Oleh: Firdaus Arifin, Dosen Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan Dpk FH UNPAS
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Oktober adalah bulan istimewa bagi Tentara Nasional Indonesia atau TNI. Pada peringatan Dirgahayu Tentara Nasional Indonesia yang ke-79 ini, kita patut merenungkan bagaimana peran institusi pertahanan ini dalam menjaga kedaulatan bangsa dan stabilitas negara. Di balik parade militer dan sambutan kenegaraan yang megah, ada pertanyaan yang selalu layak diajukan: bagaimana Tentara Nasional Indonesia, sebagai alat negara, mampu menyeimbangkan peranannya antara menjaga pertahanan negara dan memelihara kehidupan demokrasi?
TNI adalah institusi yang unik. Dalam sejarahnya, ia memiliki posisi sentral dalam dinamika politik Indonesia, terutama sejak era Orde Baru. Sebagai pewaris militer revolusi, Tentara Nasional Indonesia diharapkan tidak hanya menjadi penjaga batas-batas fisik negara. Tetapi juga pilar penting dalam menjaga keutuhan bangsa. Namun, dalam tataran praktis, tantangan yang dihadapi TNI hari ini jauh berbeda dengan masa lalu. Di era reformasi, ketika supremasi sipil ditegakkan, peran TNI dalam kehidupan politik harus diatur secara lebih tegas, untuk menghindari kembalinya militerisme yang pernah mendominasi Indonesia.
Tantangan Kontemporer
Saat ini, Tentara Nasional Indonesia menghadapi tantangan kompleks dalam berbagai aspek. Pertama, perkembangan geopolitik di kawasan Asia Tenggara yang penuh dengan dinamika membuat TNI harus lebih responsif terhadap ancaman eksternal. Persaingan pengaruh antara Amerika Serikat dan China, serta sengketa Laut China Selatan, menjadi ujian besar bagi TNI dalam menjaga kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia.
Di sisi lain, ancaman dalam negeri tidak kalah pentingnya. Gerakan-gerakan separatisme, radikalisme, dan terorisme memerlukan pendekatan yang lebih cerdas dan strategis. Tantangan ini memaksa TNI untuk tidak hanya mengandalkan kekuatan militer semata, tetapi juga sinergi dengan komponen masyarakat lainnya, termasuk kepolisian dan aparat sipil lainnya.
Namun, tidak dapat disangkal, dalam menjalankan fungsinya, TNI kerap kali dihadapkan pada kritik. Salah satunya adalah keterlibatan TNI dalam bidang yang seharusnya menjadi domain sipil. Meskipun Undang-Undang TNI tahun 2004 telah mengatur batasan yang jelas mengenai peran militer dalam urusan sipil, realitasnya masih terdapat kasus-kasus yang menunjukkan intervensi TNI dalam bidang politik dan ekonomi. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran akan potensi kembalinya militerisme yang pernah terjadi di masa lalu.
TNI dan Demokrasi
Peringatan Dirgahayu TNI kali ini juga harus menjadi momentum refleksi bagi para pemimpin militer untuk menginternalisasi semangat reformasi. Reformasi militer pada tahun 1998 telah memberikan jalan bagi supremasi sipil yang lebih kokoh, di mana TNI tidak lagi berperan sebagai kekuatan politik yang dominan. Namun, ini tidak berarti bahwa tantangan telah selesai.
Ke depan, TNI perlu terus memperkuat komitmennya terhadap demokrasi. Ini berarti bahwa militer harus mematuhi prinsip-prinsip konstitusi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, transparansi, dan akuntabilitas. Dalam konteks inilah, peran Tentara Nasional Indonesia tidak bisa dilepaskan dari fungsi kontrol oleh institusi-institusi sipil, termasuk parlemen dan lembaga penegak hukum.
Sebagai bagian dari reformasi tersebut, penting untuk memastikan bahwa struktur komando dan organisasi TNI tetap berorientasi pada tugas utama mereka: menjaga kedaulatan negara. Menguatnya peran TNI dalam ranah politik hanya akan menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem pemerintahan, yang pada akhirnya berpotensi melemahkan demokrasi itu sendiri. Tentara Nasional Indonesia harus menjadi garda terdepan dalam mengawal stabilitas, bukan menjadi aktor politik yang bermain di belakang layar.
Sinergi untuk Masa Depan
Salah satu tantangan terbesar bagi TNI adalah bagaimana membangun sinergi dengan komponen masyarakat sipil lainnya. Dalam era globalisasi dan teknologi informasi yang serba cepat, ancaman terhadap negara tidak lagi hanya berbentuk serangan militer konvensional. Serangan siber, propaganda, dan infiltrasi ideologi merupakan ancaman-ancaman baru yang membutuhkan pendekatan holistik, melibatkan seluruh elemen bangsa, baik militer maupun sipil.
Untuk itu, Tentara Nasional Indonesia perlu bertransformasi menjadi kekuatan yang tidak hanya tangguh secara fisik, tetapi juga cerdas secara strategi dan teknologi. Penguatan kapasitas sumber daya manusia di tubuh TNI harus menjadi prioritas. Di sinilah sinergi dengan perguruan tinggi, lembaga riset, dan sektor swasta dapat menjadi kunci keberhasilan Tentara Nasional Indonesia di masa depan.
Sinergi tersebut juga harus mencakup upaya penguatan hubungan sipil-militer. Dalam banyak hal, peran sipil sering kali dianggap berlawanan dengan militer, padahal keduanya harus berkolaborasi demi kepentingan negara. Kesadaran ini perlu ditanamkan dalam seluruh aspek pendidikan dan latihan Tentara Nasional Indonesia, bahwa kekuatan militer yang besar harus diimbangi dengan penghargaan terhadap supremasi sipil.
Dirgahayu Tentara Nasional Indonesia ke-79 adalah momen penting untuk mengingat kembali peran TNI sebagai penjaga kedaulatan bangsa, sekaligus mitra penting dalam menjaga demokrasi. TNI harus terus berbenah, tidak hanya dalam memperkuat kapabilitas militer, tetapi juga dalam menjaga jarak dengan urusan politik praktis. Hanya dengan demikian, Tentara Nasional Indonesia akan mampu menjalankan tugasnya dengan optimal. Menjadi kekuatan yang disegani, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dengan semangat reformasi yang terus dijaga, TNI akan mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman. Tanpa kehilangan jati dirinya sebagai pelindung negara yang setia pada konstitusi dan demokrasi. (han)