WWW.PASJABAR.COM – Sejak awal Agustus 2025, tepian Sungai Eufrat di pedalaman Raqqa mendadak ramai oleh ratusan warga yang berbondong-bondong menggali tanah.
Penyebabnya: munculnya butiran berkilau di dasar sungai yang surut drastis, memicu euforia “rush emas” ala demam emas klasik.
Gundukan pasir bercahaya itu awalnya ditemukan warga desa al-Bukhamid saat aliran sungai melemah akhir Juli.
Dalam hitungan hari, kawasan yang sebelumnya sunyi berubah menjadi kamp darurat berisi tenda, sekop, dan cangkul. Harapan akan kekayaan instan melambung di tengah tekanan ekonomi pascaperang dan krisis air panjang.
Benarkah Itu Emas? Skeptisisme Ilmiah
Meski euforia meluas, pakar geologi lokal seperti Khaled al-Shammari menegaskan bahwa kilauan itu kemungkinan besar bukan emas, melainkan pyrit atau fool’s gold.
“Mineral ini sering memantulkan cahaya mirip emas, tapi tidak bernilai sebagai logam mulia. Hanya analisis laboratorium yang bisa memastikan,” ujarnya kepada Shafaq News.
Hingga awal Agustus, tidak ada konfirmasi resmi dari lembaga geologi maupun pemerintah Suriah terkait temuan emas tersebut.
Cek fakta internasional bahkan menyebut banyak video viral yang beredar di media sosial—termasuk di X, TikTok, dan Instagram—ternyata menggunakan cuplikan tambang lain, bukan dari Eufrat.
Hadits “Gunung Emas” dan Spekulasi Kiamat
Fenomena ini memantik kembali hadis Nabi Muhammad SAW yang populer di kalangan Muslim Sunni: “Kiamat tidak akan terjadi hingga Sungai Eufrat menyingkap gunung emas yang akan menjadi rebutan manusia.” (HR Muslim).
Ulama Suriah, Asaad al-Hamdani, mengakui keautentikan hadis ini. Tetapi memperingatkan agar masyarakat tidak gegabah menafsirkan fenomena sekarang sebagai pemenuhannya.
“Narasi ini perlu pemahaman mendalam, bukan sekadar reaksi spontan terhadap peristiwa aktual,” jelasnya.
Sejumlah pemikir modern, seperti Fazlur Rahman, menafsirkan hadis ini secara kontekstual.
“Gunung emas” bisa dimaknai simbolik—bukan hanya emas literal, tapi juga sumber daya strategis lain. Seperti minyak yang memicu perebutan global di Timur Tengah.
Krisis Air Eufrat: Latar Fenomena
Kemunculan sedimen berkilau tak lepas dari krisis ekologi parah di Eufrat. Debit sungai yang mengalir dari Turki menuju Suriah dan Irak menyusut hingga lebih dari 60% akibat proyek bendungan raksasa dan musim kering panjang.
NASA mencatat kehilangan 144 juta km³ air sejak 2003 hingga 2010. Pemerintah Irak bahkan memperingatkan Eufrat bisa kering total pada 2040 jika tren berlanjut.
Penurunan air membuka area dasar sungai yang selama puluhan tahun terendam. Memunculkan lapisan mineral yang sebelumnya tersembunyi.
Sayangnya, kondisi ini juga memperparah krisis pangan, wabah kolera, dan migrasi paksa petani di sepanjang aliran sungai.
Ledakan Penambangan Liar dan Dampaknya
Perburuan emas dadakan ini memunculkan pasar mikro baru: harga sekop dan cangkul melonjak, pedagang makanan memanfaatkan keramaian, dan broker amatir bermunculan.
Namun, tanpa regulasi pemerintah, kegiatan ini menimbulkan risiko keselamatan (tanah longsor, keracunan logam) dan kerusakan lingkungan (erosi, pencemaran).
Aktivis lingkungan lokal mendesak pemerintah Suriah turun tangan. Tapi hingga pertengahan Agustus belum ada kebijakan resmi untuk mengatur fenomena ini.
Antara Harapan dan Realitas
Bagi sebagian warga Raqqa, kilauan di dasar Eufrat adalah harapan di tengah keputusasaan. Namun, tanpa bukti ilmiah, fenomena ini lebih mencerminkan krisis sosial-ekonomi ketimbang keberuntungan emas sejati.
“Analisis geologi mendalam diperlukan sebelum menarik kesimpulan,” tegas al-Shammari. Hingga kini, emas Eufrat tetap misteri—di antara mitos, keimanan, dan kenyataan pahit krisis air abad ini. (han)









