*)CAHAYA PASUNDAN
Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
Problema yang dihadapi umat Islam secara makro-kronologis beserta solusinya yang harus ditempuh, di samping terdapat di dalam uraian di bawah ini, juga terdapat dalam realitas kehidupan kini, baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional, dan bahkan dunia internasional.
Umat Islam di dunia pada umumnya, dan khususnya di Indonesia, sampai saat ini masih jauh dari ideal, sebagaimana yang diinginkan oleh ajaran Islam itu sendiri.
Kesejahteraan lahir dan batin umat Islam masih jauh dari harapan.
Bahkan, kondisi umat ini bertolak-belakang dengan kondisi ideal yang diharapkan Islam.
Kondisi ekonomi umat Islam pada umumnya lemah, serta sumber produksi, modal dan teknologi sebagai penggerak ekonomi pada umumnya berada dalam kekuasaan orang-orang non-Muslim.
Umat Islam menjadi obyek penderita, konsumen pasif, atau buruh yang murah.
Hal ini juga menyebabkan-atau yang menjadi sebab tingkat pendidikan umat Islam sangat rendah yang berakibat pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat ketinggalan dibandingkan dengan umat yang lain.
Maka, tidaklah heran apabila negara-negara Islam hanya menjadi konsumen atau ajang eksploitasi negara-negara non-Muslim.
Dalam bidang sosial dan politik juga tidak begitu berbeda, kondisi umat berada dalam posisi daya tawar yang amat rendah.
Negara-negara Muslim yang pada umumnya berada di negara dunia ketiga menjadi negara yang lemah dan tak berdaya di hadapan negara-negara non-Muslim Eropa atau Amerika.
Kasus pertikaian yang terjadi di antara negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim di Timur Tengah menjadi bukti kelemahan politik umat Islam.
Kemajuan Teknologi Jadi Problema
Dalam bidang budaya, penetrasi budaya Barat terhadap tradisi umat Islam semakin kuat, terlebih kemajuan Barat dalam teknologi komunikasi yang mampu mendesakkan informasi secara sepihak ke dalam wilayah negara-negara mayoritas Muslim.
Akibatnya, budaya umat Islam yang menjadi gambaran perilaku Islami semakin pudar dalam kehidupan umat Islam sendiri.
Kelemahan dan ketidakberdayaan umat Islam ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.
Faktor internal umat Islam antara lain adalah kesalahan persepsi umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri, yaitu belum memahami Islam secara kâffah (menyeluruh).
Islam sering dipandang secara sempit sebagai agama yang berisi ibadah ritual saja.
Padahal ritual dalam Islam merupakan salah satu bagian saja dari berbagai aspek ajaran Islam.
Islam berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia dan memberikan nilai-nilai esensial bagi seluruh kehidupan itu.
Kesalahpahaman tersebut lebih banyak disebabkan oleh pemikiran umat Islam yang bersifat dikhotomis, yaitu pola piker yang memisahkan antara agama dan kehidupan.
Agama hanya dipandang sebagai salah satu aspek hidup, yaitu kebutuhan manusia terhadap penyembahan kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Sedangkan pada aspek-aspek kehidupan lainnya, agama tidak bisa diperankan.
Pemahaman yang parsial ini melahirkan pandangan yang sempit terhadap Islam dan menumbuhkan sekularisasi.
Pemisahan Islam dari kehidupan sosial merupakan upaya mengecilkan arti Islam.
Pemikiran ini bukan hanya kebetulan singgah ke dalam pikiran umat Islam, tetapi merupakan proses
kesengajaan yang telah berjalan lama sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari alam pikiran umat Islam.
Dikhotomi pemikiran Islam telah berlangsung sejak umat Islam bersentuhan dengan budaya Yunani dan mulai terasa akibatnya pada akhir abad ke-6 Hijriah.
Pemikiran dikhotomis berarti pemisahan secara ekstrem antara agama dan dunia, antara kehidupan material dan spiritual, dan pada dasarnya merupakan pengingkaran terhadap pandangan dasar Islam yang bertumpu pada tauhid.
Tauhid sebagai landasan memberikan implikasi kepada pandangan dasar manusia terhadap alam.
Alam adalah suatu kesatuan yang utuh sehingga kehidupan kita pun terdiri dari keseluruhan yang utuh pula.
Islam diturunkan untuk menata kehidupan manusia di dunia, sedangkan akhirat adalah akibat atau buah yang akan dihasilkannya.
Islam menunjukkan jalan dan arah yang harus ditempuh untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Bagi seorang Muslim, Islam menjadi dasar dalam menata kehidupannya, baik ekonomi, politik, maupun budaya, sehingga kehidupannya menjelmakan perilaku yang Islami.
Allah Swt berfirman:
يأيها الذين أمنوا ادخلوا في السلم كافه ولا تتبعوا خطوت الشيطن إنه لكم عدو مبين
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya (secara menyeluruh), dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”(Qs al-Baqarah [2]: 208)
Manusia yang utuh adalah yang memiliki konsistensi dalam keyakinan hatinya yang mendorongnya untuk melaksanakan aturan sesuai dengan keyakinan tersebut, sehingga terwujud kepribadian manusia Muslim yang benar-benar Islami.
Dari penjelasan yang telah dikemukakan di atas, tampak bahwa konsep Islam tentang umat sangat ideal dan penuh dengan keindahan.
Masalahnya sekarang adalah mengapa kondisi umat Islam jauh dari ideal Islam itu sendiri.
Ada suatu adagium yang sederhana tentang kondisi umat Islam saat ini yang sering dilontarkan oleh orang Islam sendiri, yaitu limâdzâ ta’akhkhar al-muslimûn wa taqaddama ghairuh (mengapa umat Islam mundur dan umat yang lain maju?).
Benarkah “umat Islam mundur karena mereka telah meninggalkan Al-Quran”?
Kesimpulan itu, kendatipun seperti menyederhanakan masalah, mungkin juga mengandung kebenaran. Mengembalikan umat Islam kepada kejayaannya berarti mengembalikan mereka kepada pijakan hidupnya, yaitu Al-Quran.