BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Paguyuban Pasundan melayangkan protes keras terhadap pernyataan Anggota DPR RI Arteria Dahlan, yang meminta Kejaksaan Agung untuk memberhentikan seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) hanya karena berbicara bahasa Sunda saat rapat.
Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. H.M Didi Turmudzi, MSi mengatakan apa yang dikatakan Arteri Dahlan dalam rapat dengar pendapat di Komisi II DPR RI, sunggung menyinggung dan melukai masyarakat Sunda.
“Oleh karena kami (Paguyuban Pasundan.red) ingin agar Pak Arteria Dahlan segera minta maaf kepada masyarakat Sunda untuk menghindari polemik yang lebih besar,” tegasnya, dalam siaran persnya Rabu (19/1/2022).
Prof Didi, menilai sebagai politisi Arteria seharusnya memiliki jiwa patrionalisme dan menghormati setiap keberagaman suku bangsa yang ada di Indonesia, termasuk didalamnya suku Sunda.
Prof Didi juga menyesalkan pernyataan sensitif yang terlontar dari seorang anggota DPR RI yang memang dipilih oleh rakyat dalam forum terbuka dan disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia, dan itu sudah dianggap suatu ucapan rasisme.
Padahal menurut Prof Didi, Anggota dewan harusnya paham sejarah perjuangan bangsanya dan sangat mengerti tentang kebhinekaan yang tentunya harus dijaga oleh segenap bangsa.
“Bukankah Bendera dan Bahasa sudah diatur dalam UUD?, Jika Bahasa daerah itu dilindungi bahkan di cantumkan juga jika Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Jadi apakah pantas seorang Anggota DPR mengemukakan hal yang bertentangan dengan UUD?,” ungkap Prof Didi.
Meski demikian, Prof Didi yakin jika Arteria Dahlan mau meminta maaf secara langsung kepada seluruh masyarakat Sunda atas kekeliruannya itu, masyarakat Sunda akan memafaakannya karena sejatinya orang Sunda itu memiliki sifat silih asih silih asah silih asuh.
Paguyuban Pasundan tidak ingin persitiwa ini memecah belah persatuan dan kesatuan Indonesia. “Sebagai Urang Sunda kami akan tetap menjaga NKRI secara utuh dengan persatuan, kesatuan dan selalu menghargai toleransi,” (*)