CLOSE ADS
CLOSE ADS
PASJABAR
Selasa, 20 Mei 2025
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI
No Result
View All Result
PASJABAR
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home CAHAYA PASUNDAN

Esensi Manusia sebagai Makhluk Sosial

Nurrani Rusmana
26 April 2024
Esensi Manusia sebagai Makhluk Sosial

Ilustrasi. (Foto: Freepik)

Share on FacebookShare on Twitter
ADVERTISEMENT

*)CAHAYA PASUNDAN

Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)

Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)

Gambaran tentang manusia yang digunakan sebagai landasan dan definisi operasional dalam tulisan ini merujuk pada gambaran yang diberikan Allah SWT dalam Al-Quran. Hal ini karena, Allah Sang Pencipta telah menurunkan kitab suci Al-Quran yang di antara ayat-ayatnya merupakan gambaran-gambaran konkret tentang manusia.

Penyebutan nama manusia dalam Al-Quran tidak hanya satu macam. Berbagai istilah digunakan untuk menunjukkan berbagai aspek kehidupan manusia. Satu segi yang tak terpisahkan dalam konteks pembicaraan tentang manusia dalam Al-Quran adalah terkandungnya esensi manusia sebagai makhluk sosial.

Ketika Al-Quran berbicara tentang aspek historis penciptaan manusia dengan menggunakan istilah “bani adam” (Al-Araf:31), keberadaan Adam sebagai makhluk sosial dihubungkan dengan keberadaan pasangannya (Hawa). Pertama kali diciptakan, seorang manusia memerlukan orang lain dalam menampilkan perilaku sosial sebagai sisi terpenting yang memberikan tempat dan derajat kemanusiannya. Allah menggunakan istilah “basyar” (Al-Mu’minun: 33) untuk menunjukkan aspek biologis kemanusiaan yang mencerminkan sifat-sifat fisik-kimia-biologisnya. Dalam istilah ini terkandung pula pengertian sosiologis manusia, sebab pemenuhan aspek biologis manusia selalu berkaitan dengan hubungan antara manusia yang berdimensi nilai.

Istilah lain digunakan Al-Quran adalah “insan” (Ar-rahman [55]: 3-4) dan “Al-ins” (Al-An’am [6]: 128, 130) yang menunjukkan aspek kecerdasan manusia, yakni makhluk terbaik yang diberi akal sehingga mampu menyerap ilmu pengetahuan. Istilah ini menyimpan makna sosiologis yang menghadapkan manusia pada proses komunikasi dengan manusia lain untuk memberinya kemampuan. Manusia berinteraksi dengan manusia lainnya hingga mewujudkan dirinya sebagai insan. Lebih-lebih lagi, dari aspek posisinya yang disebut Al-Quran dengan istilah “abdun” = hamba (Saba’ [34]: 9) menunjukkan kedudukannya sebagai hamba Allah yang harus tunduk dan patuh kepada-Nya juga tidak pernah terpisahkan dari hubungannya dengan manusia lain. Tugas ibadah manusia tidak hanya dalam kaitan ibadah langsung kepada Allah atau ritual mahdhah, tetapi lebih jauh lagi yaitu dalam kaitan ibadah sosial atau ghair mahdhah.

Istilah yang berhubungan langsung dengan aspek sosiologis, manusia dalam Al-Quran disebut “annas” (Al-Baqarah [2]: 21) dan “Al-Unas” sesama jenisnya. Manusia sebagai makhluk sosial amatamat ditonjolkan dalam Al-Quran yang ditandai dengan sapaan, kamu semua (yaa ayyuhan naas) atau mereka. Bahkan, dalam pencapaian tujuan yang hendak dicapai oleh seorang mukmin untuk menjadi manusia ideal, yaitu muttaqin. Seorang muttaqin tidak ditentukan dalam hubungan dengan dirinya sendiridan hubungan dengan Tuhan saja, tetapi digambarkan dalam hubungan sosial. Gambaran seorang muttaqin disebutkan Al-Quran dalam beberapa kriteria yang tidak melepaskannya dari hubungan sosial:

Baca juga:   Wisuda 649 Mahasiswa STKIP Pasundan Cimahi

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun di waktu sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Ali Imran [3]: 134)

Dengan melihat ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki predikat takwa bukan hanya dalam hal hubungannya dengan Allah dan hubungan dengan dirinya sendiri, tetapi lebih dari itu, yang ditentukan dalam hubungan sosial. Dengan demikian, harkat dan martabat manusia yang mulia ditentukan ketika ia berinteraksi dengan manusia lainnya.

Islam mendorong manusia untuk berinteraksi sosial di tengah manusia lainnya. Dorongan tersebut, baik secara tersurat maupun tersirat dapat terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul, bahkan secara simbolik tampak pula dalam berbagai ritual Islam, misalnya shalat yang mengimplementasikan pencegahan terhadap dosa dan kemunkaran, artinya shalat yang bersifat ritual membawa implikasi terhadap kehidupan sosial di luar shalat. Demikian pula zakat yang bermakna sosio ekonomi dan sebagainya.

Jelaslah bahwa hubungan sosial manusia dalam ajaran Islam bukan hanya sesuatu yang berdiri sendiri atau fenomena perilaku semata-mata, melainkan suatu rangkaian aktivitas fisik dan rohaniah. Perilaku manusia dilihat sejak datangnya motivasi yaitu niat. Selanjutnya, perilaku yang ditampilkan didekati oleh nilai baik-buruk, batal-haram, serta tujuan yang hendak dicapainya, yakni rida Allah. Rangkaian aktivitas tersebut merupakan paduan antara hubungan dengan Allah (hablum minaalah) dan hubungan dengan manusia (hablum minnas). Hubungan dengan Allah menjadi dasar dan titik tolak dari hubungan antarmanusia. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk sosial dalam pandangan Islam tidaklah tunduk pada nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat semata-mata sebagaimana yang dipahami masyarakat Barat melainkan tunduk pada sumber nilai Allah. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat harus tunduk pada nilai-nilai Ilahiyah itu.

Baca juga:   Al-Qur’an Sebagai Sumber Nilai Dalam Islam

Islam memberi makna kepada manusia sebagai makhluk sosial dengen pengerahan dan bimbingan yang sesuai dengan hakikat kemanusiannya. Ia diberi status yang jelas sebagai penguasa di muka bumi. Firman Allah SWT:

“… dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan Sebagian kamu atas Sebagian (yang lain) beberapa derajat. Untuk menguji tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-An’am [6]: 165)

Status kekhalifahan manusia menjadi dasar untuk berinteraksi sosial. Kesadaran terhadap status itu memberi arahan terhadap terjadinya hubungan sosial yang bermakna, yaitu hubungan sosial yang bercirikan nilai-nilai. Oleh karena itu, setiap hubungan antarmanusia selalu berpedoman pada nilai-nilai kebaikan. Hubungan sosial yang tidak bermuatan kebaikan merupakan bentuk kemunkaran yang dikecam oleh ajaran Islam.

Kekhalifahan seorang manusia akan menjadikan dirinya sebagai “kepanjangan” kekuasaan Allah di muka bumi ini dalam mengelola kehidupan alam semesta. Keseimbangan alam dapat terjaga dengan hukum-hukum alam yang kokoh. Keseimbangan kehidupan manusia dapat terjaga dengan tegaknya hukum-hukum kemanusiaan yang telah Allah tetapkan. Kekacauan kehidupan manusia tidak sekadar menghancurkan bagian-bagian alam semesta yang lain. Inilah fungsi kehadiran manusia di tengah-tengah alam ini. Firman Allah SWT:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ….” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30)

“… dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya [21]: 107)

Maka jelaslah, manusia dapat menjaga hubungan sosial antarmereka dengan baik jika menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi ini.

Islam memberikan fungsi yang jelas kepada manusia sebagai makhluk sosial, yakni fungsi ibadah. Yang dimaksud adalah seluruh aktivitas sosial selalu bermuatan ibadah. Fungsi penciptaan manusia adalah penyembahan kepada Sang Penciptanya, Allah SWT. Penyembahan kepada Allah tidak boleh diartikan secara sempit dengan hanya membayangkan aspek ritual yang tercermin dalam shalat saja. Penyembahan berarti ketundukan manusia pada hukum-hukum Allah dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini, baik yang menyangkut hubungan vertikal (manusia dengan Tuhan) maupun horizontal (manusia dengan manusia dan juga dengan alam semesta).

Baca juga:   Real Madrid Dekati Jurgen Klopp, Ancelotti Tinggalkan Los Blancos?

Penyembahan manusia kepada Allah lebih mencerminkan kebutuhan manusia terhadap terwujudnya sebuah kehidupan dengan tatanan yang baik dan adil. Oleh karena itu, penyembahan tersebut harus dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan. Sebab Allah tidak membutuhkan manusia sedikit pun termasuk ritual-ritual penyembahannya. Firman Allah SWT:

“… dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (Q.S Adz-Dzariyat [51]: 56-58)

“ …. Dan mereka tidak diperintahkan, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5)

Islam memberikan arah kepada manusia sebagai makhluk sosial untuk mencapai tujuan hidup yang jelas. Manusia tidak dibiarkan mencari sendiri tujuan hidupnya. Oleh karena itu, Islam mengarahkan manusia kepada tujuannya. Firman Allah SWT:

“Katakanlah! Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. Al-An’am [6]: 162)

Penyerahan total kepada Allah, sebagaimana tampak dalam ayat di atas, melahirkan perilaku positif manusia yang membawa implikasi sosial. Seseorang yang hanya menyerahkan dirinya kepada Allah berarti menafikan penyerahan kepada manusia atau makhluk lainnya. Dari sini lahir sikap-sikap utuh yang integratif, yaitu sikap merdeka sehingga hanya tunduk kepada Allah dan sikap berani yaitu hanya takut kepada Allah. Penyerahan diri hanya kepada Allah menghindarkan manusia dari sikap “homo homini lupus”, tetapi melahirkan sikap “homo homini sosius.”

Perilaku masyarakat seperti ini merupakan gambaran masyarakat modern yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan, serta memandang manusia lain sebagai bagian dari dirinya sendiri. (ran)

Print Friendly, PDF & Email
Editor: Nurrani Rusmana
Tags: Cahaya Pasundanmakhluk sosialSosial


Related Posts

Problema Umat Islam
CAHAYA PASUNDAN

Problema Umat Islam

5 April 2024
Karakteristik Umat Islam, Dasar Hukum Dan Tujuan Perilaku Mengonsumsi Makanan
CAHAYA PASUNDAN

Karakteristik Umat Islam

3 April 2024
Konsep Umat Sebagai Komunitas
CAHAYA PASUNDAN

Konsep Umat Sebagai Komunitas

28 Maret 2024

Recommended

Pasundan

Aweuhan Pasundan: Bagian II Religi “Saatnya Momentum Perbaikan”

9 bulan yang lalu
Imam Jamaludin

Lifter Jawa Barat Imam Jamaludin Cetak Rekor Baru dan Raih Medali Emas di PON XXI

8 bulan yang lalu
Khusanov Pernah Hancurkan Mimpi Timnas Indonesia

Khusanov Pernah Hancurkan Mimpi Timnas Indonesia

4 bulan yang lalu
FOTO : Larangan Mudik di Terminal Cicaheum

Pemkot Ngaku Sulit Cegah Pemudik Pakai Kendaraan Pribadi

4 tahun yang lalu

Categories

  • CAHAYA PASUNDAN
  • HEADLINE
  • PASBANDUNG
  • PASBISNIS
  • PASBUDAYA
  • PASDUNIA
  • PASFINANSIAL
  • PASGALERI
  • PASHIBURAN
  • PASJABAR
  • PASKESEHATAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASOLAHRAGA
  • PASPENDIDIKAN
  • PASTV
  • PASVIRAL
  • RUANG OPINI
  • TOKOH
  • Uncategorized
No Result
View All Result

Trending

unpas
PASPENDIDIKAN

Seminar Internasional FISIP Unpas Angkat Inovasi Lintas Negara SDGs

20 Mei 2025

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan (Unpas) menggelar seminar internasional bertajuk...

pendidikan karakter

Pendidikan Karakter Diakhiri dengan Tangis Haru dan Pelukan

20 Mei 2025
peretasan situs PeduliLindungi

Respons Kemenkes soal Dugaan Peretasan Situs PeduliLindungi

20 Mei 2025
pemenang indonesian idol

Shabrina Leanor Berhasil Jadi Pemenang Indonesian Idol Tahun Ini

20 Mei 2025
olimpiade sains nasional indonesia

Olimpiade Sains Nasional Indonesia 2025 Akan Digelar, Simak Infonya!

20 Mei 2025

Highlights

Shabrina Leanor Berhasil Jadi Pemenang Indonesian Idol Tahun Ini

Olimpiade Sains Nasional Indonesia 2025 Akan Digelar, Simak Infonya!

Pernat: Bagnaia Masih Aman di Ducati

Arsenal Runner-Up Lagi, Arteta: Mimpi Belum Padam!

AC Milan Gagal Tampil di Eropa, Musim Suram Terulang

Duel Scudetto: Napoli dan Inter Berebut Gelar Hingga Akhir

PASJABAR

© 2018 www.pasjabar.com

Navigate Site

  • REDAKSI
  • Pedoman Media Siber
  • Alamat Redaksi & Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI

© 2018 www.pasjabar.com

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.