Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Ajaran Islam diturunkan Allah untuk manusia. Oleh karena itu, ajarannya sesuai dengan karakter manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini dibuktikan dengan jumlah ayat Al-Quran yang mayoritas mengatur hubungan sosial antarmanusia. Hubungan antarmanusia tersebut menjadi titik sentral ajaran Islam, sehingga kualitas manusia ditentukan pada hubungan antarmanusia di samping hubungan dengan Allah sebagai landasannya.
Islam sebagai agama yang memandang hidup manusia secara utuh dan integral, tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ritual semata. Berbeda dengan agama lainnya yang memisahkan hidup manusia secara tegas bahwa agama hanya berkaitan dengan masalah penyembahan saja. Islam juga tidak hanya mengetengahkan urusan individu penganutnya, melainkan juga urusan masyarakat, negara, bahkan hubungan antarbangsa. Islam memandang hubungan manusia sebagai sesuatu yang sentral. Bahkan, hubungan ritual seseorang dengan Allah SWT harus berdampak pada hubungan antarmanusia. Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan dosa dan kemunkaran.” (Q.S. Al-Ankabut [29] : 45)
Shalat merupakan hubungan manusia dengan Allah secara langsung (vertikal). Shalat yang baik adalah shalat yang memiliki dampak pada hubungan sosial di antara manusia (horisontal). Seseorang yang menunaikan shalat tidak hanya cukup memenuhi syarat dan rukunya saja, melainkan memiliki makna sosial kemasyarakatan.
Dalam kegiatan ritual lain, makna sosial tampak dalam simbol ibadah ritual. Dalam ritual haji, terkandung berbagai pesan moral di samping pesan spiritual. Berkumpulnya umat Islam di Mina menunjukkan nilai hubungan antarmanusia yang bersatu dan bersaudara. Pakaian ihram menunjukkan persamaan dan kesetaraan dalam hubungan antarmanusia, yaitu atribut duniawi tidak menentukan kualitas manusia di hadapan Allah. Thawaf yang dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi Ka’bah menunjukkan dinamika sosial yang berporos pada tauhid. Demikian pula sa’i yang dimulai dari shafa sebagai titik berangkat yang mengandung arti kesucian niat dan kebersihan itikad menuju marwa yang berarti kemuliaan sebagai tujuan manusia. Bahkan, haji mabrur sebagai predikat yang sangat didambakan oleh setiap orang yang menunaikan haji, mengisyaratkan pelaksanaan simbol ritual haji di tempat atau tanah airnya. (han)