BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Wacana penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2026 rupanya belum sepenuhnya tersentuh oleh masyarakat di tingkat akar rumput.
Di tengah derasnya arus informasi digital, sebagian warga Bandung justru mengaku belum tahu apa saja perubahan yang akan hadir dalam aturan pidana nasional tersebut.
Sukma (32), seorang pegiat literasi asal Bandung, mengaku tidak mengikuti isu KUHP baru karena rasa lelah terhadap banjir informasi.
“Aku termasuk yang skeptis, trust issue juga. Agak lelah dengan banyaknya informasi, jadi sekarang hanya akses yang benar-benar perlu. Kalau nggak berhubungan langsung, ya nggak cari tahu,” ujarnya.
Meski begitu, ia berharap KUHP baru bisa mengedepankan asas keadilan.
“Aku nggak tahu detailnya, tapi semoga ada pihak yang benar-benar membela masyarakat kecil, bukan sekadar formalitas kebijakan.”
Hal serupa disampaikan Ginaya (22), mahasiswi yang mengaku hanya tahu sepintas lewat media sosial.
“Aku tahu kalau ada perubahan tahun depan, tapi nggak tahu apa yang diubah. Paling lihat infografis sekilas dari media sosial. Belum tertarik cari tahu lebih jauh karena belum paham. Harapannya sih, KUHP yang baru jangan sampai merugikan banyak orang,” katanya polos.
Sementara itu, Ranti (26), seorang editor, mengaku baru mendengar sepintas soal KUHP dari temannya yang kuliah di jurusan hukum.
“Masih sinang-sinawang, belum tahu betul. Harapannya sih, ada kajian dari masyarakat, sosialisasinya lebih luas. Soalnya kebijakan seringnya ketok palu di level elit, tapi nggak sampai ke akar rumput,” tuturnya.
Senada dengan itu, Ahmad (27), guru di salah satu sekolah di Bandung, juga belum mengetahui isi KUHP baru.
“Belum tahu sama sekali, soalnya aku nggak terlalu aktif di media sosial. Kalau obrolan sehari-hari juga jarang bahas politik, paling berita viral aja,” ucapnya.
Ia berharap aturan baru ini bisa “adil dan menyentuh semua lapisan masyarakat.”
Fenomena ini menunjukkan bahwa menjelang diberlakukannya KUHP baru, tingkat kesadaran publik masih rendah.
Di satu sisi, masyarakat mulai jenuh dengan arus informasi yang tak berhenti; di sisi lain, belum ada kanal komunikasi yang secara konkret mengajak warga memahami dampak langsung dari perubahan hukum tersebut.
LBH Bandung: Pembentukan Tak Libatkan Masyarakat Secara Bermakna
Direktur LBH Bandung, Heri Pramono (periode 2024–2028), menilai bahwa salah satu persoalan utama dalam lahirnya KUHP baru adalah tidak dilibatkannya korban maupun kelompok rentan secara bermakna.
“Salah satunya itu tuh, kami catat bahwa pembentukan KUHP baru ini tidak melibatkan korban dan kelompok rentan.
Jadi kalau sekarang hasilnya tidak merata dan masyarakat belum tahu, ya itu wajar. Karena dari awal sifat pembentukannya pun seperti itu—tidak melewati proses partisipasi yang bermakna,” ujarnya.
Menurut Heri, yang dimaksud partisipasi bermakna bukan sekadar sosialisasi formal atau diskusi simbolik, tetapi keterlibatan aktif masyarakat dalam memberi masukan dan menyuarakan kerentanan mereka.
“Negara seharusnya aktif, tidak hanya memposisikan warga sebagai objek sosialisasi saja.
Tapi juga menerima masukan, mempertimbangkan dampaknya terhadap kelompok rentan, dan memastikan masyarakat yang akan terdampak itu benar-benar paham.
Karena yang akan langsung terkena efek dari KUHP itu sendiri adalah warga,” jelasnya.
Heri juga menyoroti sejumlah pasal yang berpotensi menimbulkan masalah di lapangan, terutama yang berkaitan dengan privasi, kebebasan berekspresi, serta moralitas publik.
“Kalau soal pasal-pasal yang menimbulkan masalah, banyak. Kami soroti pasal tentang kritik terhadap lembaga negara dan presiden.
Dalam KUHP baru, menjatuhkan penghinaan terhadap presiden atau lembaga negara bisa dipidana, padahal itu bisa mengancam ruang demokrasi. Begitu juga soal demonstrasi—sebelumnya cukup dengan pemberitahuan, tapi sekarang diatur dengan izin.
Ini berbahaya, karena izin bisa ditolak oleh penguasa. Lalu pasal-pasal tentang perzinaan dan kohabitasi juga bermasalah, karena membuka ruang negara masuk ke wilayah privat warga,” paparnya panjang.
Dari sisi lembaga bantuan hukum, LBH Bandung sendiri hingga kini belum memiliki program edukasi spesifik soal KUHP baru.
Hal itu, kata Heri, karena para praktisi hukum pun masih perlu waktu untuk menganalisis dan memahami perubahan yang terjadi.
“Kami masih melihat kembali anotasinya, mempelajari konsep dan asasnya. Sebab bagi kami sebagai praktisi, KUHP baru ini akan berpengaruh langsung pada kerja-kerja advokasi.
Tapi untuk program ke masyarakat, memang belum ada yang spesifik. Lagi pula, masyarakat pun belum banyak yang bertanya tentang KUHP baru ini,” terangnya.
Sosilisasi Daerah
Ia juga menilai, lemahnya sosialisasi di tingkat daerah menunjukkan belum adanya koordinasi yang kuat antara pusat dan pemerintah lokal.
Sebagai penutup, Heri menekankan pentingnya kesadaran warga terhadap hak-hak mereka sebelum aturan itu benar-benar diterapkan.
“Yang paling penting bagi masyarakat luas adalah sadar akan haknya. Karena KUHP ini berkaitan dengan menghukum orang, hukum pidana.
Kita harus menjaga agar negara tidak sewenang-wenang melakukan penangkapan atau kriminalisasi berlebihan. Masyarakat perlu paham haknya supaya tidak jadi korban over-criminalization,” tegasnya.
Di tengah minimnya sosialisasi dan partisipasi publik, wacana pemberlakuan KUHP baru masih menjadi wilayah abu-abu di mata warga Bandung.
Namun satu hal yang pasti: di balik sikap skeptis, ada harapan sederhana bahwa hukum seharusnya hadir bukan untuk menakuti, melainkan melindungi. (tiwi)












