Oleh: Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Kantun jujuluk nu arum. Kari wawangi nu seungit Nyebar mencar sa-Pasundan. Nyambuang sa-Nusantara… (“Dangding Rd Dewi Sartika”, Rd Mahyar Angga Kusumadinata).
Antropolog asal Prancis yang sempat membuat monografi tentang kiprah perjuangan Dewi Sartika, Viviane Sukanda-Tessier pernah berujar bahwa ketokohan Dewi Sartika sebagai pejuang emansipasi perempuan, semestinya mendapat tempat yang lebih layak di negeri ini.
Menurut Viviane, perjuangan Dewi Sartika tidak sekadar menyatakan membenci pergundikan, larangan perempuan untuk memperoleh pendidikan, dan anggapan perempuan hanya barang pemuas. “Tetapi, ia juga bersikap konsisten dengan tidak menjadi istri muda atau selir, serta mendirikan sekolah bagi kaum perempuan dan menjadi guru di sana,” ungkapnya.
Pada beberapa hal, apa yang disampaikan Viviane yang menikah dengan Raden Haris Sukanda Natasasmita itu memang menemukan pembenarannya. Subjektivisme penulisan sejarah (historiografi) bangsa ini, telah membuat posisi Dewi Sartika seolah termarginalkan. Tidak proporsional dibandingkan dengan apa yang telah dilakukannya.
Salah satu upaya mendorong penghormatan selayaknya bagi sosok Dewi Sartika, Pengurus Besar Paguyuban Pasundan merancang serangkaian acara bertepatan dengan peringatan kelahiran Dewi Sartika, Jumat (4/12/2015) ini. Pada pagi hari ini, sebanyak 4.000 peserta akan hadir pada upacara peringatan kelahiran Dewi Sartika di Jalan Dr Ir Sukarno, Kota Bandung, tepat di samping Gedung Merdeka.
”Menurut rencana, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil akan menjadi inspektur upacara. Peserta terdiri dari keluarga Dewi Sartika, siswa, guru, dosen, organisasi perempuan, dan unsur lain di lingkungan Paguyuban Pasundan. Kecuali inspektur upacara, semua petugas upacara adalah perempuan,” ungkap Ketua Umum Paguyuban Pasundan M Didi Turmudzi di Bandung, Kamis (3/12/2015).
Pada Jumat (4/12/2015) siang, mulai pukul 13.30, digelar seminar tentang kiprah perjuangan Dewi Sartika di Aula Pascasarjana Universitas Pasundan, Jalan Sumatra, Kota Bandung. “Seminar menghadirkan pembicara, yaitu Ina Primiana (Kiprah Strategis Kemandirian Perempuan Dalam Membangun Kesejahteraan Masyarakat), Nina Herlina Lubis (Langkah-langkah Dewi Sartika dan Pengaruh Dukungan Masyarakat bagi Kemajuan Bangsa), serta Keny Dewi Krisdiani (Nilai Pendidikan Dewi Sartika Sebagai Ruh Kebangkitan Perempuan),” kata Didi. –
Inspirasi
Menurut Didi, apa yang dilakukan Paguyuban Pasundan adalah dorongan kepada pemerintah di tingkat provinsi, kota, dan kabupaten untuk menggaungkan peringatan kelahiran Dewi Sartika secara berkelanjutan dan konsisten.
Didi menyatakan, selama ini harus diakui peringatan kelahiran Dewi Sartika tak semeriah peringatan RA Kartini. “Tanpa berniat membandingkan antara keduanya, terlebih untuk menilai satu dengan lainnya, harus diakui Dewi Sartika adalah sosok yang membuat terobosan besar dan daya kritis terhadap gejala di hadapannya di tengah keterungkungan,” tuturnya.
Bahkan, sikap kritisnya melihat kebodohan dan ketidakberdayaan perempuan di masa itu, dengan nalar dan tajam diwujudkannya dalam tindakan konsepsional. ”Sakola Kautamaan Istri adalah bukti konkret pemikiran dan perjuangannya,” kata Didi.
Ia menegaskan apa yang telah dilakukan Dewi Sartika teramat relevan dengan kondisi saat ini. Tantangan yang dihadapi kaum perempuan saat ini sama berat dengan apa yang dihadapi Dewi Sartika.
Dewi Sartika lahir di Bandung 4 Desember 1884 dan wafat di Tasikmalaya, 11 September 1947. Beliau dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di permakaman Cigagadon, Desa Rahayu, Kecamatan Cineam, Tasikmalaya. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di Kompleks Permakaman Bupati Bandung di Jalan Karanganyar Kota Bandung. (han)