Oleh: Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si, Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan (Kemerdekaan RI)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sejarah Peradaban Manusia adalah sejarah perbudakan dan pemberontakan terhadap perbudakan itu seperti: Gerejawan di jaman Renaisance (Revolusi Renaisance). Bangsawan di jaman Revolusi Perancis, Kapitalis di jaman Revolusi Marxian.
Revolusi 1945 merupakan Revolusi yang diharapkan mampu secara tuntas membebaskan manusia dari segala bentuk kultur perbudakan, yang pada hakekatnya selalu berarti perbudakan manusia oleh pikirannya sendiri.
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa yang hanya bisa diberikan Allah bagi manusia yang beriman. Kemerdekaan dapat pula kita definisikan sebagai tingkat kesadaran manusia yang telah berhasil membebaskan diri dari pengusaan dunia materi, nafsu-nafsu hayati yang hanya mungkin terjadi kalau manusia telah mengenal Allah sebagai sumber cinta, sehingga ia mengabdi dengan Ikhlas hanya kepada-Nya. Bukan berarti manusia bebas dalam arti tidak lagi dipengaruhi oleh dunia materi dan nafsu-nafsu hayati, melainkan manusia berhasil menjadi master dari dunia materi, dari nafsu-nafsu hayati. Manusia hamba Allah yang identik menjadi Khalifatullah di Bumi.
Demokrasi perwakilan sebagaimana tertuang dalam Pancasila adalah ciri kehidupan sosial dalam masyarakat manusia Indonesia Merdeka. Selama manusia belum memiliki kemerdekaan sebagaimana didefinisikan di atas, kehidupan sosial tetap akan terperangkap dalam kultur perbudakan. Karena itu sejarah peradaban manusia hanyalah manifestasi lingkaran-lingkaran antara perbudakan dan kemerdekaan.
Proklamasi Kemerdekaan RI
Proklamasi Kemerdekaan adalah suatu proklamasi politik yang menegaskan bahwa ”Merdeka” adalah ”Mandiri”. Dengan kata lain Proklamasi Kemerdekaan adalah proklamasi ”Kemandirian”. Pernyataan kemerdekaan adalah suatu ”pernyataan budaya” yaitu untuk memangku nilai-nilai budaya berdaulat, melepaskan diri dari ketergantungan, kemampuan berbudaya untuk menolak ketergantungan, menolak perhambaan sebagai ”Kuli di Negeri Sendiri”. Sekaligus bersiteguh untuk tidak ragu menjadi ”Tuan di Negeri Sendiri”. Ke semuanya merupakan pernyataan budaya untuk meninggalkan ketertundukan dan melepas underdog mentality kaum Inlander.
Makna pernyataan kemerdekaan sebagai pernyataan budaya, salah satu bentuknya adalah tuntutan untuk merubah diri sendiri. Dimana dimasa jajahan merupakan kaum Inlander (Pribumi-Kelas Terendah) yang berada dibawah European (Kulit Putih-Kelas Teratas) dan kaum Vreemde Oosterlingen (Timur Asing-Kelas Menengah), dengan menegaskan kesetaraan non- diskriminatore. Lalu menyadari bahwa Indonesia merdeka dalam konstitusinya menegaskan: “…tiap-tiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya…”.
Dengan kata lain, egalite sebagai tuntutan peradaban mulia telah kita kawal sejak awal kemerdekaan kita dan ditegaskan disitu dalam konteks keluhuran emasipasi dan humanisme. Lagi-lagi realitasnya terbukti sulit melaksanakan tuntutan budaya merdeka di atas, tidak mudah melakukan cultural unlearning fundamental semacam itu. Seperti kita lihat kita tetap minder sebagai Inlander, tetap mudah kagum terhadap yang serba western berikut gebyar-gebyar globalisasi yang menyertainya.
Kesadaran-kesadaran berdaulat, mandiri, berharkat martabat, berkehidupan cerdas (tidak sekedar berotak cerdas), tangguh, merupakan “tuntutan budaya” yang harus kita penuhi sebagai bangsa yang telah berani menyatakan kemerdekaannya. Namun kiranya kita belum berhasil melakukan unlearning, belum berhasil melepas mindset tekuk-lutut, dan juga lengah menggariskan strategi budaya dalam pembangunan nasional kita untuk dapat memenuhi “tuntutan budaya” fundamental. Dengan Kepemimpinan Nasional yang baru, ada harapan baru untuk melakukan perubahan, Saatnya Kita Bangkit. (han)