BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Citayam Fashion Week, fenomena ini sedang hangat dibicarakan. Subkultur baru yang merepresentasikan kreativitas anak muda melawan kultur arus utama.
Dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran yang juga pegiat industri kreatif Dr. Dwi Purnomo, M.T., ikut menanggapi fenomena Citayam Fashion Week.
Dia mengatakan terlepas kontroversinya, kolaborasi merupakan sesuatu yang sah dilakukan dalam memanfaatkan kreativitas Citayam Fashion Week menjadi sesuatu yang bernilai. Hanya saja, kolaborasi dilakukan bukan sekadar untuk menarik keuntungan.
“Mumpung momentum banyak kemudian uangnya bisa diambil, harusnya tidak begitu. Kolaborasi harusnya tetap menjadi kreativitas itu berkelanjutan, bukan sekadar profitnya,” kata Dwi.
Dwi menjelaskan, era digital saat ini menjadi upaya strategis dalam memanfaatkan momentum kreativitas agar tidak lenyap begitu saja. Kolaborasi perlu dilakukan untuk menjaga kebelanjutannya, ide tetap dimiliki oleh komunitas penggagasnya, menghasilkan model bisnis yang bisa dibagi, dan memberikan kemanfaatan.
Karena itu, Citayam Fashion Week merupakan momentum baik untuk menjadikan fenomena tersebut menjadi inovasi disruptif. Inovasi disruptif tersebut mampu menghadirkan kebaruan yang mampu memberi solusi terhadap kondisi yang ada.
“Harusnya ketika sudah viral, Citayam Fashion Week bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu hal kebermanfaatan dalam jangka waktu yang panjang,” terangnya.
Kendati demikian, Dwi mengatakan, kolaborasi tetap perlu dikemukakan secara gamblang untuk menghindarkan salah persepsi oleh publik.
“Siapa tahu asumsi saya, dia (pesohor) punya model bisnis bagus dan memiliki niat membuat subkultur tersebut menjadi berlanjut yang kemudian bisa dibagi secara berkeadilan,” kata Dwi yang juga Ketua Penataan dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Bandung tersebut.
Di era digital, ada pergeseran pengembangan model bisnis. Dari semula berorientasi ke profit, kini mulai berorientasi ke tujuan. Pengembangan model bisnis saat ini harus dipikirkan bagaimana kelanjutannya, bukan semata hanya mencari keuntungan.
“Sekarang harus punya purpose, bagaimana kreativitas ini bisa meledak dulu baru kemudian dipikirkan model bisnisnya. Karena goals sesungguhnya adalah keberlanjutan,” kata Dwi.
Enam Topi Edward de Bono
Dwi pun mengkritisi cara pandang masyarakat yang buru-buru menilai negatif fenomena Citayam Fashion Week. Penilaian terhadap fenomena subkultur tersebut seharusnya melalui analisis dan cara berpikir yang runut.
“Boleh kita menyimpulkan kalau itu tidak baik, serakah, atau negatif. Akan tetapi untuk menuju simpulan itu harus punya cara berpikir yang runut, sehingga bisa merumuskan sesuatu yang kontekstual. Kadang kita melakukan pemikiran judgemental,” paparnya.
Deputi Pengembangan Bisnis Kawasan Sains dan Teknologi Padjadjaran tersebut memaparkan, analisis suatu fenomena sebaiknya menggunakan model enam topi berpikir (six thinking hats) karya psikolog Edward de Bono.
Melalui model tersebut, suatu fenomena diuraikan secara sistematis, sehingga diperoleh pemikiran atau simpulan yang komprehensif. Model kerangka berpikir ini banyak diaplikasikan oleh perusahaan rintisan (startup) untuk mendapatkan momentum kreativitas dan inovasi.
Enam Warna Topi Edward de Bono
Model berpikir tersebut terbagi ke dalam enam warna topi. Topi putih bermakna data dan fakta, warna kuning bermakna optimisme, hijau bermakna kemungkinan dan kreativitas, biru bermakna perencanaan, merah bermakna amarah, dan hitam bermakna masalah.
Berkaca pada fenomena Citayam Fashion Week, Dwi mengungkapkan bahwa cara pikir masyarakat saat ini cenderung menggunakan topi hitam atau masalah, sedangkan ada lima warna lain yang juga perlu digunakan untuk melakukan analisis.
“Kadang-kadang orang tidak maju karena hanya melihat topi hitam, padahal ada banyak topi yang menjelaskan kenapa kita harus maju,” pungkasnya. (*/ran)