BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Pakar hukum teknologi, informasi, dan komunikasi Universitas Padjadjaran Dr. Sinta Dewi, LL.M., mengungkapkan bahwa merevisi UU ITE memiliki dua sisi.
Di satu sisi, revisi UU ITE dipandang baik agar masyarakat tetap bisa mendapatkan keadilan di mata hukum. Namun di sisi yang lain, sanksi harus tetap diberikan.
“Pertimbangan ini memang tidak mudah,” ujar Sinta dikutip dari unpad.ac.id pada Jum’at (19/2/2021).
Dikatakan tidak mudah, karena penerapan UU ITE menimbulkan dua sisi. Di satu sisi, jika tidak ada sanksi tegas, orang akan dengan seenaknya memublikasikan beragam unggahan di internet maupun media sosial.
Namun, di sisi lain UU ini akan berhadapan dengan kebebasan orang mengeluarkan pendapat.
Polemik serupa tidak hanya terjadi di Indonesia. Dosen Fakultas Hukum Unpad ini menjelaskan, sejumlah negara berkembang juga dihadapkan pada polemik hukum dengan kebebasan berpendapat. Apalagi, kondisi ini didukung dengan belum baiknya literasi digital di masyarakat.
Karena itu, revisi UU ITE dipandang perlu untuk menjembatani dua sisi tersebut.
Menurut Sinta, pendekatannya tidak semata penegakan aturan, tetapi perlu didukung dengan literasi digital. Ini didasarkan, masih banyak masyarakat yang belum memahami literasi digital.
“Pihak kepolisian harus menyaring atau memfilter berbagai postingan. Dilihat dulu apakah memang betul-betul merugikan atau tidak, agar tidak menimbulkan kegelisahan di masyarakat,” kata Sinta.
Sinta juga berpendapat, dalam revisi UU ITE harus ada kualifikasi yang jelas untuk menentukan apakah suatu kasus berpotensi merugikan atau tidak.
“Memang harus betul-betul dikaji ulang lagi oleh pemerintah dan DPR,” kata Sinta.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat mewacanakan untuk merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Revisi dilakukan untuk menghapus sejumlah pasal karet atau pasal multitafsir pada Undang-undang tersebut. (*)