BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung mengadakan pelatihan tentang Keragaman Gender di Media dari Perspektif Hak Asasi Manusia pada Sabtu, (19/10/2019) di Sekretariat AJI Bandung, Jalan Cibeunying Permai V nomor 2 Kelurahan Cigadung, Kecamatan Cibeunying Kaler.
Acara tersebut merupakan tindak lanjut dari training sebelumnya di Akmani Hotel Jakarta, 23-25 September 2019 yang diselenggarakan oleh AJI Indonesia bersama Ardhanary Institute.
Adapun acara diisi dengan pengulasan Kode Etik Jurnalistik terkait Keragaman Gender di Media, Materi SOGIE-SC (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression & Sexual Characteristic) dan Diskusi dengan komunitas LGBT Srikandi Pasundan.
“Tujuan pelatihan adalah berbagi pemahaman untuk meningkatkan kualitas jurnalis dan redaktur media massa tentang Keragaman Gender di Media dari Perspektif Hak Asasi Manusia, pemahaman kode etik, perspektif, aturan kunstitusional, serta SOGIE,” terang Ketua AJI Bandung Ari Syahril Ramadhan.
Ari menambahkan dengan kegiatan ini, jurnalis bisa dapat menulis hal-hal yang berkaitan SOGIE dengan berimbang, dan tidak hanya dilihat secara sepihak.
“Disamping itu juga untuk meningkatkan pemahaman jurnalis dan redaktur tentang keberagaman gender dari perspektif sosial, hukum, hak asasi manusia, dan agama serta tentang pemberitaan yang ramah gender dan seksualitas dengan perspektif HAM,” terangnya.
Acara ini pun, lanjut Ari dapat menjadi ruang berbagi pengalaman bagi jurnalis dan redaktur dalam mengolah pemberitaan isu keragaman gender dan seksualitas di newsroom.
Dimana meluasnya kampanye mengenai kesadaran gender ternyata tak berbanding selaras dengan persepsi publik mengenai identitas gender, yang tak hanya terbagi pada maskulin dan feminin, tapi juga ada transgender.
Mereka yang berada dalam posisi sebagai transgender, apalagi berkaitan dengan orientasi seksual, menjadi bagian dari masyarakat rentan karena paling sering dibenturkan dengan nilai sosial dan norma agama.
Benturan ini membuat transgender kerap mengalami diskriminasi dan stigma sosial yang negatif.
Mendiskusikan hak pilihan seksual ini sering kali menemui hambatan besar di masyarakat karena stigma negatif yang terus dilekatkan. LGBT kerap dipandang sebagai sebuah aib, kutukan, atau penyakit yang harus disembuhkan. Cara pandang seperti ini akhirnya membuat publik lupa, bahwa LGBT juga manusia yang memiliki hak asasi.
Kondisi ini juga diperburuk dengan pemberitaan media yang tak mempertimbangkan hak asasi ketika memberitakan LGBT.
“Untuk itulah Ardhanari Institute dengan AJI Indonesia dan AJI Bandung bekerja sama untuk mendorong adanya pemberitaan yang lebih berimbang tentang keragaman gender di masyarakat ini. Salah satu kegiatan yang akan dilakukan adalah mempertemukan kalangan jurnalis dan redaktur dalam forum diskusi,” tandasnya. (Tan)