BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Saat ini ada kecenderungan Generasi Z atau Gen Z untuk mengikuti politik praktis, karena pemilih pemula ini beranggapan politik itu seperti garpu yang dapat bermanfaat dan dapat digunakan untuk melukai.
Hal tersebut dikatakan oleh Marcellius KH Siahaan, saat menjadi pembicara Forum Grup Disscusion (FGD) dari Mahasiswa Komunitas Peduli Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dengan tema “Antisipasi Politik Identitas Dan Pemanfaatan Rumah Ibadah Untuk Kegiatan Politik Praktis Dalam Pemilu 2024” pada Rabu (18/10/2023).
Musisi yang saat ini mencoba peruntungan menjadi Calon Anggota DPR-RI dari Partai moncong putih mengimbau kepada pemilih pemula atau mahasiswa agar tidak antipati terhadap politik. Hal ini karena apabila politik dapat digunakan dengan baik maka akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Musisi yang saat ini menjadi Mualaf mengajak kepada mahasiswa untuk mulai membangun sebuah prespektif yang positif terhadap politik yang dapat dilakukan salah satunya dengan menjadi pemilih aktif.
Politik Identitas Telah Merusak Marwah Politik
Pihaknya mengajak para pemilih pemula untuk tidak golput dan menggunakan hak pada pemilu 2024 nantinya. Seperti yang telah diketahui bahwa politik identitas telah merusak dan menghancurkan marwah politik.
Identitas menjadi suatu hal yang tidak dipungkiri. Namun apabila identitas tersebut digunakan oleh seseorang untuk berdebat atau berpolitik maka dapat dikatakan orang tersebut tidak cerdas. Sehingga perlunya mengedepankan program daripada politik Identitas.
Mantan Suami Dewi Lestari ini berharap bahwa Pemilu yang akan datang agar bisa berjalan adil, jujur, serta penuh integritas dan tanggung jawab. Perlu ada adanya refleksi kembali bahwa politik tidak selamanya membuat kegaduhan. Sehingga dalam berpolitik sudah semestinga mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul.
MUI Jabar Sebut Pemilu Fardhu Kifayah
Sementara itu, pembicara lainnya, Ketua MUI Jawa Barat Prof. Dr. Rahmat Syafi’i, M.A., menyebut Pemilu dalam agama Islam adalah memilih. Dimana dalam pemilu adalah sebuah kewajiban atau Fardhu Kifayah dan bukan merupakan hak. Pahalanya Fardhu Kifayah lebih tinggi daripada Fardhu Ain. Sebagai mahasiswa memiliki kewajiban Moral untuk memilih juga. Sebagai seorang mahasiswa juga memiliki kewajiban untuk mengetahui dinamika yang terjadi di masyarakat khususnya politik Identitas,
Syafi’i menambahkan Pemaknaan Politik Identitas masih dianggap rancu dan mengundang perdebatan dimasyarakat karena belum ditemukan definisinya yang tepat. Politik Identitas sering dikonotasikan kepada penganut agama tertentu hanya karena yang bersangkutan menggunakan simbol agama dalam berpolitik. Apabila Politik Identitas dianggap sesuatu yang negatif apalagi terlarang bagaimana dengan identitas politik.
Partai Politik Miliki Identitas Masing-masing
Pihaknya menilai setiap partai politik memiliki identitas masing-masing. Hal tersebut jangan sampai rancu antara politik identitas dengan identitas politik. Sehingga ada definisi yang baku.
Sebagai contoh pada pemilihan Gubernur telah dilakukan survey bahwa masyarakat Jawa Barat menginginkan sosok Pemimpin yang asli Sunda, hal tersebut menjadi salah satu contoh politik Identitas, hal tersebut menjadi sebuah kerancuan.
Politik Identitas selalu dikonotasikan dengan agama tertentu sebut saja Islam. Berbeda dengan politisasi agama yang dalam prakteknya sering memanipulasi pemahaman dan pengetahuan keagamaan, kepercayaan dengan menggunakan propaganda, Indoktrinasi, kampanye, sosialisasi, dalam wilayah publik untuk melemahkan lawan politik hang dihadapi, akibaynya agama bisa menjadi faktor pemicu konflik dan bisa kehilangan muru’ah serta kemuliaannya.
“Apabila politik identitas dipahami sebagai politisasi identitas sebagaimana politisasi agama, maka bisa diterima karena sama-sama bisa memicu konflik,” kata Syafi’i
Ketua MUI Jabar menambahkan, Dalam pandangan MUI, dalam kehidupan berbangsa dan beragama akan berjalan baik apabila agama dijadikan sumber inspirasi dan kaedah penuntun. Sehingga yidak terjadi benturan antara kerangka berpikir keagamaan dan kerangka berpikir kebangsaan. Bertemunya antara paham keagamaan dan paham kebangsaan dalam sejarah pembentukan NKRI telah terbukti menemukan kalimatun sawa (titik temu) yang indah, yaitu disepakati Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara oleh semua komponen bangsa.
Pada Forum Grup Disscusion (FGD) yang diikuti sekitar 100 orang mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, selain menghadirkan Ketua MUI Jawa Barat dan Marcellius KH Siahaan juga menghadirkan Ketua Komisioner KPU Jawa Barat Ummi Wahyuni. (fal)