Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Islam merupakan ajaran yang diturunkan untuk manusia agar bersosialisasi kemudian melahirkan suatu kebudayaan. Sebagai ajaran yang datang dari Allah, Islam tidak bertentangan dengan manusia karena Allah merupakan sumber ajaran dan Pencipta Manusia.
Islam memandang masyarakat sebagai komunitas sosial dan wahana aktualisasi amal saleh. Banyak ayat Al-Quran yang membahas peranan manusia di tengah manusia lain menempatkan Islam sebagai agama yang paling manusiawi dibandingkan agama lainnya.
Pandangan Barat menempatkan manusia sebagai subjek bebas dari nilai-nilai yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, nilai-nilai yang berkembang dari waktu ke waktu bergantung pada kesepakatan yang ada dalam masyarakat. Adapun Islam menempatkan manusia sebagai subjek yang tunduk pada nilai-nilai Ilahiyah, bukan nilai-nilai yang hanya berkembang di tengah masyarakat.
Masyarakat dipandang sebagai wahana pengaktualisasian nilai-nilai Ilahiyah sehingga membentuk kultur agama. Sebaliknya, kultur yang telah berkembang di tengah masyarakat dibina dan dikembangkan serta diwarnai oleh nilai-nilai Ilahiyah. Islam memiliki konsep masyarakat yang menjadi harapannya dan hendak diwujudkan dalam kehidupan umatnya. Konsep masyarakat ideal tersebut dikenal dengan istilah masyarakat marhamah, yaitu masyarakat yang memiliki hubungan erat antara anggota masyarakatnya berdasarkan rasa kasih sayang.
Adapun kebudayaan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, serta kebiasaan-kebiasaan yang dibuat manusia sebagai anggota masyarakat, dipandang sebagai realita yang menjadi sasaran ajaran Islam. Peran agama Islam dalam kebudayaan ini adalah memberikan nilai-nilai etis yang menjadi ukuran nilai.
Kebudayaan itu sendiri, dalam kerangka Islam, diartikan sebagai proses pengembangan potensi kemanusiaan, yaitu mengembangkan fitrah, hati nurani, dan daya untuk melahirkan kekuatan dan perekayasaan. Oleh karena itu, apabila dari segi prosesnya, kebudayaan dalam Islam adalah pendayagunaan segenap potensi kemanusiaan agar manusia mempertahankan dan mengembangkan akal budi yang manusiawi. Adapun dari segi produknya, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh rekayasa manusia terhadap potensi fitrah dan potensi alam dalam rangka meningkatkan hasil kerja yang menggambarkan kualitas kemanusiaannya.
Kebudayaan dalam tahap apa pun tidaklah bebas nilai. Dalam tahap proses, ia terikat oleh nilai-nilai, baik estetika, logika maupun etika. Adapun dalam tahap produk, ia merupakan penjelmaan nilai-nilai itu sendiri. Penjelmaan nilai estetika berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan, sedangkan penjelmaan nilai etika berkembang dalam adat istiadat dan etika pergaulan.
Potensi manusia yang lengkap memerlukan pengelolaan yang sungguh-sungguh dengan mengembangkan proses perenungan dan penghayatan yang melahirkan kesadaran akan eksistensi dirinya sebagai makhluk yang mulia dan eksistensi Allah sebagai Tuhan Dzat yang Mahakuasa. Pengingkaran, pengabdian, dan penyalahgunaan potensi kemanusiaan menjatuhkan martabat manusia ke lembah kehinaan. Firman Allah SWT:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 179)
Dalam konsep Islam, kebudayaan dikaitkan dengan misi Nabi, yaitu menyempurnakan akhlak manusia. Sabdanya:
“Sesungguhnya, aku diutus (oleh Allah), untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia.” (H.R. Imam Ahmad dan Imam Baihaqi)
Orang yang berakhlak mulia adalah orang yang mampu mendayagunakan potensi yang dimilikinya sehingga mampu melahirkan kebudayaan. Berkebudayaan dalam konteks Islam adalah berakhlak mulia (al-akhlak al-karimah).
Menyempurnakan akhlak pada dasarnya adalah mengembangkan nilai-nilai moral yang menjadi ciri utama manusia. Dengan kata lain, misi tersebut ditujukan dalam rangka membudayakan manusia, yaitu mengarahkan manusia uuntuk menggunakan potensi yanng dibawanya sejak lahir kemudian dikelola dan diarahkan pada kondisi manusiawi atau kondisi berkebudayaan.
Adapun kebudayaan sebagai produk masyarakat dalam konsep Islam tidak terlepas dari nilai moral yang menjadi misi tersebut. Setiap produk masyarakat tidak lepas dari persoalan nilai moral yang merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Ilahiyah yang terkandung dalam Al-Quran.
Meningkatnya moralitas manusia secara umum terangkum dalam misi diutusnya Nabi Muhammad SAW ke muka bumi:
“Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al- Anbiya [21]: 107)
Menjadi rahmat bagi seluruh alam mengandung makna mengembangkan dan membudayakan nilai-nilai sehingga seluruh aktivitas masyarakat memiliki makna yang bukan hanya bermuatan kepentingan individu, tetapi juga kepentingan masyarakat dan umat manusia secara keseluruhan.
Kebudayaan dalam ajaran Islam tidak terlepas dari hakikat tujuan penciptaan manusia karena kebudayaan merupakan proses eksistensi manusia yang melibatkan seluruh potensi kemanusiaan yang diberikan Allah. Tujuan penciptaan manusia adalah untuk patuh dan taat kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Al-Dzariyat [51]: 56)
Ibadah dilakukan untuk menghormati perintah atau pimpinan Allah dan berbelas kasih terhadap sesama ciptaan Allah. Ibadah bukanlah untuk kepentingan Allah, tetapi untuk kepentingan manusia sendiri. Dengan rahmat-Nya, Allah memberitahukan rahasia hidup bahwa jalan lurus yang dapat membawa kebahagiaan abadi adalah jalan hidup yang tunduk dan patuh kepada-Nya. Dengan demikian, ibadah merupakan perwujudan dari kepatuhan manusia kepada Allah dalam segala perbuatan kreatifnya, sehingga ciptaan manusia memiliki makna sosial dan moral. Dengan kata sehingga ciptaan manusia atau kebudayaan merupakan penjelmaan dari iman. (han)