*)CAHAYA PASUNDAN
Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
Gambaran tentang manusia yang digunakan sebagai landasan dan definisi operasional dalam tulisan ini merujuk pada gambaran yang diberikan Allah SWT dalam Al-Quran. Hal ini karena, Allah Sang Pencipta telah menurunkan kitab suci Al-Quran yang di antara ayat-ayatnya merupakan gambaran-gambaran konkret tentang manusia.
Penyebutan nama manusia dalam Al-Quran tidak hanya satu macam. Berbagai istilah digunakan untuk menunjukkan berbagai aspek kehidupan manusia. Satu segi yang tak terpisahkan dalam konteks pembicaraan tentang manusia dalam Al-Quran adalah terkandungnya esensi manusia sebagai makhluk sosial.
Ketika Al-Quran berbicara tentang aspek historis penciptaan manusia dengan menggunakan istilah “bani adam” (Al-Araf:31), keberadaan Adam sebagai makhluk sosial dihubungkan dengan keberadaan pasangannya (Hawa). Pertama kali diciptakan, seorang manusia memerlukan orang lain dalam menampilkan perilaku sosial sebagai sisi terpenting yang memberikan tempat dan derajat kemanusiannya. Allah menggunakan istilah “basyar” (Al-Mu’minun: 33) untuk menunjukkan aspek biologis kemanusiaan yang mencerminkan sifat-sifat fisik-kimia-biologisnya. Dalam istilah ini terkandung pula pengertian sosiologis manusia, sebab pemenuhan aspek biologis manusia selalu berkaitan dengan hubungan antara manusia yang berdimensi nilai.
Istilah lain digunakan Al-Quran adalah “insan” (Ar-rahman [55]: 3-4) dan “Al-ins” (Al-An’am [6]: 128, 130) yang menunjukkan aspek kecerdasan manusia, yakni makhluk terbaik yang diberi akal sehingga mampu menyerap ilmu pengetahuan. Istilah ini menyimpan makna sosiologis yang menghadapkan manusia pada proses komunikasi dengan manusia lain untuk memberinya kemampuan. Manusia berinteraksi dengan manusia lainnya hingga mewujudkan dirinya sebagai insan. Lebih-lebih lagi, dari aspek posisinya yang disebut Al-Quran dengan istilah “abdun” = hamba (Saba’ [34]: 9) menunjukkan kedudukannya sebagai hamba Allah yang harus tunduk dan patuh kepada-Nya juga tidak pernah terpisahkan dari hubungannya dengan manusia lain. Tugas ibadah manusia tidak hanya dalam kaitan ibadah langsung kepada Allah atau ritual mahdhah, tetapi lebih jauh lagi yaitu dalam kaitan ibadah sosial atau ghair mahdhah.
Istilah yang berhubungan langsung dengan aspek sosiologis, manusia dalam Al-Quran disebut “annas” (Al-Baqarah [2]: 21) dan “Al-Unas” sesama jenisnya. Manusia sebagai makhluk sosial amatamat ditonjolkan dalam Al-Quran yang ditandai dengan sapaan, kamu semua (yaa ayyuhan naas) atau mereka. Bahkan, dalam pencapaian tujuan yang hendak dicapai oleh seorang mukmin untuk menjadi manusia ideal, yaitu muttaqin. Seorang muttaqin tidak ditentukan dalam hubungan dengan dirinya sendiridan hubungan dengan Tuhan saja, tetapi digambarkan dalam hubungan sosial. Gambaran seorang muttaqin disebutkan Al-Quran dalam beberapa kriteria yang tidak melepaskannya dari hubungan sosial:
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun di waktu sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Ali Imran [3]: 134)
Dengan melihat ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki predikat takwa bukan hanya dalam hal hubungannya dengan Allah dan hubungan dengan dirinya sendiri, tetapi lebih dari itu, yang ditentukan dalam hubungan sosial. Dengan demikian, harkat dan martabat manusia yang mulia ditentukan ketika ia berinteraksi dengan manusia lainnya.
Islam mendorong manusia untuk berinteraksi sosial di tengah manusia lainnya. Dorongan tersebut, baik secara tersurat maupun tersirat dapat terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul, bahkan secara simbolik tampak pula dalam berbagai ritual Islam, misalnya shalat yang mengimplementasikan pencegahan terhadap dosa dan kemunkaran, artinya shalat yang bersifat ritual membawa implikasi terhadap kehidupan sosial di luar shalat. Demikian pula zakat yang bermakna sosio ekonomi dan sebagainya.
Jelaslah bahwa hubungan sosial manusia dalam ajaran Islam bukan hanya sesuatu yang berdiri sendiri atau fenomena perilaku semata-mata, melainkan suatu rangkaian aktivitas fisik dan rohaniah. Perilaku manusia dilihat sejak datangnya motivasi yaitu niat. Selanjutnya, perilaku yang ditampilkan didekati oleh nilai baik-buruk, batal-haram, serta tujuan yang hendak dicapainya, yakni rida Allah. Rangkaian aktivitas tersebut merupakan paduan antara hubungan dengan Allah (hablum minaalah) dan hubungan dengan manusia (hablum minnas). Hubungan dengan Allah menjadi dasar dan titik tolak dari hubungan antarmanusia. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk sosial dalam pandangan Islam tidaklah tunduk pada nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat semata-mata sebagaimana yang dipahami masyarakat Barat melainkan tunduk pada sumber nilai Allah. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat harus tunduk pada nilai-nilai Ilahiyah itu.
Islam memberi makna kepada manusia sebagai makhluk sosial dengen pengerahan dan bimbingan yang sesuai dengan hakikat kemanusiannya. Ia diberi status yang jelas sebagai penguasa di muka bumi. Firman Allah SWT:
“… dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan Sebagian kamu atas Sebagian (yang lain) beberapa derajat. Untuk menguji tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-An’am [6]: 165)
Status kekhalifahan manusia menjadi dasar untuk berinteraksi sosial. Kesadaran terhadap status itu memberi arahan terhadap terjadinya hubungan sosial yang bermakna, yaitu hubungan sosial yang bercirikan nilai-nilai. Oleh karena itu, setiap hubungan antarmanusia selalu berpedoman pada nilai-nilai kebaikan. Hubungan sosial yang tidak bermuatan kebaikan merupakan bentuk kemunkaran yang dikecam oleh ajaran Islam.
Kekhalifahan seorang manusia akan menjadikan dirinya sebagai “kepanjangan” kekuasaan Allah di muka bumi ini dalam mengelola kehidupan alam semesta. Keseimbangan alam dapat terjaga dengan hukum-hukum alam yang kokoh. Keseimbangan kehidupan manusia dapat terjaga dengan tegaknya hukum-hukum kemanusiaan yang telah Allah tetapkan. Kekacauan kehidupan manusia tidak sekadar menghancurkan bagian-bagian alam semesta yang lain. Inilah fungsi kehadiran manusia di tengah-tengah alam ini. Firman Allah SWT:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ….” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30)
“… dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya [21]: 107)
Maka jelaslah, manusia dapat menjaga hubungan sosial antarmereka dengan baik jika menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi ini.
Islam memberikan fungsi yang jelas kepada manusia sebagai makhluk sosial, yakni fungsi ibadah. Yang dimaksud adalah seluruh aktivitas sosial selalu bermuatan ibadah. Fungsi penciptaan manusia adalah penyembahan kepada Sang Penciptanya, Allah SWT. Penyembahan kepada Allah tidak boleh diartikan secara sempit dengan hanya membayangkan aspek ritual yang tercermin dalam shalat saja. Penyembahan berarti ketundukan manusia pada hukum-hukum Allah dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini, baik yang menyangkut hubungan vertikal (manusia dengan Tuhan) maupun horizontal (manusia dengan manusia dan juga dengan alam semesta).
Penyembahan manusia kepada Allah lebih mencerminkan kebutuhan manusia terhadap terwujudnya sebuah kehidupan dengan tatanan yang baik dan adil. Oleh karena itu, penyembahan tersebut harus dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan. Sebab Allah tidak membutuhkan manusia sedikit pun termasuk ritual-ritual penyembahannya. Firman Allah SWT:
“… dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (Q.S Adz-Dzariyat [51]: 56-58)
“ …. Dan mereka tidak diperintahkan, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5)
Islam memberikan arah kepada manusia sebagai makhluk sosial untuk mencapai tujuan hidup yang jelas. Manusia tidak dibiarkan mencari sendiri tujuan hidupnya. Oleh karena itu, Islam mengarahkan manusia kepada tujuannya. Firman Allah SWT:
“Katakanlah! Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. Al-An’am [6]: 162)
Penyerahan total kepada Allah, sebagaimana tampak dalam ayat di atas, melahirkan perilaku positif manusia yang membawa implikasi sosial. Seseorang yang hanya menyerahkan dirinya kepada Allah berarti menafikan penyerahan kepada manusia atau makhluk lainnya. Dari sini lahir sikap-sikap utuh yang integratif, yaitu sikap merdeka sehingga hanya tunduk kepada Allah dan sikap berani yaitu hanya takut kepada Allah. Penyerahan diri hanya kepada Allah menghindarkan manusia dari sikap “homo homini lupus”, tetapi melahirkan sikap “homo homini sosius.”
Perilaku masyarakat seperti ini merupakan gambaran masyarakat modern yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan, serta memandang manusia lain sebagai bagian dari dirinya sendiri. (ran)