Oleh: Firdaus Arifin, Dosen Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan Dpk FH UNPAS
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Dalam dunia akademik, gelar “Guru Besar” atau profesor sering kali dipandang sebagai puncak karier seorang akademisi. Gelar ini tidak hanya mencerminkan keahlian dalam bidang ilmu tertentu, tetapi juga diharapkan membawa tanggung jawab moral dan intelektual yang besar. Namun, belakangan ini, ada kekhawatiran yang semakin meningkat bahwa gelar tersebut lebih sering dilihat sebagai sebuah status sosial daripada tanggung jawab akademik yang sebenarnya.
Istilah “Guru Besar Hanya Nama” (GBHN) muncul untuk menggambarkan fenomena di mana beberapa guru besar lebih mengutamakan prestise daripada dedikasinya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, pengajaran, dan kontribusi sosial.
Fenomena GBHN menyoroti adanya ketidakseimbangan dalam peran dan tanggung jawab guru besar. Banyak yang merasa bahwa gelar tersebut menjadi simbol prestise yang dapat digunakan untuk memperoleh keuntungan pribadi, baik dalam bentuk jabatan administratif di kampus maupun pengakuan dari publik. Hal ini tentu berlawanan dengan esensi gelar guru besar, yang seharusnya mencerminkan komitmen akademik dan kontribusi nyata bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta kemajuan masyarakat.
Transformasi Peran
Guru besar, secara tradisional, memiliki peran penting dalam menciptakan pengetahuan baru, membimbing generasi akademisi berikutnya, dan memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat. Guru besar diharapkan menjadi pionir dalam bidang penelitian, pemikiran kritis, dan inovasi. Di samping itu, Guru besar juga diharapkan memberikan bimbingan dan pengajaran yang berkualitas kepada mahasiswa serta menjadi teladan dalam hal integritas akademik.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, terdapat pergeseran paradigma di mana beberapa guru besar lebih banyak fokus pada kegiatan administratif, politik kampus, dan mencari pengakuan publik daripada menjalankan tugas akademik yang sesungguhnya. Pergeseran ini terjadi sebagai akibat dari meningkatnya tekanan untuk mencapai target kuantitatif dalam publikasi dan pengukuran kinerja yang didasarkan pada indeks sitasi. Perguruan tinggi sering kali mendorong para akademisi untuk lebih banyak mempublikasikan karya di jurnal internasional bereputasi, tanpa mempertimbangkan kualitas dan relevansi penelitian tersebut.
Fenomena ini mencerminkan adanya komersialisasi pendidikan tinggi, di mana prestasi akademik diukur dari jumlah publikasi dan indeks sitasi, sementara aspek pengajaran dan pengabdian masyarakat sering kali terabaikan. Hal ini memicu munculnya “guru besar yang hanya nama” – mereka yang mendapatkan gelar tetapi tidak memenuhi tanggung jawab yang melekat pada gelar tersebut.
Dampak Negatif
GBHN membawa dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas pendidikan dan penelitian. Ketika guru besar lebih fokus pada pencitraan dan pengakuan, kualitas pengajaran dan pembimbingan mahasiswa dapat menurun. Mahasiswa tidak lagi mendapatkan bimbingan dari para ahli yang benar-benar berdedikasi, melainkan dari mereka yang mungkin sudah terputus dari perkembangan terkini di bidangnya. Akibatnya, proses pembelajaran menjadi kering dan kurang relevan dengan kebutuhan zaman, serta generasi akademisi baru yang terbentuk menjadi kurang kompeten dalam menghadapi tantangan yang ada di lapangan.
Lebih lanjut, penelitian yang dihasilkan oleh GBHN cenderung kurang inovatif dan relevan. Mereka mungkin lebih banyak mempublikasikan karya yang aman dan tidak kontroversial untuk memastikan publikasi daripada mengeksplorasi ide-ide baru yang berpotensi mengubah pemahaman kita tentang suatu bidang. Inovasi menjadi terhambat karena para akademisi lebih memilih untuk bermain aman daripada mengejar penelitian yang benar-benar memiliki dampak besar. Hal ini tentu merugikan perkembangan ilmu pengetahuan dan inovasi di Indonesia, yang pada akhirnya memengaruhi daya saing bangsa di kancah global.
Selain itu, dampak jangka panjang dari GBHN adalah terganggunya fungsi perguruan tinggi sebagai agen perubahan sosial. Perguruan tinggi yang semestinya menjadi pusat pengembangan ilmu dan inovasi, berubah menjadi tempat yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan institusional daripada pada kemajuan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi menjadi instrumen kekuasaan yang lebih mengedepankan prestise daripada esensi akademik yang sesungguhnya.
Mengembalikan Marwah
Untuk mengatasi fenomena GBHN, diperlukan perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Pertama, perlu ada peninjauan ulang terhadap proses pengangkatan guru besar, memastikan bahwa gelar tersebut diberikan kepada para dosen yang benar-benar menunjukkan komitmen terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan pengajaran. Proses penilaian kinerja guru besar juga harus lebih holistik, mencakup aspek-aspek seperti kontribusi pada pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat, bukan hanya pada jumlah publikasi. Dengan demikian, gelar guru besar tidak hanya menjadi penghargaan atas prestasi akademik masa lalu, tetapi juga tanggung jawab untuk terus berkontribusi pada masa depan ilmu pengetahuan.
Kedua, perguruan tinggi harus menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi dan penelitian yang bermakna. Ini termasuk memberikan waktu dan sumber daya yang cukup bagi para guru besar untuk terlibat dalam penelitian yang mendalam, bukan hanya memenuhi target publikasi. Universitas perlu mendorong kolaborasi antara guru besar dengan peneliti muda dan mahasiswa, menciptakan budaya akademik yang dinamis dan produktif. Hanya dengan dukungan yang memadai, guru besar dapat menjalankan perannya sebagai pelopor ilmu pengetahuan dan inovasi.
Ketiga, perlu adanya perubahan budaya di kalangan akademisi itu sendiri. Gelar guru besar harus dilihat bukan sebagai puncak karier yang statis, tetapi sebagai awal dari tanggung jawab yang lebih besar. Guru besar harus menjadi teladan intelektual, etika, dan dedikasi, menunjukkan kepada generasi berikutnya bahwa pengembangan ilmu pengetahuan adalah proses yang berkelanjutan dan penuh tanggung jawab. Sebagai pelopor pemikiran, guru besar harus mendorong lahirnya ide-ide baru yang berani dan inovatif, sekaligus mengabdikan diri pada pengembangan masyarakat yang lebih baik.
Dalam kerangka ini, guru besar juga harus lebih aktif dalam mengembangkan pengabdian kepada masyarakat. Mereka harus menggunakan pengetahuan dan keahlian mereka untuk memberikan solusi atas berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Kontribusi nyata ini akan memperkuat posisi guru besar sebagai pemimpin intelektual dan moral yang dapat diandalkan dalam membangun bangsa yang lebih maju dan beradab.
Akhirnya fenomena “Guru Besar Hanya Nama” adalah refleksi dari masalah yang lebih besar dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Untuk memastikan bahwa gelar guru besar benar-benar mencerminkan keunggulan akademik dan komitmen terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, diperlukan perubahan mendasar dalam proses pengangkatan, penilaian, dan budaya akademik di perguruan tinggi. Hanya dengan demikian, kita dapat mengembalikan marwah guru besar sebagai pelopor pemikiran, inovasi, dan pendidikan yang sesungguhnya. Gelar tersebut harus kembali menjadi simbol tanggung jawab besar, bukan sekadar status sosial.
Dengan melakukan perubahan yang mendalam dan menyeluruh, kita dapat memastikan bahwa gelar guru besar di Indonesia kembali menjadi tanda kehormatan yang sarat akan tanggung jawab moral, intelektual, dan sosial. Ini adalah langkah penting menuju pendidikan tinggi yang lebih bermakna dan relevan dalam menjawab tantangan global. (han)