BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Gedung Merdeka, sebuah bangunan ikonik yang menjadi saksi bisu dari Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, terus memancarkan pesonanya sebagai salah satu landmark bersejarah di Indonesia.
Gedung ini tidak hanya menyimpan kenangan penting bagi bangsa Indonesia, tetapi juga berfungsi sebagai pusat edukasi dan pariwisata yang memukau ribuan pengunjung setiap tahunnya.
Menjelang KAA pada 7 April 1955, Presiden Sukarno memeriksa gedung-gedung yang akan digunakan untuk konferensi tersebut. Salah satu gedung yang diperiksa adalah Gedung Concordia, yang kemudian diubah namanya menjadi Gedung Merdeka.
Gedung Concordia, yang berdiri sejak tahun 1895, awalnya berfungsi sebagai tempat pertemuan Societeit Concordia, perkumpulan orang-orang Eropa, terutama Belanda, yang tinggal di Bandung dan sekitarnya.
Pada tahun 1921, bangunan ini dirombak oleh arsitek terkenal C.P. Wolff Schoemaker dengan gaya Art Deco, menjadikannya gedung pertemuan super club paling mewah di Nusantara.
Pada tahun 1940, arsitek A.F. Aalbers merenovasi bagian sayap kiri gedung dengan gaya arsitektur International Style. Saat pendudukan Jepang, gedung ini berganti nama menjadi Dai Toa Kaikan dan digunakan sebagai pusat kebudayaan.
Arsitektur Gedung Merdeka mencerminkan era dan budaya saat itu dengan gaya Art Deco yang anggun dan ultramodern. Aktivitas yang dilakukan di gedung ini mencerminkan gaya hidup Eropa, seperti tari balet, dansa, konser musik, teater, dan pameran.
“Arsitektur Gedung Merdeka sangat mewakili kemewahan dan fungsionalitas pada masanya,” jelas Edukator Museum KAA, Ginanjar Legiansyah.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Gedung Merdeka dijadikan markas pemuda Indonesia menghadapi tentara Jepang dan selanjutnya menjadi tempat kegiatan Pemerintah Kota Bandung.
Pada KAA 1955, Gedung Merdeka digunakan untuk sidang pleno, pembukaan, dan penutupan konferensi. Presiden Sukarno menyampaikan pidato pembukaan di sini, diikuti oleh pidato dari sebagian besar kepala delegasi negara peserta KAA.
Gedung Merdeka kini menawarkan berbagai fasilitas, termasuk layanan tur pemanduan sejarah, pemutaran film dokumenter KAA, dan ruang utama untuk seminar atau aktivitas lainnya. Koleksi utama yang dipamerkan di Museum KAA yang terletak di Gedung Merdeka meliputi diorama Pembukaan KAA 1955, benda-benda tiga dimensi, foto-foto dokumenter, koleksi prangko KAA, dan Dasasila Bandung.
“Konservasi dan pemeliharaan Gedung Merdeka dilakukan dengan koordinasi Balai Pelestarian Cagar Budaya untuk menjaga keaslian dan kelestarian bangunan ini,” tambah Ginanjar.
Gedung Merdeka ditetapkan sebagai cagar budaya, dan setiap renovasi dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan konferensi tanpa menghilangkan orisinalitasnya.
Gedung Merdeka juga berkontribusi besar terhadap edukasi dan pariwisata di Bandung. Sebagai sarana edukasi, gedung ini sering menjadi tempat seminar dan pameran seputar KAA. Museum KAA – Gedung Merdeka menjadi rujukan bagi para peneliti dan memiliki perpustakaan yang dapat diakses publik. Sebagai destinasi wisata, gedung ini dikunjungi oleh 800-1000 orang setiap harinya, baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
“Gedung Merdeka adalah simbol penting dari perjuangan dan persatuan bangsa. Kami terus berupaya menjaga dan melestarikan gedung ini agar generasi mendatang bisa merasakan dan memahami sejarah penting yang pernah terjadi di sini,” kata Ginanjar Legiansyah.
Dengan warisan sejarah yang kaya dan peran pentingnya dalam edukasi dan pariwisata, Gedung Merdeka tetap menjadi salah satu ikon budaya dan sejarah yang paling berharga di Indonesia. (tiwi)