JAKARTA, WWW.PASJABAR.COM–
PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) atau KBI menunjukkan kesiapannya sebagai lembaga kliring untuk perdagangan karbon di Indonesia.
Dengan memanfaatkan teknologi Blockchain pada ekosistem perdagangan karbon. Hal ini akan dapat memberikan jaminan keamanan atas pencatatan kredit karbon. Dan akan memastikan tidak terjadinya double accounting dalam proses pencatatannya.
KBI sebelumnya telah memanfaatkan teknologi Blockchain dalam aplikasi pusat registrasi resi gudang. Dan manfaatnya sudah dirasakan oleh para stakeholder didalam ekosistem resi gudang.
Hal tersebut disampaikan Fajar Wibhiyadi, Direktur Utama PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) melalui keterangan disela-sela Webinar tentang Karbon Trading yang diselenggarakan KBI e-ducentre di Jakarta, 10 Agustus 2021.
Budi Utomo, Head Ecoframework Dept PT. Sucofindo yang hadir sebagai salah satu pembicara dalam webinar tersebut mengatakan.
“Keberadaan Lembaga Kliring dalam perdagangan karbon sangat penting dalam mendukung skema transaksi perdagangan karbon. Lembaga Kliring yang memiliki teknologi yang berbasis blockchain. Akan mampu memberikan keamanan bertransaksi. Serta menjamin integritas agregasi emisi selama transaksi kredit berlangsung oleh pelaku,” terangnya.
“Selain itu, lembaga kliring yang mengadopsi teknologi ini akan mampu mendukung konsistensi dalam menerapkaan prinsip clarity, transparency dan understanding (CTU). Dalam registry karbon sehingga mampu mengeliminasi double accounting atau double claim,” sambungnya.
Peran sebagai lembaga kliring bukan merupakan hal baru bagi PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero).
Sebelumnya, BUMN ini telah berpengalaman dalam menjalankan fungsinya sebagai Lembaga Kliring Penjaminan dan Penyelesaian transaksi di Perdagangan Berjagka Komoditi. Serta Lembaga Kliring di Pasar Fisik Komoditas di Bursa Berjangka Jakarta.
Perdagangan komoditas karbon sendiri merupakan jual beli sertifikat. Yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon.
Perdagangan karbon pada prinsipnya sama dengan transaksi di perdagangan komoditas yang ada saat ini. Yang berbeda adalah komoditasnya.
Yaitu emisi karbon. Adapun emisi karbon yang bisa diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrat Oksida (N2O), Hidroflurokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs) serta Sulfur Heksafluorida (SF6).
Dalam perdagangannya, satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan 1 ton karbon dioksida.
Di Indonesia, implementasi crediting telah berjalan sejak tahun 2007 melalui proyek Clean Development Mechanism (CDM) berdasarkan Protokol Kyoto.
Dengan CDM ini, memungkinkan bagi pengusaha Indonesia untuk membangun proyek emisi rendah yang sertifikat penurunan emisinya dijual kepada negara-negara maju.
Sebagai negara Pihak pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Indonesia juga telah memberikan komitmen untuk menurunkan emisi GRK 29% dari skenario emisi Gas Rumah Kaca secara Business as Usual (BAU). Dimana pada tahun 2030 emisi GRK diproyeksikan sekitar 2.881 GtCO2e.
Fajar Wibhiyadi menambahkan sebagai Badan Usaha Milik Negara, tentunya pihaknya bisa memastikan bahwa proses kegiatan kliring yang berjalan telah sesuai dengan regulasi yang ada.
“Selain itu, dalam hal pengembangan teknologi, kedepan kami juga akan terus menyempurnakan dan mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk kegiatan kliring tersebut,” pungkasnya. (*/tiwi)