Oleh: Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si.
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Tulisan ini, sebenarnya tidak ingin latah dalam beberapa tulisan yang sangat provokatif dan menggugat sejak Daniel Bell menulis tentang “The End of Ideology”, Francis Fukuyama yang menulis “The End of History”, Ohmae dengan “The End of Nation State” dan “The Borderless World” sampai yang pakar-pakar lain yang menulis “matinya ilmu ekonomi dan “matinya ilmu pengetahuan”. Semua barangkali merupakan refleksi kritis dan gugatan radikal terhadap fenomena yang dihadapi, yang dalam banyak hal menimbulkan kekecewaan dan frustrasi.
Rasa kecewa dan frustrasi itu secara kolektif dapat terakumulasi dalam gerakan sosial baik secara damai dan evolutif maupun radikal dan revolutif. Pilihan kolektif sosial bangsa ini dalam meniti perubahan itu melalui cara pertama dengan jargon reformasi. Dengan risiko bahwa kekuatan lama baik secara figur, kultur maupun struktur masih tetap bercokol dan berhadapan dengan newcomer yang membawa figur, kultur dan struktur baru yang diharapkan membawa perubahan.
Oleh karena itu, sulit dimungkiri bahwa sebagian masyarakat merasa kecewa setelah melihat bahwa upaya reformasi yang berjalan sejak bergulir seperti merangkak dengan lambat bahkan untuk sebagian seperti “jalan di tempat”. Korupsi, misalnya meskipun telah ada KPK dan perangkat aturan hukum lain, justru semakin “menggila” eskalasinya justru setelah terjadinya reformasi. Hal ini dibuktikan dengan peringkat negara paling korup sebagai “the top ten in the world”.
Korupsi dan kapitalisme hawa nafsu
Hal ini membuat kita miris sekaligus ironis, karena sebagian kita percaya bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang religius dan dengan predikat sebagai negeri muslim terbesar di dunia. Padahal, muslim dan korupsi tentu saja merupakan dua hal yang diametral seperti “minyak dan air”. Tetapi, jika hal itu telah menjadi realitas yang terjadi, kita menduga telah terjadi “split personality” di sebagian masyarakat kita atau seperti dikatakan Joddy MT (Kompas, 17/4/06) perilaku korupsi di Indonesia menunjukkan bentuk ateisme praktis.
Ateisme praktis adalah disposisi diri yang percaya kepada Tuhan tetapi dalam hidup sehari-hari berlaku seolah tak ada Tuhan. Dalam ateisme praktis, ada segregasi antara hidup keagamaan (religiositas) dan perilaku harus (moralitas). Seseorang yang secara sadar atau tidak menganut ateisme praktis bisa sempurna melaksanakan ritual ibadah, sekaligus melakukan korupsi tanpa merasakan hardikan moral dalam dirinya.
Padahal, perjalanan sejarah bangsa-bangsa telah memberikan pelajaran penting sangat penting di mana korupsi dan kesewenagwenangan penguasa berakhir dengan kehancuran negara tersebut seperti pemerintahan Kuo Min Tang di Cina yang diambil alih oleh Partai Komunis Cina, Tsar Rusia yang digulingkan oleh Revolusi Bolshevik, Syah Iran oleh Revolusi Islam Iran.
Demikian juga di beberapa negara junta militer di Amerika Latin dan Afrika, telah menunjukkan hal yang sama, di mana korupsi telah menjadi sumber kehancuran dan kelumpuhan negara bangsa tersebut.
Dalam perspektif Islam, hal ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, karena Allah Swt. telah sejak dini memperingatkan tentang “the end of nation-state” itu dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekadar kiasan seperti dikemukakan Ohmae karena menguatnya arus globalisasi, di mana Allah Swt. dengan tegas menyebutkan bahwa: “Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada mutrofin (orang-orang yang hidup mewah) di negeri itu untuk mentaati perintah Allah, tetapi mereka melakukan kedurhakaan di negri itu. Maka sudah sepantasnyalah berlaku ketentuan-ketentuan Kami, kemudian kami hancurkan negri itu sehancur-hancurnya” (Al-Isra:16).
Pengertian mutrofin adalah orang-orang yang hidup mewah atau orang yang diberi kelebihan, berupa rizki, kekuasaan, jabatan dan semacamnya. Mutrofin berasal dari kata atrofa yang berarti luxurious artinya hidup bermewah-mewah yaitu orang-orang yanng mengenyam kemewahan hidup secara leluasa, sekalipun cara mendapatkannya melalui jalan yang tidak halal.
Mutrofin juga dipahami sebagai disobedience yaitu sikap sewenang-wenang, durhaka kepada Allah, abai, dan tidak patuh kepada peraturan sehingga dengan kekuasaan yang dimiliki dia menindas rakyat, melakukan tindakan kekerasan tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Mutrofin juga dimengerti sebagai render effeminate yaitu tidak menghargai nilai-nilai kebajikan, sehingga cenderung otoriter dan tidak bisa dipercaya, doyan maksiat, dan pelaku kemungkaran, KKN, melecehkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, moral, dan kemanusiaan.
Kecenderungan bermegah-megah dalam hidup ini dalam kontek kehidupan modern sangat ditunjang oleh menguatnya sistem kapitalisme global yang sangat dimotivasi oleh libidonomics yang lalu lintasnya adalah kesenangan, yang pertukaran ekonomi dan sosialnya adalah pertukaran hawa nafsu dan paradigmanya adalah kecepatan. Kemanapun kita memandang yang kita lihat adalah beraneka ragam artikulasi getaran nafsu.
Dunia global kita disarati oleh berbagai pergerakan energi libido, di kantor, di supermal bahkan di tempat terpencil sekalipun. Karena, dalam kapitalisme global apa pun dapat menjadi komoditi mulai dari kerpibadian, kebugaran, penampilan, tubuh, wajah, kaki, tenaga dalam, jin, ramalan, skandal, gosip, isyu sampai bencana alam, peran bahkan kematian. Sehingga, yang berkembang saat ini adalah passionate capitalism (kapitalisme penuh nafsu) yaitu kapitalisme yang mengumbar kegairahan untuk memperoleh keuntungan seperti layaknya mucikari yang mengubah nafsu (desire) menjadi kebutuhan (need), yang memadukan motif keuntungan dan motif kegairahan. Dengan demikian, passionate capitalism bertujuan memproduksi tanpa henti rasa kurang dalam skala besar, sementara di mana-mana terdapat kelimpahruahan, (Yasraf Amir Piliang: 1998).
Pengumbaran hawa nafsu itu tentu saja tidak ada ujungnya, bahkan digambarkan oleh Nabi mengenai hal ini, bahkan jika seseorang telah memiliki dua gunung emas sekalipun ia masih menginginkan gunung emas yang ketiga. Dan hawa nafsu ini akan berhenti setelah tanah di liang lahat memenuhi mulutnya. Oleh karena itu, kapitalisme secara jeli memanfaatkan hal ini menjadi faktor produksi yang dikonsumsi tanpa henti dengan beragam mesin hawa nafsunya (desire machine) yang semakin memperkokoh kejumawaan kapitalisme global. Memang kapitalisme berupaya juga menunjukan wajah sosialnya lewat compassionate capitalism, yang berupaya bersimpati terhadap penderitaan orang lain dan menunjukkan kepedulian sosialnya. Tetapi hal ini lenyap di tengah gelombang arus dahsyat passionate capitalism.
Kemewahan dan kemiskinan
Produk dari model semacam itu adalah ketimpangan sosialekonomi yang semakin menganga yang tentu saja berdampak, baik secara sosial, politik maupun keamanan. Dalam perspektif Islam, kehancuran itu terjadi bukan karena Tuhan berlaku kejam, tetapi karena akibat tangan tangan manusia juga yang tidak berlaku adil. Misalnya, terjadi kelaparan di muka bumi tentu bukan karena Tuhan tidak sanggup memberi makan makhluk-Nya tetapi eksploitasi dan keserakahan manusia lainnya dan di belahan bumi lainnya. Profesor Roger Revelle dari Universitas Harvard mengatakan, sesungguhnya dunia ini masih sanggup memberi makan 40 sampai 50 miliar penduduk bumi. Jadi penyebab utama kemiskinan adalah karena adanya ketimpangan sosial dan ekonomi akibat eksploitasi sekelompok elite yang hidup mewah.
Dewasa ini lebih dari 500 juta manusia hidup dalam apa yang disebut Bank Dunia, sebagai absolute poverty (kemiskinan mutlak), sementara lebih dari setengah produksi gandum dunia dimakan oleh kurang dari seperempat penduduk dunia. Seperempat lagi dijadikan makanan ternak di negara-negara maju. Sisanya dibagi kepada 500 juta manusia. Lebih menyedihkan lagi karena banyak di antara masyarakat yang miskin mutlak itu adalah kaum muslimin.
Tapi bila dipandang lebih dalam lagi, bahwa kemiskinan umat Islam bergandengan dengan kemewahan pemimpinnya. Di Karachi ada perkampungan pensiunan militer dengan gedung-gedung besar dan kolam-kolam bunga yang gemerlap. Tapi tidak jauh dari situ, ratusan penduduk antre untuk memperoleh satu jerigen air minum. Begitu juga ketika terjadi wabah kelaparan terjadi di Bangladesh, saudara-saudaranya yang kaya justru berjejer di depan kantor agraria untuk membeli tanah si miskin yang dijual sebagai kekayaan terakhir.
Di sini kita membutuhkan pemimpin yang dapat menjadi teladan dan pembela kaum papa, sayangnya di antara para pemimpin itu kita belum mendapatkannya. Padahal, Rasulullah, sebagai pemimpin, telah mencontohkannya sebagaimana sabdanya, “aku duduk sebagaimana duduknya budak belian dan aku makan sebagaimana makannya budak belian”. Ia tidur dari tikar yang dianyamnya sendiri. Ia memilih hidup sederhana, bukan karena ia mengharamkan kemewahan, melainkan karena ingin dekat dengan yang miskin.
Dan sebagai penutup ada baiknya kita renungkan sabda Rasullullah berikut ini, “Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin dan menonjol-nonjolkan kehidupan dunia serta rakus dalam mengumpulkan harta maka mereka akan ditimpa empat bencana: zaman yang berat, pemimpin yang zalim, penegak hukum yang khianat dan musuh yang mengancam”, Barangkali ini sinyal bagi “the end of nation state” yang dinyalakan sejak lama. (han)