Oleh: Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Peta persaingan perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS), terus berlangsung dan tidak dapat dihindari. Di satu sisi, PTN berdalih mempunyai kewenangan untuk mendanai sendiri lembaganya dan secara hukum disahkan. Sementara di sisi lain, PTS yang notabene menghidupi sendiri lembaganya, terseret dampak kewenangan tersebut. Orientasi pendidikan pun berubah dari ideologi membentuk akhlak, baik di masyarakat menjadi orientasi pasar yang saling “membunuh”.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah di tingkat pendidikan menengah pun terseret pola mengejar nilai dalam Ujian Nasional. Padahal, realitas di luar pendidikan begitu membombardir semua tatanan kehidupan. Akibatnya, pendidikan tidak mempunyai korelasi apa pun dengan pembentukan karakter bangsa, yang seharusnya menjadi tujuan akhir pendidikan.
Masih adakah jalan keluar bagi negeri yang dikepung ideologi materialistik sekuler seperti sekarang? Apa pula sumbang peran Universitas Pasundan sebagai salah satu PTS yang akan memasuki usia lustrumnya beberapa bulan ke depan? Simak perbincangan wartawan HU Pikiran Rakyat dengan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Jabar, yang juga Rektor Universitas Pasundan (Unpas), Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si.
Bagaimana sebetulnya potret perguruan tinggi swasta (PTS) saat ini?
PTS bagaimana pun memberikan kontribusi optimal kepada indeks SDM Indonesia. Tercatat 70 persen mahasiswa Indonesia berada di PTS dan sisanya di PTN. Namun, banyaknya jumlah mahasiswa ini tidak menggambarkan pertumbuhan signifikan terhadap eksistensi PTS sekarang dan ke depan. Banyak faktor yang memengaruhinya. Pertama, kemampuan masyarakat di bidang ekonomi sangat terbatas.
Akibatnya, mereka memiliki keterbatasan menyekolahkan anakanaknya ke perguruan tinggi. Pilihannya, paling ke program-program pendek siap kerja. Kedua, tidak ada kuota dalam penerimaan mahasiswa baru (PMB) PTN. Akibatnya, berapa pun dan di mana pun PTN itu berada pasti akan diburu. Ketiga, bilangan pembagi PTS juga terlalu banyak dan kemampuannya beragam. Kondisi ini betul-betul memerlukan keberpihakan yang ril dari pemerintah.
Masih ada saja kesan dikotomi kebijakan terhadap PTS. Pahal, saat UU BHPMN dimunculkan penyeragaman PTN-PTS sudah terbangun. Namun, pada praktiknya tetap ada perbedaan penamaan pendidikan dengan badan hukum pendidikan milik pemerintah (BHPP) dan badan hukum pendidikan milik masyarakat (BHPM). Lalu apa fungsinya perundang-undangan kalau tidak membantu PTS.
Sementara PTS itu berkembang atas kemampuan sendiri, terutama uang dari mahasiswa. Sementara untuk mengelola PTS memerlukan dana cukup besar dan tidak bisa dipenuhi. Walaupun ada juga lembaga pendidikan swasta, yang kuantitas dan kualitasnya melebihi PTN. Kendati begitu, pencitraan PTN-PTS juga sudah bergeser. Dengan adanya jalur khusus, terkesan di masyarakat bahwa PTN itu mahal. Kondisi ini menjadi peluang bagi PTS. Suatu saat dengan biaya terjangkau, kenapa tidak masyarakat melanjutkan pendidikan di PTS. Toh tidak ada perbedaan lulusan PTS dan PTN. Saya setuju tidak ada PTN dan PTS lagi. Semua perguruan tinggi saja.
Kalau PTN dilepas seperti itu, bukankah akan terjadi swastanisasi PTN?
Saya termasuk orang yang setuju terhadap arah perubahan ke depan. Dalam arti, pemerintah mengurangi subsidi kepada PTN, Kalau mau disebut swasta semua, bisa. Disebut menjadi negeri semua juga bisa. Di negara lain juga tidak ada dikotomi PTN dan PTS. Lagi pula dalam UUD 45 dijelaskan, pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan untuk masyarakat Indonesia. Jadi, bukan hanya wajib memperhatikan dan membantu PTN tetapi semua perguruan tinggi.
Beban masyarakat pasti akan lebih berat?
Saya kira pemerintah juga harus membuat langkah-langkah preventif, terkait peningkatan kemampuan masyarakat. Dengan begitu, proses pengurangan subsidi PTN akan seimbang dan sejalan dengan upaya pemerintah meningkatkan daya beli.
Hal apa saja yang sudah dilakukan APTISI agar tidak terjadi diskriminasi?
Pertama kita meminta pembatasan kuota penerimaan mahasiswa baru (PMB) di PTN. Hal ini disikapi Dikti dengan membuat kebijakan rasio dosen dan mahasiswa. Akan tetapi, PTN juga tidak mudah memberlakukan kebijakan itu. Hal itu dapat dilihat dari jumlah mahasiswa baru yang terus membeludak. Akibatnya, banyak dosen PTS yang merangkap menjadi dosen PTN. Atau dosen PTS kecil pindah ke PTS besar. Atau dari PTN malah mengajar di PTS. Kedua tentang pemerataan konsentrasi kajian. PTN diharapkan lebih konsentrasi di program S-2-S3. Diploma tidak perlu lagi. Hal itu mulai tampak dari pengurangan program-program D-3 di PTN. Ketiga, tentang perizinan. Pemerintah tidak harus membuka PTN baru, bila di suatu daerah sudah terdapat PT yang dapat memenuhi kebutuhan pendidikan tinggi masyarakat setempat.
Dapat dibayangkan kondisi PTS di Ciamis, Garus, Tasik, atau daerahdaerah lainnya bila pemerintah membuka PTN di daerah itu. PTS pasti akan gulung tikar. Kebijakan seperti ini merupakan yang tidak populer. Kalau pemerintah mendirikan lagi PTN di daerah yang sudah ada PTS, tujuannya untuk apa? Apakah benar untuk meningkatkan mutu pendidikan?
PTS juga bisa melakukan hal itu, asal ada perhatian dan pemberlakuan yang sama terhadap PTS. Lalu apakah benar dengan dibukanya PTN di suatu daerah akan mengurangi beban biaya pendidikan di masyarakat? Kebijakan pemerintah membuka PTN di daerah kontradiktif, dengan kebijakan pemerintah melepas subsidi kepada PTN.
**
Selain di dunia pendidikan, Didi Turmudzi pun aktif di Paguyuban Pasundan organisasi tertua di tanah Pasundan yang berdiri sejak 1913. Rencananya, pekan ini, Paguyuban Pasundan menggelar kongres ke-41.
Bagaimana tantangan dan peluang organisasi ini?
Tercetus gagasan dari sejumlah kalangan yang memperhatikan Paguyuban Pasundan mengenai kedudukan, peran, dan fungsi organisasi ini dalam tatanan masyarakat Indonesia dewasa ini dan kelak. Gagasan mereka, tak terkecuali yang berbentuk kritik, kami serap untuk memperkaya dan menambah bobot pemahaman mengenai tantangan dan peluang yang akan dihadapi oleh organisasi ini pada hari-hari mendatang.
Pertama, gagasan mengenai kedudukan Paguyuban Pasundan di tengah masyarakat luas, baik di Jawa Barat khususnya maupun di Indonesia umumnya. Sebagai salah satu organisasi tertua di Indonesia, Paguyuban Pasundan diharapkan semakin mampu menunjukkan dirinya sebagai salah satu aset berharga bagi masyarakat di sekitarnya, terutama di bidang sosial budaya. Keberadaan Paguyuban Pasundan diharapkan Senantiasa dirasakan masyarakat di sekitarnya, sehingga rasa memiliki terhadap Paguyuban Pasundan dengan sendirinya dapat diperkuat. Paguyuban Pasundan senantiasa mengarahkan komitmennya terhadap upaya-upaya untuk memajukan perikehidupan masyarakat di sekitarnya, Masyarakat Sunda khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya.
Kedua, gagasan mengenai peran dan tanggung jawab Paguyuban Pasundan. Sebagai organisasi besar yang lahir dan tumbuh di lingkungan budaya Sunda dan menghikmati tata nilai budaya Sunda, Paguyuban Pasundan diharapkan turut memainkan kepemimpinan budaya dalam arti memperkuat ketahanan budaya masyarakat Indonesia, khususnya sehubungan dengan kian pesatnya laju globalisasi. Ketahanan budaya yang kami maksud sepenuhnya mengacu pada kepercayaan diri, keteguhan sikap, dan kesanggupan untuk merealisasikan nilai-nilai budaya yang mengilhami organisasi ini dalam situasi dan kondisi baru yang menandai kehidupan masyarakat, sehingga nilai-nilai budaya itu dapat pula memberikan inspirasi bagi upaya-upaya untuk mengatasi berbagai masalah kontemporer seperti krisis ekologi, perubahan iklim, ancaman terorisme, dan lain-lain.
Ketiga, gagasan mengenai kinerja organisasi. Paguyuban Pasundan juga diharapkan menata ulang, meninjau kembali, dan memperbaharui kinerja organisasi supaya kian selaras dengan tuntutan-tuntutan masyarakat sipil dewasa ini. Dalam hal ini prinsip-prinsip organisasi yang terbuka, egaliter, dan terpelajar kian signifikan untuk dihikmati dalam dinamika Paguyuban Pasundan di kemudian hari. Selain itu, koordinasi, hubungan kerja, dan tata kelola di antara Paguyuban Pasundan sebagai organisasi induk dan berbagai lembaga yang menjadi organnya, terutama yang bergerak di lapangan pendidikan dan sosial budaya, diharapkan pula semakin disempurnakan demi kelancaran dan perkembangan peran, fungsi, dan tanggung jawab Paguyuban Pasundan beserta segenap organnya di tengah kehidupan masyarakat.
Insya Allah kami bertekad senantiasa memperhatikan aspirasiaspirasi demikian demi kemajuan organisasi ini dan perkembangan perikehidupan masyarakat di sekitarnya. Bersama-sama masyarakat luas, Paguyuban Pasundan akan senantiasa berpegang pada komitmennya untuk menempuh upaya-upaya memerangi kebodohan dan kemiskinan. Dengan kata lain, pendidikan, dalam arti yang seluas-luasnya, dan kesejahteraan sosial adalah dua dimensi penting yang insya Allah akan senantiasa menjadi ciri mandiri Paguyuban Pasundan di kemudian hari. (han)