BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Tim peneliti Universitas Padjadjaran (Unpad) mengembangkan restrainer yang memiliki inovasi baru dibandingkan restainer sebelumnya.
Pada awalnya restainer ini dikembangkan untuk menjawab tantangan di lingkup FK Unpad: bagaimana untuk mendapatkan sampel yang presisi, sehingga mempunyai hasil penelitian yang baik dan siap dipublikasi ilmiah di jurnal bereputasi.
koordinator Ronny, PhD pun mengunggah restrainer tersebut di akun media sosial pribadinya.
Tak dinyana, apresiasi datang dari berbagai pihak. Bahkan sudah ada peneliti, baik dari perguruan tinggi di Indonesia maupun Malaysia, yang tertarik untuk menggunakan bahkan siap untuk membelinya. Tidak hanya itu, ada pula industri yang mempercayakan pengambilan sampelnya kepada Ronny dan tim.
“Responsnya melebihi dari ekspektasi kita,” ujarnya dikutip dari unpad.ac.id pada Jum’at (29/1/2021).
Adapun pengembangan restrainer ini adalah untuk pengambilan sampel darah pada tikus percobaan secara lebih aman dan mudah.
Restrainer yang dikembangkan ini juga dinilai lebih etis dan memperhatikan tingkat kesejahteraan hewan (animal welfare) dibandingkan produk serupa yang beredar di pasaran.
Restrainer ini dikembangkan oleh tim peneliti dari Divisi Fisiologi Fakultas Kedokteran Unpad, yaitu Ronny, PhD (koordinator), Mas Rizky Anggun Adipurna Syamsunarno, PhD, Hanna, PhD, Dr. Yuni Susanti Pratiwi, Nova Sylviana, dr., M.Kes., Dr. Aziiz Mardanarian Rosdianto, dan Juliati, dr., AIF.
Pengembangan restrainer juga mendapat arahan langsung dari Dr.med. Setiawan, dan Prof. Roostita Balia, Prof. Rizky Abdullah, dan Dr. Vita Murniati Tarawan.
Ronny menjelaskan, selama ini proses pengambilan sampel darah pada tikus merupakan aktivitas yang cukup sulit.
Tidak semua peneliti terkait mampu melakukannya. Restrainer selama ini digunakan agar tikus tidak banyak bergerak sehingga akan membantu proses pengambilan darah.
Namun, restrainer yang saat ini banyak beredar di pasaran juga belum optimal untuk memudahkan pengambilan darah. Meski tikus sudah ditahan di chamber, peneliti masih sulit mengambil sampel karena lokasi pembuluh vena yang tidak terlihat.
“Banyak akhirnya tikus yang seringkali ditusuk beberapa kali karena darahnya tidak keluar,” jelas Ronny.
Berangkat dari kendala tersebut, para peneliti kemudian mencari solusi agar proses pengambilan sampel bisa lebih mudah dilakukan dengan tetap memperhatikan tingkat kesejahteraan hewan.
Melalui arahan dari Prof. Roostita, tim mendapat masukan untuk mengembangkan alat pengambilan sampel yang lebih layak.
Selama dua bulan, tim mengembangkan alat restrainer yang lebih efektif. Dibantu Wildan E. Salman, tim berhasil mengembangkan purwarupa atau prototipe restrainer yang lebih layak. Dikatakan layak karena ada beberapa keunggulan yang dipunyai restrainer ciptaan Ronny dan tim.
Keunggulan pertama, kata Ronny, restrainer ciptaannya lebih leluasa untuk dimasuki tikus. Produk didesain dengan ukuran yang tidak membuat tikus merasa sesak. Sebab, jika restrainer terlalu sempit untuk tikus, otomatis dia akan merasa tidak nyaman dan cenderung mengalami stres.
Apabila tikus percobaan mengalami stres, ini akan berpengaruh bagi kadar hormon tikus sehingga akan berpengaruh pula pada hasil sampel yang ingin diperoleh.
“Contohnya kalau kita ingin melakukan penelitian hormonal. Kalau tikus stresnya tinggi, dia akan berpengaruh pada perubahan level hormonal yang lain,” kata Ronny.
Menurut Setiawan, penelitian menggunakan hewan percobaan perlu memperhatikan aspek pengendalian mutu atau quality control.
Artinya, jika peneliti ingin mengukur suatu parameter, maka ada faktor yang akan memengaruhi parameter tersebut. Untuk itu, parameter yang diukur harus dijaga mutunya.
“Ini juga menyangkut kesejahteraan hewan, jadi sangat memengaruhi parameter biologis yang akan jadi target,” kata Setiawan.
Karena itu, tim mengembangkan purwarupa restrainer dengan tiga ukuran yang berbeda, sehingga produk ini bisa digunakan untuk tikus percobaan dengan ukuran tubuh yang berbeda. Dengan demikian, sisi etis dari hewan percobaan bisa terpenuhi.
Keunggulan lainnya adalah restrainer ini dilengkapi dengan vena finder. Melalui fitur ini, ekor tikus tinggal diletakkan di atas vena finder. Cahaya pada vena finder akan membiaskan ekor tikus sehingga akan kelihatan pembuluh daranya. Peneliti pun bisa lebih mudah mengambil sampel darah.
Agar lebih aman, tim teknis berhasil menjaga suhu vena finder agar tidak terlalu panas ataupun dingin. Wildan menjelaskan, panas dari sinar vena finder dikembangkan untuk bisa bertahan antara 35 – 40 derajat Celsius walau dengan kondisi mesin menyala lama.
Penentuan suhu pada rentang tersebut bertujuan agar hewan tidak kepanasan ataupun kedinginan saat disimpan di restrainer. Selain itu, suhu yang optimal juga membuat sampel darah akan lebih presisi saat diambil. (*)