JAKARTA, WWW.PASJABAR.COM–
Kali kesekian jurnalis Pasjabar bertemu dengan Ahmad Nowmenta Putra, penulis buku sejarah Jejak Sang Ajudan (Sebuah Biografi Pierre Tendean) yang juga dikenal melalui channel YouTube bertajuk Keep History Alive. Ditemui di Harris Hotel Tebet, Jakarta Selatan pada Minggu (21/1/2024) dalam suasana hujan rintik-rintik, sembari menikmati kopi panas kami berbincang hangat tentang banyak hal.
Dari perjalanannya menguak fakta sejarah dan wawancara dengan sejumlah tokoh yang dituangkan dalam channel sejarah, kesibukan sebagai bankir di salah satu Bank BUMN, kegemarannya berolahraga dan menjalankan pola hidup sehat, hingga bahasan lainnya!
Selain berkarir dan menggeluti hobi juga aktif dalam berbagai kegiatan apakah anda sudah merasa menjalani kehidupan yang sesuai impian atau the best version of yourself?
Bisa dikatakan demikian. Biasanya kalo ditanya tentang pencapaian terhadap impian, akhirnya kita mengukur semua yang kita jalani ini dengan standart proporsional yang pernah kita tempatkan sebagai tujuan. Tentunya harus ada toleransi dari level pencapaian itu, yang bisa membuat kita terus berpendar dalam rasa syukur menjalani hidup. Saya harus punya pembanding dari level yang lebih rendah dari apa yang saya jalani, istilahnya jangan selalu menengadah tapi lihat kebawah. Contoh,dari kecil saya suka menulis dan impian kecil saya adalah punya buku, lalu lahirlah buku Jejak Sang Ajudan (Sebuah Biografi Pierre Tendean). Seberapapun pencapaian buku ini secara komersial misalnya, itu jauh lebih baik karena secara idealisme saya sudah mewujudkan impian tersebut dan yang penting menikmati proses berkaryanya. Bahkan buku ini mengakomodir berbagai passion saya. Dari literasi, advokasi sejarah, desain visual untuk cover dan layout, bahkan dari sisi marketnya.
Mungkin tidak banyak yang ‘melihat’ bagaimana cara saya menikmati prosesnya. Bahkan sampai sekarang mungkin masih ada yang membandingkan atau menanyakan tentang buku saya selanjutnya. Karena legitimasi penulis itu ya memang buku sih. Cuma kalo sekedar kuantitas saya enggak tertarik, karena mencurahkan konsentrasi dan energi saat mengupayakan jadi saya pengennya benar-benar pas dan menikmati prosesnya.
Soal keinginan atau impian pada umumnya selalu muncul setiap saat tanpa batas. Saya termasuk orang yang haus akan hal-hal baru, karena buat saya sebenarnya membeli pengalaman dan pengetahuan itu jauh lebih mahal tapi bermakna daripada membeli benda. Nah, untuk membatasi antara keinginan dan kebutuhan untuk saat ini, akhirnya saya memberi batasan dan memfilter mana-mana tujuan yang related secara waktu dan manfaat dengan hidup disaat ini.
Oh iya, jangan lupa ‘Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku,’ kata-kata Umar Bin Khatab ini sebenarnya sudah menjadi quote dari waktu ke waktu. Ada benarnya jika kita mau tetap ber-positif thinking menjalani hidup. Jangan sampai kita melewatkan dan tidak menikmati setiap momentum dari kebaikan semesta yang sudah diberikan kepada kita karena ekspektasi yang kita buat sendiri. Pasti selalu ada tujuan ketika dilewatkan dalam kehidupan kita, enjoy the moment, enjoy the process. Kita memang punya impian, jalan, dan upaya, akan tetapi Tuhan yang mendengar doa kita mungkin tahu yang terbaik untuk kita. Atau bisa jadi jalannya tidak sesuai rute yang kita tentukan, tapi muaranya pada akhirnya sama. Apa yang tertakar tidak akan pernah tertukar Insya Alloh. Aduh tuwek banget gue ngomong gini!
Pengalaman apa yang paling membekas dalam hidup dan mengubah pola pikir anda?
Ada banyak pembelajaran yang coba saya (upayakan) ambil disetiap momentum atau fragmen dalam kehidupan, dan pasti sebagian besar yang menyangkut pengalaman pahit. Sebenarnya itu bagian dari positivity yang berat dan proses pembelajaran hidup yang terus berprogress sampai detik ini. Tapi mungkin yang paling dekat kejadiannya ya masa pandemi Covid-19 kemarin, yang menyadarkan bahwa kesehatan dan waktu adalah aset yang paling berharga. Hidup didunia ini terlampau singkat, dan masa covid kemarin semakin memberi sinyal bahwa kita tidak tahu waktu kita sampai kapan. Jadi sedianya gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat sesuai domain kita masing-masing.
Selain kesehatan fisik dan mental sebagai konsekuensi logis saat membahas pandemi, ‘waktu’ juga menjadi main topic pembelajaran saya. Pertama, karena dengan adanya kejutan-kejutan misalnya seseorang tiba-tiba pergi karena covid, kita tuh harus selalu siap untuk melewatkan momentum dengan siapapun sebaik mungkin dan se-positif mungkin.
Kedua, disisi lain batasan-batasan yang hadir karena pembatasan pandemi juga tidak seharusnya menghalangi kita dalam menjalankan fungsi masing-masing, sehingga kita tidak seperti kehilangan waktu sia-sia. Ya kan, waktu 2 tahun setelah semuanya lewat lalu kembali mengingat kebelakang, rasanya semua berlalu tanpa terasa.
Masa-masa itu menjadi trigger saya untuk terus produktif. Selain tetap dengan aktifitas pekerjaan, kala itu saya juga lagi aktif-aktifnya memproduksi video untuk channel sejarah (dengan metode daring), dan sering menjadi pembicara dalam kegiatan webinar.
Soal management waktu, biasanya hal apa yang wajib anda kerjakan diluar pekerjaan dalam satu hari?
Olahraga sih! Saya sulit melewatkan karena sudah merasakan benefitnya bukan cuma untuk tujuan menyeimbangkan bentuk fisik semata. Olahraga ini juga bisa membantu menstimulasi otak, sehingga otak mampu melepaskan senyawa kimia tertentu dan merilis hormon-hormon kebahagiaan seperti endorphin – dopamine – serotonin.
Hal ini bisa memberikan dampak positif seperti ketenangan hati, membuat rileks dan mengurangi gejala stress. Kegiatan ini saya lakukan malam hari setelah aktifitas pekerjaan. Tapi biasanya juga setelah Sholat Subuh sambil ngopi dan dengerin musik saya sit up atau olahraga ringan.
Semakin berprogress biasanya semakin banyak orang yang mengkritik dan memperhatikan (in a negative way), bagaimana menyikapi dengan bijak agar mental health tetap baik-baik saja?
Setelah dewasa kita mungkin harus banyak berkontemplasi mengenal diri sendiri, menelaah kelemahan dan mengetahui value masing-masing dengan self esteem. Ini penting, supaya kita juga bisa membedakan apakah respon kita menghadapi kritikan orang itu benar-benar positif sebagaimana seharusnya atau justru tergolong toxic positivity. Artinya bisa saja kita berdenial menganggap bahwa setiap pembenaran kita benar padahal memang salah.
Tetapi jika memang kita benar-benar ada disebuah lingkungan seperti yang kamu tanyakan, maka kita harus menetapkan batasan atau setting boundaries. Tujuannya bukan untuk mengontrol orang lain tetapi untuk melindungi diri sendiri. Kita yang tahu value kita, maka menetapkan batasan itu bisa membuat kita membedakan antara posisi kita dengan posisi orang lain hingga membedakan keinginan kita dengan keinginan orang lain. So, hidup yang kita jalani bisa lebih selaras dengan value yang kita pegang. Kita berhak dan itu mungkin yang sekarang ini digaungkan dengan istilah ‘self love’ ya. ini bisa membantu kita membentuk hubungan sehat dengan orang lain dengan dasar mutual respect. Kita tidak mungkin memuaskan semua orang karena kita bukan alat pemuas hahaha. Jangan lupa kita punya support system utama yang menjadi focus kita; Tuhan, keluarga, dan orang-orang yang mencintai kita. Life must go on, kita focus untuk terus mengembangkan hal-hal positif yang menjadi value kita.
Pernahkah merasa insecure?
Oh sering sekali! Apalagi kalo lihat orang jaman sekarang kok bisa pada pinter-pinter dan keren-keren ya hohoho.
Oh iya, anda termasuk introvert kan? lalu bagaimana terlihat enjoy public speaking baik di forum atau channelnya?
Sebenernya dari kecil saya penikmat acara talkshow dan reportase. Melihat orang bisa berbicara dengan bernas dan terstruktur itu mengagumkan buat saya. Terutama yang berbicara tanpa teks ya, seolah mereka sedang me-reka apa yang ada di isi kepalanya kemudian mengkonversi secara lisan. Kalo secara tulis dari dulu sudah saya lakukan, makanya sebagai introvert saya suka menulis untuk media menyalurkan emosi dan pemikiran. Titik dimana saya mulai belajar berbicara itu waktu kuliah saya sering diminta menjadi moderator atau pembahas topik dalam kegiatan seminar proposal teman-teman di kampus. Tidak pernah belajar khusus sih, makanya juga bisa dibilang kurang mumpuni kalo disuruh nge-host hehe.
Selain fokus dengan tujuan hidup, apakah anda pernah berada dalam masa Quarter Life Crisis? Bagaimana cara menghadapinya?
Kalo kata orang masa-masa ini biasanya melanda di usia 25 – 30an ya. Sementara dimasa-masa itu selain disibukkan sama kerjaan (tugas berpindah kota), saya juga sedang antusias menyelesaikan buku saya. Saya lagi aktif-aktifnya menulis dan journaling (sampe sekarang sih) karena menyehatkan bagi mental. Terkait Quarter Life Crisis, karena didefinisikan secara mental, emosional yang luar biasa dengan tanda-tanda cemas seolah mempertanyakan eksistensi sebagai manusia, menurut saya fase ini tidak harus dialami dengan batasan usia tersebut ya. Bisa saja datangnya kapanpun. Meski penyebabnya mungkin beragam tapi penyebab utama yang paling sering saya dapati dari orang lain biasanya karena kebiasaan membandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain. Ini membawa ketakutan dan pesimistis yang luar biasa yang akhirnya menghilangkan motivasi dalam hidup.
Jadi berhentilah membandingkan diri sendiri dengan orang lain karena bahasan soal garis hidup juga sudah saya bahas diatas. Lalu, jawablah setiap keraguan atas kekhawatiran hidup itu dengan tindakan konkrit misalnya menentukan tujuan dengan detail melalui tekhnik flowchart. Nanti disana akan tersedia kunci masing-masing dari rencana dan tindakan tersebut. Yakinkan bahwa fase Quarter Life Crisis ini normal pada semua orang meski waktunya berbeda-beda, dan itu tandanya kita sedang bertumbuh. Yang tidak kalah penting adalah belajar mencintai diri sendiri serta berkumpul dengan orang-orang positif yang membangun. Terakhir banyak-banyak bersyukur!
Pesan anda untuk orang yang masih bingung dengan peran mereka dan mempertanyakan apa yang harus diperbuat dalam hidup ini?
Setiap manusia dilahirkan dengan perannya masing-masing dengan potensi-potensi kebaikan, dan semua peran itu berharga. Memahami peran berarti memahami identitas diri. Apabila seseorang telah mengkonfirmasi diri dan menciptakan self-confidence, maka ia baru bisa melangkah dengan identitasnya.
Dari menghargai diri sendiri dan self-respect, lalu kemudian menjadi modal membuka dialog dengan orang lain untuk menjalankan perannya tersebut. Agak retorika tapi ya begitu deh gambarannya. Dan jangan lupa seperti kata film Bebas, “Kita harus bisa menjadi pemeran utama minimal bagi kehidupan kita sendiri.” (tiwi)