BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Kasus COVID-19 tak hanya merenggut mereka yang mengalalami gejala berat dan kritis di rumah sakit. Belakangan, ada juga pasien isolasi mandiri (isoman) yang meninggal dunia.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto mengatakan saat ini situasi kasus COVID-19 memang berbeda. Dulu, mereka yang menjalani isoman adalah pasien tanpa gejala, bergejala ringan, dan sedang.
Namun, sejak terjadi lonjakan kasus belakangan ini, prioritas pasien di rumah sakit mengalami perubahan. Pasien bergejala sedang menuju berat, berat, dan kritis didahulukan dirawat.
“Karena sedemikian besar pasien COVID-19 ini, yang meledaknya Covid varian Delta ini, maka di rumah sakit pun terjadi overload. Sehingga rumah sakit memilih mereka-mereka yang kriteria sedang ke berat atau kritis, baru dimasukkan rumah sakit,” kata Slamet.
Sedangkan pasien tanpa gejala dan bergejala sedang-ringan akan diarahkan isoman. Ini untuk menjaga agar hanya rumah sakit bisa memberikan pelayanan maksimal bagi mereka yang dinilai kondisinya lebih gawat.
Namun, hal ini jadi masalah tersendiri. Mereka yang menjalani isoman bisa kondisi bisa berbahaya. Apalagi ketika tidak ada dokter yang mengawasi, tidak punya obat karena sulit mengaksesnya, hingga bingung harus bertanya atau minta bantuan siapa saat terjadi sesuatu.
“Sehingga mereka bertahan apa adanya dengan sakitnya sekarang, kemudian saturasi menurun,” ungkap Slamet.
Ini yang menurutnya membedakan pasien COVID-19 varian sebelumnya dengan varian Delta. Pada varian Delta, pasien bisa mengalami perburukan lebih cepat dan pulih lebih lama.
Yang paling utama, gejala COVID-19 varian Delta membuat pasien mengalami disaturasi. Kondisi ini membuat kadar oksigen pada tubuh pasien terus menurun.
“Ini yang membuat kematiannya sangat besar sekali karena keganasan COVID-19 (varian Delta). Kalau yang varian sebelumnya (pasien isoman) hanya dua minggu bisa selesai, ini bisa mencapai tiga minggu sampai satu bulan,” jelas Slamet.
Oleh karena itu, sebagai langkah antisipasi, ia menganjurkan pasien isoman memiliki dua alat penting untuk mengukur kondisi kesehatannya. Alat itu adalah termometer untuk mengukur suhu tubuh dan pulse oximeter untuk mengecek kadar oksigen dalam tubuh.
Sehingga, ketika terjadi perburukan kondisi, hal ini bisa diketahui dengan cepat. Dengan begitu, pasien bisa segera dibawa ke rumah sakit untuk ditangani.
Yang tak kalah penting adalah obat-obatan dan vitamin. Namun, hal ini harus berdasarkan resep dokter. Namun, tak semua pasien punya dua alat itu, obat, termasuk sulit mendapat pengawasan serta kontrol dari dokter.
Akibatnya, saat terjadi perburukan kondisi, pasien isoman ini sudah dalam kondisi berat. Bahkan, saat ke rumah sakit, mereka tak mendapat perawatan maksimal karena rumah sakit penuh.
Tak jarang pasien juga harus ‘tawaf’ mencari rumah sakit yang bisa menerima pasien. Sehingga, ada sejumlah kasus dimana pasien meninggal dalam perjalanan saat mencari rumah sakit.
“Isolasi mandiri ini banyak juga yang pasien COVID-19 menengah menuju ke berat. Jadi, mana mungkin pasien ini hanya isolasi mandiri tanpa obat dan tanpa oksigen, apalagi tanpa akses ke pelayanan kesehatan, sudah pasti kalau ini sampai jatuh ke berat akibatnya ya meninggal dunia,” papar Slamet. (ors)