BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Jika anda berkunjung ke Jalan Bagusrangin, Kota Bandung, anda akan menemukan penjual serabi alias surabi di depan rumah nomor 16. Serabi di sini patut dicoba karena keunikannya.
Serabi Ma’ Ani, demikian tempat ini disebut. Tak ada plang atau papan nama di depannya. Lokasi berjalannya pun tepat di depan gerbang dan di bawah pohon.
Yang unik dari serabi ini adalah cara memasaknya yang full tradisional menggunakan gerabah dan kayu bakar. Selain itu, varian yang disajikan juga serabi klasik, yaitu serabi polos, oncom, dan cokelat.
Kamu juga bisa menikmati sajian teh hangat dengan menggunakan cangkir klasik yang terbuat dari bahan semacam seng. Perpaduan ini semakin asyik karena suasana di lokasi sekitar banyak terdapat pohon rindang.
Keunikan lain dari serabi ini adalah tidak memiliki harga. Pembeli bisa mendapatkan serabi ini dengan harga seikhlasnya.
Yani Aswin (61), pemilik Serabi Ma’ Ani, mengatakan usahanya itu sudah berjalan sekitar dua bulan. Ide menjual serabi itu datang karena ia ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat.
“Di sisa usia saya, saya ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat. Berjualan serabi itu yang bisa saya lakukan sesuai dengan kemampuan saya,” tutur Yani.
Menjual serabi juga terlintas karena ia gemar makan serabi sejak kecil. Bahkan, saat kecil, ia kerap membeli serabi sekaligus membantu penjualnya. Sehingga, ia ingin sekaligus bernostalgia dengan serabi. Namun, ia ingin bernostalgia dengan ada manfaat yang dirasakan orang lain.
Uang hasil penjualan serabi akan ia kumpulkan. Hasilnya akan digunakan untuk kembali membuat serabi dan dibagikan kepada siapapun yang melintas di lokasi, terutama kepada orang kurang mampu.
Dalam sehari, ia dan karyawannya bisa membuat antara 60-100 serabi. Dalam sepekan, ia hanya libur berjualan di hari senin dan kamis demi menghargai karena banyak umat muslim yang berpuasa. Saat berjualan, warung surabinya itu dibuka pada pukul 07.00-09.00 WIB alias hanya dua jam saja.
Serabi yang dibuat pun selalu habis. Sebab, ketika tidak habis terjual, serabi pasti akan dibagikan. Soal pendapatan, jumlahnya beragam. Kadang, uang yang didapat bisa mencapai Rp200 ribu atau lebih. Tapi, ia juga pernah mendapatkan hanya Rp5 ribu dalam sehari.
Meski begitu, berapapun uang yang didapat tak membuatnya putus asa. Ia tetap berusaha konsisten selama dua bulan ini berjualan serabi. Dari hasil penjualan, ia menyisihan untuk menggaji karyawan. Sedangkan sisanya ‘diputar’ kembali untuk dibuat serabi dan dibagikan pada yang membutuhkan.
“Makanya harganya seikhlasnya. Kalau mereka yang beli ada yang kasih lebih, kelebihannya saya kasih buat yang membutuhkan,” ungkap Yani.
Rasa serabinya sendiri cukup sederhana karena topping-nya memang khas tradisional. Tapi, bagian utama dari serabinya terasa legit. Uniknya, meski menggunakan kayu bakar saat memasaknya, serabi yang dibuat tak berbau asap menyengat seperti serabi lain.
Resep serabinya sendiri dibuat setelah beberapa kali melakukan eksperimen. Sehingga, serabi yang dibuat bisa cocok di lidah berbagai kalangan. (ors)