Oleh: Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sareundeuk saigel, sabobot sapihangan, sabata sarimbagan. Ungkara dalam bahasa Sunda itu bermakna sauyunan, layeut, tara aya pacengkadan atau dalam bahasa Indonesia dimaknai saling mendukung dan mendorong dalam kebaikan, bukan saling menjatuhkan. Petitih Sunda itu dijadikan frasa penting menandai puncak peringatan Milangkala ka-105 Paguyuban Pasundan di Aula Mandala Saba, Sekretariat Paguyuban Pasundan, Jalan Sumatra 41, Kota Bandung, Sabtu (28/7/2018).
Acara yang dibuka oleh Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan M Didi Turmudzi itu dihadiri oleh para tokoh dan sesepuh Jawa Barat. Beberapa di antaranya adalah Penjabat Gubernur Jabar Mochamad Iriawan, anggota DPR Popong Otje Djundjunan dan Tb Hasanuddin, Wali Kota Banjar Ade Uu Sukaesih, Ketua KPU Jabar Yayat Hidayat, Ketua Kadin Jabar Agung Suryamal Sutisno, Wakil Wali Kota Bandung terpilih Yana Mulyana, para sesepuh, seperti Syafe’i (mantan Ketua Paguyuban Pasundan), HD Sutisno, Sudjana ”John” Sapiie (mantan Rektor ITB), Herman Sutrisno, Lili Sumantri, para pimpinan pengurus cabang Paguyuban Pasundan, ketua ormas keagamaan, kesundaan, dan pemuda.
Pada acara itu pula dilakukan pemberian pangajen (penghargaan) kepada Ketua Komisi Yudisial RI Jaja Ahmad J ayus yang merupakan alumnus dan dosen tetap di Universitas Pasundan. Universitas ini merupakan salah Satu perguruan tinggi di bawah naungan Paguyuban Pasundan.
Dalam sambutan yang disampaikan dalam bahasa Sunda, Didi Turmudzi menyampaikan sembilan program yang terus digaungkan organisasi yang dipimpinnya. “Kaderisasi terus-menerus, komunikasi intensit berbasis TIK, dialog pusat dan daerah, serta penguatan program lainnya terus dilakukan. Hal ini demi semakin menguatkan visi dan misi organisasi dalam upaya merangan nu bodo jeung kokoro. Garapan Paguyuban Pasundan tetap berpijak pada upaya pemajuan pendidikan dan peningkatan derajat ekonomi sekeseler Sunda,” ucap Didi.
Terkait dengan pelaksanaan Pemilu Presiden 2019, ia menegaskan, Paguyuban Pasundan tetap berada pada koridor netral dan mempersilakan anggota menyalurkan hak pilih masing-masing. “Yang terpenting diawali Istikharah demi pilihan terbaik bagi bangsa dan negara. Sungai boleh mengering, air laut boleh surut, tetapi perjuangan membela Ki Sunda tidak berjangka dan mengenal batasan waktu,” katanya menegaskan.
Entah terkait dengan ungkara pada prolog di atas, Moch Iriawan, yang akrab dengan panggilan Kang Iwan Bule, ” memanfaatkan” kesempatannya berpidato setelah Didi Turmudzi dengan mengapungkan autokritik bagi Ki Sunda. Dengan bahasa Sunda cukup fasih, Iwan lebih banyak bicara di luar teks yang telah disiapkan.
”Urang Sunda itu luar biasa banyaknya, di atas 40 juta. Namun, yang manggung di pentas nasional hanya sedikit. Hapunten ka para sesepuh bilih abdi lepat. Kenapa ini terjadi, karena kita tidak pernah kompak. Urang deungeun mah kompak, siapa pun yang maju didorong. Ungkapan silih asih, asih, jeung silih asuh bagi saya harus ditambah, silih wawangi ulah silih beubeutkeun,” katanya.
Ja menambahkan, kultur Ki Sunda yang terkesan tidak mau tampil ke depan mendahului yang lain harus diubah. “Perkataan seperti ‘mangga tipayun‘ kedah digentos ayeuna mah, ‘hapunten kapayunan ku abdi’. Terus terang, pengalaman ini terjadi pada saya. Saya ini urang Sunda pituin, keturunan orangtua dari Sukabumi dan Kuningan. Namun, ketika ditunjuk pemerintah mengisi kekosongan jabatan gubernur, justru dihantam sana-sini, ku urang Sunda deuih,” ujarnya.
Sebelum melanjutkan biantara, Iriawan mengajak Agung Suryamal dan Yana Mulyana ke atas panggung. Ia mengajukan beberapa pertanyaan dan meminta keduanya menjawab jujur. “Saya ingin bertanya dan tolong jawab dengan jujur. Mungkin tidak seorang Mendagri tidak berpedoman pada peraturan perundang-undangan ketika membuat surat? Mungkin tidak pemerintah tidak mengacu pada perundangan yang sudah dikaji mendalam ketika membubuhkan tanda tangan?” ujar Iwan retoris. Agung dan Yana tersenyum dan mengangguk mengiyakan pernyataan Kang Iwan Bule.
Belum puas, Iriawan kemudian mengapungkan pertanyaan kepada Agung dan Yana. “Apakah mungkin saya tidak netral dalam pilkada serentak? Kemudian, bagaimana caranya? Misalnya saja, saya meminta birokrasi mendukung salah satu kandidat, pasti akan bocor dong omongan saya. Pasti akan ada yang bicara. Inilah bentuk ketidakkompakan kita urang Sunda, perbedaan pilihan politik jangan kemudian membuat gonjang-ganjing. Jabatan ini sebuah kehormatan yang harus dijaga, tidak mungkin saya tidak netral,” katanya. |
Di akhir sambutan, Mochamad Iriawan menegaskan bahwa dalam dua bulan sisa masa jabatan, ia akan fokus membawa kebaikan bagi masyarakat Jabar, terutama di kawasan selatan yang masih menyimpan kantong kemiskinan. Demikian pula halnya kemajuan proyek infrastruktur, seperti jalur Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) dan CileunyiSumedang-Dawuan (Cisumdawu).
Ceu Popong yang kebagian berpidato setelah Iriawan menimpali bahwa apa yang disampaikan itu ada benarnya. “Euceu mah teu nginjeum ceuli. Ulah dilemeskeun, da euweuh teu nambut cepil mah. Ningali sorangan, kumaha batur mah kompak teh bener-bener kompak. Urang Sunda mah mun nyepeng kalungguhan sok kalah dipoyok, jadi sarwasalah,” ujarnya.
Ia menyampaikan contoh nyata pada saat Departemen (kini Kementerian) Dalam Negeri dipimpin oleh dua sosok Sunda, Amir Machmud dan Yogie Suwardi Memet. ”Waktos Pak Amir Machmud janten Mendagri, anjeunna teu kokomoan, teu aya urang Sunda anu dicandak ka Jakarta. Atuh reang harita anu ngomongkeun, naha teu aya urang Sunda hiji-hji acan anu ngiring,” katanya.
Kemudian Pak Yogie hadir ke Jakarta, katanya. Pada saat menjadi Mendagri, memang ia membawa beberapa staf terdekat, dari Gedung Sate ke Jakarta. “Ieu oge kalah diomongkeun, cenah Depdagri “dijabarkeun’. Nu ngomongkeun teh urang Sunda deui. Jadi kudu kumaha atuh urang teh?” ucapnya.
Menurut Popong, kini yang harus dilakukan siapa pun Ki Sunda, dari profesi apa pun, adalah menunjukkan diri dan bukti bahwa Sunda itu ada dan berkualitas. “Tembongkeun yen Sunda teh aya jeung alus. Kenapa? Meungpeung Sunda masih aya. Ka payun, biheung aya atanapi henteu, ningali pagaliwotana pergaulan lintas bangsa secara global yang semakin menipiskan sekat kultural setiap etnis dan suku bangsa,” ujarnya. (han)