MANILA, WWW.PASJABAR.COM–
Menjelang UNEA 5.2, lebih dari dua ratus kelompok lingkungan dalam gerakan Break Free From Plastic (BFFP) dan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) di Asia Pasifik, dan lebih dari 1 juta orang di seluruh dunia, mendesak pemerintah masing-masing untuk mendukung seruan menuju perjanjian plastik yang mengikat secara hukum.
Perjanjian tersebut mencakup
tidak hanya polusi plastik laut tetapi juga siklus hidup plastik secara penuh dari ekstraksi, produksi, penggunaan, dan pembuangan hingga remediasi.
United Nations Environment Assembly (UNEA) mengadopsi proposal untuk membuat mandat dalam menangani polusi plastik di setiap tahap dan mengakui peran pekerja sampah informal selama sesi kelima di Nairobi (UNEA 5.2).
Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) dan gerakan
#breakfreefromplastic menyambut baik adopsi mandat penting yang menyerukan pengembangan traktat plastik global yang diadopsi selama sesi kelima dari United Nations Environment Assembly (UNEA 5.2).
Mandat berjudul, “Akhiri polusi plastik: Menuju instrumen yang mengikat secara hukum internasional”, membuka meja negosiasi bagi pemerintah untuk membuat perjanjian yang mengikat secara hukum yang mencakup seluruh siklus hidup plastik.
Traktat yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi krisis plastik dalam skala global ini diharapkan dapat dikembangkan dan diselesaikan dalam dua tahun ke depan, dipimpin oleh International Negotiating Committee (INC).
Jika produksi dan penggunaan plastik terus tumbuh, emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 dapat setara dengan emisi lebih dari 295 pembangkit listrik tenaga batu bara 500 megawatt baru.
Pada tingkat ini, emisi sepanjang siklus hidup plastik mengancam segala kemungkinan untuk memenuhi target iklim global.
Selain itu, polusi plastik melampaui batas negara. Partikel plastik beracun mencemari air, udara, dan rantai makanan, yang pada akhirnya membahayakan kesehatan manusia.
Kelompok advokasi di seluruh Asia Pasifik menyampaikan seruan untuk Traktat Plastik Global yang:
1. membahas siklus hidup penuh plastik dan dampaknya
2. mengintegrasikan suara dan pengalaman pemulung
3. menyediakan data yang dapat diakses dan transparan tentang produksi plastik
4. menegakkan Extended Producer Responsibility (EPR) yang kuat dengan target hulu
yang jelas
5. memiliki pernyataan yang jelas terhadap solusi palsu seperti pembakaran, daur ulang kimia, antara lain.
“Kami sangat gembira bahwa kontribusi pekerja sampah informal akhirnya diakui oleh badan pengelola ini,” kata Koordinator GAIA Asia Pasifik, Froilan Grate.
“Ini adalah capaian penting. Anggota dan komunitas kami telah menunjukkan selama bertahun-tahun betapa
pentingnya peran mereka dalam mencapai Zero Waste. Kami berharap ini membuka pintu untuk diskusi lebih lanjut tentang mata pencaharian, perlindungan, dan keamanan mereka,” tegas Froi dalam Media Briefing yang diselenggarakan oleh GAIA Asia Pasifik, Rabu (3/3/2022).
Dalam kesempatan yang sama, Rahyang Nusantara, Co-coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menambahkan,
“Dengan resolusi baru di UNEA 5.2 untuk mengakhiri polusi plastik, sekarang saatnya bagi produsen untuk mulai menangani siklus hidup penuh plastik mereka, desain yang dapat digunakan kembali dan dapat didaur ulang dari produk dan bahan mereka,” ujarnya.
“Yang kami butuhkan adalah industri plastik dan industri FMCG menyadari bahwa sistem Zero Waste bekerja dan mereka perlu menjadi bagian darinya daripada mendorong solusi palsu yang merusak lingkungan,” tambah Rahyang.
“Karena Indonesia memiliki peraturan untuk mendorong produsen untuk dapat mengurangi sampah plastik mereka hingga 30% pada tahun 2030, saya ingin pemerintah Indonesia dapat menegaskan atas tuntutan bisa berlaku kepada produsen yang menggunakan sachet dan
mengimpor kemasan ke Indonesia. Melihat pemerintah di Indonesia tidak memiliki infrastruktur untuk mendaur ulang, dan tidak terhubung ke jaringan penggunaan kembali global.” tutup Rahyang. (*/tiwi)