BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bandung, Ema Sumarna mengakui permukaan air tanah di wilayah Kota Bandung mengalami penurunan. Hal ini serupa dengan kondisi air tanah di Bandung Raya pada umumnya, yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
“Karenanya, memang harus ada upaya untuk memulihkan, atau megurangi penurunan permukaan air tanah di Kota Bandung,” ujar Ema.
Namun, Ema menegaskan, upaya tersebut tidak akan efektif jika hanya dilakukan oleh Kota Bandung. Melainkan, sebaiknya jsutru duilakukan oleh wilayah di bagian hulu, yang tentu jika dilakukan akan lebih baik.
“Kalau hanya Kota Bandung yang berupaya, tentu tidak akan efektif. Yang efektif itu, jika dilakukan oleh kota sekitarnya. Seperti Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat,” tuturnya.
Ema menegaskan, di Kota Bandung sendiri, sudah ada upaya untuk mempertahankan permukaan air tanah, atau mencegah penurunan yang sangat signifikan. Seperti di Pasir Biru, di Kawasan Cidadap dan sebagian di wilayah Dago.
“Pemkot Bandung juga secara rutin melakukan sosialsisasi dan imbauan kepada warga untuk bijak dalam menggunakan air tanah,” terang Ema.
Secara pribadi, Ema mengatakan, memang tidak mungkin melakukan pelarangan terhadap masyarakat untuk menggunakan air tanah. Kini yang dibutuhkan menurutnya adalah komitmen semua pihak untuk menyelamatkan dan melestarikan kawasan konserfasi.
“Yang bisa kita lakukan adalah himbauan untuk bijak menggunakan air tanah, bukan melarang menggunakan air tanah,” tegasnya.
Untuk melakukan pengawasan juga tidak mudah. Karena SDM yang sangat sedikit sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengawasan di semua wilayah di Kota Bandung
“Untuk pengendalian, kita sekarang hanya bisa melakukannya lewat perizinan yang dilakukan lebih ketat,” terangnya.
Cara Mempertahankan Permukaan Sumber Air Tanah
Sementara itu, Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Kota Bandung Didi Riswandi, mengatakan untuk mempertahankan permukaan sumber air tanah, harus memiliki pola pembangunan ketahanan air tana yang terstruktur.
“Seharusnya program pembangunan ketahanan air tanahnya jelas ada di siapa. Sejauh ini, program tersebut kan masih belum jelas ada di mana,” jelas Didi.
Didi mengatakan, semestinya izin penggunaan air bawah tanah juga dibatasi sebagai bentuk dari pengendalian.
“Kalau bisa sih penggunaan air bawah tanahnya dilarang. Kita bisa menggunakan air yang disuling dari air sungai,” tambahnya.
Namun, Didi juga mengatakan, hal itu memang belum bisa dilakukan di Kota Bandung. Karena suplai air bersih juga masih belum bisa diupayakan 100 persen.
“Jika pengendalian belum bisa dilakukan 100 persen, semestinya penyerapan air yang dilakukan bisa sama dengan pengambilan air bawah tanah. Seharusnya ini bisa diberlakukan di pemukiman,” tegasnya.
Zero Delta Q Policy
Di sisi lain, Didi mengatakan ada zero delta q policy, yang isinya mengenai 3 hal terkait keberadaan air tanah, yaitu, aliran, resapan dan parkir. Semestinya, air yang jatuh ke tanah todak semua dialirkan, melainkan harus bisa diserap, atau setidaknya diparkirkan. Untuk di Kota Bandung sendiri zero delta q policy dipenuhi dengan peningkatan kapasitas dengan kekuatan sumur imbuhan.
“Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air secara alamiah, dengan penghutanan. Sehingga lahan kritis mutlak ditanami,” paparnya.
Ke depan, lanjut Didi, semestinya ada targetan penghijauan. “Misalnya untuk penghijauan disiapkan lahan beberapa hektar,” tambahnya.
Namun, Didi menjelaskan, untuk sementara Kota Bandung memiliki beberapa sumur imbuhan. Supaya penyerapan air ini bisa lebih maksimal, Didi mengatakan, harusnya dilakukan oleh SKPD lain. Sehingga bisa lebih terintegrasi.
“Namun, memang sepertinya di SKPD lain, penambahan sumur imbuhan ini masih belum menjadi prioritas,” sesalnya. (put)