Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan) – Agama dan Ekonomi dalam Buku Wawasan Islam
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Agama didefinisikan sebagai seperangkat kepercayaan dan aturan yang pasti untuk membimbing manusia dalam bertindak, baik terhadap Tuhan atau antarmanusia itu sendiri. Definisi ini menunjukkan bahwa bagian dari cakupan agama merupakan perilaku manusia dalam semua tahap dan aspeknya. Ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang dan jasa serta mendistribusikannya.
Dari perbandingan definisi agama dan ekonomi tersebut, tampak jelas bahwa dalam ekonomi terdapat tatanan dari cakupan yang terdapat dalam agama. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa setiap agama memiliki ajaran dan konsep sendiri-sendiri mengenai perorganisasian berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi.
Ekonomi dalam Al-Quran
Dalam Al-Quran digambarkan mengenai ajaran-ajaran para rasul terdahulu (sebelum Nabi Muhammad SAW.) atau risalah Nabi Muhammad sendiri dalam kaitannya dengan masalah-masalah ekonomi, seperti pesan Nabi Syu’aib kepada umatnya, yang disebutkan Al-Quran berikut ini.
“Ingatlah ketika Syu’aib berkata kepada mereka (penduduk Aikah), “Mengapa kamu sekalian tidak bertakwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul yang telah mendapatkan kepercayaan untukmu. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan taatilah aku. Aku sama sekali tidak meminta upah darimu untuk ajakan ini, upahku tidak lain hanyalah dari Allah, Tuhan penguasa seluruh alam. Tepatilah ketika kamu menakar dan jangan sampai kamu menjadi orang-orang yang merugi. Timbanglah dengan timbangan yang tepat. Janganlah kamu rugikan hak-hak orang lain dan janganlah berbuat jahat serta menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (O.S. Asy-Syu’ara [26] : 177 — 183)
Sejak permulaan Islam di Mekah atau sebelum terbentuknya masyarakat muslim di Madinah, ayat-ayat Al-Quran menampilkan pandangan Islam mengenai hubungan keagamaan pada satu pihak, dan perilaku (sistem) ekonomi di pihak lain, seperti ayat berikut ini:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang-orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi.” (O.S. Al-Muthoffifin [83] : 1 – 3)
Ayat tersebut mengutuk perilaku ekonomi yang terjadi pada masa tersebut, sekaligus merupakan petunjuk awal mengenai sistem ekonomi dan perilakunya yang dikaitkan dengan ajaran tentang pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Pandangan Terhadap Ekonomi Berbeda di Setiap Agama
Meskipun semua agama berbicara tentang masalah ekonomi, pandangannya dan setiap agama itu berbeda-beda. Beberapa agama tertentu melihat kegiatan ekonomi hanya sebagai kebutuhan hidup sebatas memenuhi kebutuhan makan dan minum semata. Mereka beranggapan bahwa kegiatan ekonomi yang melampaui batas merupakan orientasi yang keliru terhadap nilai-nilai manusiawi, atau merupakan kejahatan. Dengan demikian, orang yang tidak terlalu terlibat dalam kegiatan ekonomi akan lebih dekat dengan Tuhan. Sebab, harta kekayaan merupakan penghalang (hijab) bagi seseorang dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sebaliknya, dalam ajaran Islam, kegiatan ekonomi dianggap sebagai salah satu aspek dari pelaksanaan tanggung jawab manusia di muka bumi. Semakin banyak seseorang terlibat dalam kegiatan ekonomi, semakin baik dan semakin dekat dengan Allah selama ia menjaga dan memelihara ketentuan-Nya. Kesalehan bukan merupakan fungsi positif dari ketidakproduktifan ekonomi, karena semakin saleh kehidupan seseorang, justru semakin produktif. Harta kekayaan merupakan hal yang baik. Keinginan untuk memperolehnya merupakan tujuan yang baik pula. Seluruh pekerjaan yang secara ekonomi produktif pada dasarnya mempunyai nilai-nilai keagamaan di samping nilai-nilai yang lainnya. (han)