Oleh: Prof. Dr. Ir. Wisnu Cahyadi, M.Si, Dosen Fakultas Teknik Teknologi Pangan Unpas
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Pangan dan Energi, adalah kebutuhan dasar dan sumber kehidupan utama manusia. Seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan akan pangan dan energi terus meningkat. Ini dialami oleh hampir seluruh negara di muka bumi.
Pertumbuhan permintaan akan pangan dan energi yang tinggi, pemanfaatan yang tidak efisien serta tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber dayanya yang dapat dijangkau, telah menjadikan kelangkaan pangan dan energi yang dihadapi banyak negara.
Konflik memperebutkan pangan dan energi bahkan diperkirakan semakin banyak ke depan, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan kemakmuran yang disertai dengan peningkatan permintaan akan pangan dan energi yang dibutuhkan untuk industrialisasi maupun memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Ketahanan pangan dan energi menjadi perhatian dan agenda pembangunan semua negara.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) mengagendakan pangan dan energi untuk ditingkatkan ketersediaan, keterjangkauan dan mutunya di seluruh belahan dunia. Dua isu penting di dunia pertanian dan perkebunan tentang ketahanan pangan dan energi terbarukan saat ini sedang menjadi perhatian khusus. Bertajuk Pengembangan Pertanian Lokal Berbasis Sorgum dalam Mendukung Upaya Pencapaian Ketahanan Pangan dan Energi Terbarukan, sektor pertanian dan perkebunan menjadi sorotan karena erat kaitannya dengan ketahanan pangan dan energi nasional. Ketahanan pangan dan energi menjadi sesuatu yang harus diupayakan agar terhindar dari krisis pangan dan energi yang seakan menghantui Indonesia.
Muncul beberapa persoalan diantaranya penggunaan produk impor yang dikhawatirkan akan mematikan pertanian dalam negeri kita, ketergantungan terhadap pupuk anorganik tinggi dan masih sedikitnya petani yang bertransformasi menjadi pengusaha pertanian. Maka perlu diperhatikan bahwa fungsi pertanian lokal Indonesia dibagi menjadi dua yaitu ketahanan pangan dan ketahanan energi dengan memahami konsep ketahanan pangan dan penerapannya, serta memahami konsep energi terbarukan dan prospek pengadaannya melalui kegiatan pertanian dan perkebunan.
Presiden Indonesia, Joko Widodo, dalam pidatonya di COP28 Dubai pada 1 Desember 2023, menyatakan produk pertanian dan perkebunan memiliki potensi untuk menjadi energi bersih dan ramah lingkungan. Menurut beliau, produk pertanian dan perkebunan dapat diolah menjadi bahan bakar nabati yang lebih ramah lingkungan daripada bahan bakar fosil. Pada tahun 2023, Indonesia mulai mengembangkan program biodiesel B35 untuk mengatasi konsumsi 12,2 juta kiloliter biodiesel. Presiden Joko Widodo menekankan permintaan produk pertanian dan perkebunan akan meningkat secara global di masa depan, yang disumbang peningkatan permintaan makanan dan produksi energi. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo mengajak untuk memperkuat kolaborasi global dan peningkatan investasi di sektor pertanian dan perkebunan di masa depan.
Kolaborasi global dianggap dapat mendukung keamanan pangan dan energi yang berkelanjutan. Pemerintahan baru yang akan datang diharapkan dapat berkomitmen untuk mempercepat pengembangan bioenergi sebagai alternatif energi terbarukan yang ramah lingkungan. Ini termasuk investasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi bioenergi yang inovatif serta pembangunan infrastruktur yang mendukung produksi dan distribusi bioenergi. Populasi dunia di masa depan terus tumbuh, karena itu permintaan terhadap air, pangan, dan energi juga turut meningkat. Jika masyarakat global tidak bekerja sama dan mengantisipasi dilema antara populasi dan produksi pertanian, kita berpotensi mengalami krisis pangan dan energi.
Selama beberapa dekade terakhir, telah terjadi perubahan paradigma global terhadap isu tanaman pangan sebagai sumber energi. Paradigma lama menganggap tanaman pangan harus ditanam terutama untuk digunakan oleh manusia dan hanya boleh digunakan sebagai pilihan terakhir untuk produksi energi. Tetapi seiring dengan bertambahnya kesadaran orang terhadap manfaat potensial tanaman pangan dalam diversifikasi sumber energi kita, paradigma ini mulai berubah. Selain itu, pemerintah juga memainkan peran penting dalam menetapkan arah dan kerangka fiskal dalam merangsang paradigma tersebut.
Berkaitan dengan teori nexus: perubahan iklim, keamanan pangan, dan keamanan energi adalah tiga tantangan global utama yang saling terhubung dan berdampak satu sama lain. Ketergantungan pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama secara global telah menyebabkan polusi dan peningkatan emisi gas rumah kaca, yang telah mempercepat perubahan iklim. Perubahan iklim berdampak pada keamanan pangan karena mengganggu pola cuaca dan ekosistem. Produktivitas pertanian telah terganggu oleh pola curah hujan yang tidak teratur, banjir, kekeringan, dan bencana alam lainnya. Suatu ketahanan pangan yang kokoh merupakan jaminan negara atas rakyatnya dalam pemenuhan kebutuhan primair umat manusia. Kondisi labilnya ketahanan pangan, merupakan problematika superlatif yang dapat mengguncang ketahanan nasional secara luas dan mendasar.
Adapun yang disebut sebagai ketahanan pangan selalu diasosiasikan terhadap kondisi terpenuhinya pangan bagi seluruh lapisan masyarakat yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam segi kuantitas, kualitas, serta keterjangkauan memperolehnya. Dalam mencapai tahap yang disebut sebagai ketahanan pangan, agaknya Indonesia mengalami degradasi antusiasme, hal ini dibuktikan dengan kegiatan impor yang dari tahun ke tahun semakin progresif. Keadaan ini semakin memberikan jurang pemisah kepada tercapainya suatu ketahanan pangan yang mantap. Melihat pada predikat yang diberikan kepada Indonesia sebagai negara agraris, adalah sangat memprihatinkan apabila neraca perdagangan kita pada posisi negatif, dalam artian kegiatan impor lebih besar dari pada kegiatan ekspor.
Kekhawatiran dan kecemasan bangsa terhadap ketahanan pangan yang kian merosot, mengisyaratkan dibutuhkannya konstruksi pemikiran yang implementatif serta berdayaguna dalam meneguhkan posisi ketahanan pangan yang merupakan garda terdepan sebagai jaminan kesejahteraan umat manusia. Telah kita ketahui bahwa saat ini cadangan beras pemerintah hanya menguasai 500 ribu ton stok beras yang notabene hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi selama enam hari. Merupakan suatu pukulan telak bagi bangsa kita, jika dikomparasikan dengan Cina yang telah mengamankan 34 juta ton beras sebagai lumbung cadangan pemerintah.
Yang menjadi perhatian dalam menciptaakan ketahanan pangan disini, juga mencakup masalah distribusi terhadap seluruh lapisan masyarakat, mengingat kebutuhan akan pangan merupakan salah satu kebutuhan yang paling fundamental dalam tata kehidupan umat manusia. Sebagai suatu negara yang limpah ruah kekayaan alamnya, Indonesia perlu disadarkan akan pemanfaatan kekayaan alam tersebut secara maksimal. Kegagalan Indonesia dalam mengakomodir kebutuhan pangan secara mandiri dan berdikari menjadi cambuk kebijakan pangan pemerintah kedepannya sehingga pemenuhan pangan tersebut akan berorientasi pada produksi dalam negeri secara masif. Dalam rangka mencukupi kebutuhan bahan pangan utama dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor pangan maka Pemerintah telah mencanangkan program pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, dengan sasaran peningkatan produksi dapat dipertahankan minimal sesuai dengan pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Energi adalah mesin peluang sosio-ekonomi transformatif yang menyentuh setiap aspek pembangunan berkelanjutan dan kemampuan untuk mengakses energi merupakan faktor fundamental dalam mencapai ketahanan pangan dan nihil kelaparan. Energi tidak hanya diperlukan untuk mengonsumsi pangan. Program Pangan Dunia (WFP) menerapkan pendekatan energi berkelanjutan berbasis pasar yang memperkuat bantuan pangan dengan menyediakan sarana produksi bagi masyarakat, dan meningkatkan kegiatan ketahanan yang mendukung rantai nilai pangan lokal. Kebijakan energi nasional ditujukan untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Oleh karena itu program ketahanan energi diarahkan untuk mengurangi ketergantungan sumber energi bahan bakar minyak yang tak terbarukan. Untuk itu Pemerintah mendorong penggunaan sumber energi dari bahan bakar nabati (biofuel) yang terbarukan yang antara lain komoditas sorgum, ubi kayu, jagung dan tetes tebu untuk dijadikan bioetanol. Untuk menggerakkan pemanfaatan komoditas sorgum ubi kayu, jagung dan tetes tebu sebagai bahan bakar nabati maka diperlukan langkah-langkah dan upaya antara lain: (1) mendorong penyediaan tanaman biofuel termasuk benih dan bibitnya, (2) melakukan penyuluhan pengembangan biofuel, (3) memanfaatkan lahan terlantar (tidak produktif), dan (4) melakukan sosialisasi pemanfaatan biofuel. Energi merupakan bagian integral dari berbagai konstelasi problematika di Indonesia.
Energi merupakan ‘titik episentrum’ dari aktivitas-aktivitas yang menghidupi kehidupan manusia. Sebegitu vitalnya peran energi dalam perikehidupan manusia, membuat negara dalam kondisi yang dependen terhadap eksistensi energi yang memadai. Dalam situasi yang sedemikian rupa tersebut, Indonesia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu untuk tetap mempertahankan pola ketergantungan terhadap energi yang ada atau melakukan suatu tindakan revolutif melalui ketahanan energi.
Konsepsi Ketahanan energi merupakan sebuah konsep dimana negara sebagai pengelola kekayaan alam demi menjamin kemashalatan hidup orang banyak sedia untuk mengoptimalkan serta mengamankan ketersediaan energi dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, maupun untuk diekspor sebagai sumber devisa negara. Dalam menghidupkan harapan bangsa tersebut, perlu disadari bahwa proses pengelolaan terhadap energi merupakan titik tolak berpikir dalam menciptakan kondisi ketahanan pangan tersebut. Salah satu sumber energi yang dapat dimanfaatkan keberadaannya adalah tanaman sorgum. Ketersediaan sorgum yang terbilang belum meningkat di Indonesia, akan menjadi sangat brilian apabila dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi kedepannya. Mengalihkan alokasi energi pada tanaman sorgum memang merupakan cikal bakal terciptanya ketahanan energi dalam dimensi futuristik.
Komoditas sorgum dapat digunakan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan ketahanan energi. Pengembangan komoditas sorgum dapat digunakan sebagai bahan baku energi nabati (biofuel), sedangkan untuk komoditas tebu diprioritaskan untuk swasembada gula, baru kemudian untuk mendukung ketahanan energi. Diharapkan melalui optimalisasi pemanfaatan KKP-E khususnya sorgum dapat mendukung ketahanan energi nasional.
Pemanfaatan sorgum baik sebagai sumber pangan, pakan maupun industri (energi) telah banyak dilaporkan. Sebagai bahan pangan, sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, bahkan kadar proteinnya lebih tinggi daripada beras. Sorgum memiliki kadar protein 11%, lebih tinggi dibandingkan beras yang hanya mencapai 6,8%. Kandungan nutrisi mikro lain yang dimiliki oleh sorgum adalah kalium, besi, fosfor, serta vitamin B. Sebagai pakan ternak, biji sorgum digunakan untuk bahan campuran ransum pakan unggas, sedangkan batang dan daun banyak digunakan untuk ternak ruminansia. Penggunaan biji sorgum dalam ransum pakan ternak bersifat suplementer (subtitusi) terhadap jagung karena kandungan nutrisinya tidak berbeda dengan jagung. Sebagai bahan baku industri, biji sorgum mempunyai potensi untuk dijadikan bahan baku industri bir, pati, gula cair, serta etanol. Jenis sorgum yang batangnya mengandung kadar gula yang tinggi disebut sorgum manis (sweet sorghum).
Seiring dengan terjadinya krisis energi sebagai akibat berkurangnya cadangan bahan bakar minyak maka peluang pemanfaatan bioenergi semakin besar. Sorgum adalah salah satu sumber energi terbarukan yang mempunyai potensi untuk mensubtitusi kebutuhan bahan bakar dunia. Peningkatan perhatian terhadap sorgum manis bukan hanya terjadi di negara maju tetapi juga negara berkembang termasuk Indonesia. Penggunaan biofuel yang diekstraksi dari juice dan bagas sorgum manis akan dapat membantu pemenuhan kebutuhan energi dunia. Sorgum manis dicirikan oleh kandungan gula yang tinggi, khususnya fraksi fruktosa, sukrosa dan glukosa yang dapat diolah menjadi etanol. Potensi permintaan sorgum untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakan dan bioetanol secara berkelanjutan sangat besar. Oleh karena itu upaya peningkatan produksi sorgum nasional sudah merupakan keharusan sehingga industri berbasis sorgum dapat berkembang. (han)