kabur dan sangat elastis. Keenam, semua agama wahyu lahir di negara-negara Timur Tengah. Sedangkan agama ardhi lahir di luar daerah-daerah Timur Tengah (Miftah Faridl, dkk., 1986).
Dalam perkembangan sejarahnya, ada kalanya kedua agama tersebut mengalami distorsi karena kurangnya penjagaan atau mungkin mengalami penyesuaian-penyesuaian. Contohnya, agama wahyu yang dilestarikan dalam bentuk tradisi lisan dapat mengalami penyimpangan. Dengan adanya usaha untuk mengubah ajaran dari warna aslinya. Oleh karena itu, mungkin saja di dalam agama wahyu pun terkandung ajaran-ajaran manusia.
Atau mungkin pula, agama wahyu itu mengalami penambahan atau perubahan secara total. Mulai dari sistem atau konsep kepercayaan sampai pada sistem ritualnya. Konsep kepercayaan, misalnya, mungkin saja mengalami perubahan dari politeisme menjadi monoteisme, atau sebaliknya, dari monoteisme berubah menjadi politeisme. Begitu juga dalam sistem ritualnya, sehingga pada setiap agama dikenal adanya istilah bid’ah atau khurafat. (han)












