
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas (Kampus)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Universitas, setidaknya dalam imajinasi klasiknya, adalah tempat di mana gagasan-gagasan diuji tanpa takut pada kuasa. Ia adalah rumah bagi kebenaran yang sering kali tidak nyaman, tempat bagi mereka yang mencari, bukan bagi mereka yang sekadar mengelola.
Tetapi, bagaimana jika kampus tak lagi menjadi ruang bagi pencarian ilmu, melainkan hanya arena bagi perebutan jabatan?
Di banyak perguruan tinggi, kita menyaksikan fenomena yang semakin kentara: para akademisi yang lebih sibuk mengejar kursi rektor, dekan, atau posisi strategis lainnya daripada merawat ilmu. Mereka yang dulu menulis tentang filsafat keadilan kini sibuk melobi kekuasaan, mereka yang dulu bicara tentang etika kini terlibat dalam permainan politik kampus yang sama gelapnya dengan politik nasional.
Dan kampus, yang seharusnya menjadi tempat paling merdeka dalam berpikir, perlahan berubah menjadi institusi yang lebih sibuk mengelola status daripada mencari kebenaran.
Dari Intelektual ke Birokrat
Dulu, ilmuwan adalah mereka yang membangun peradaban dengan pikiran. Kita mengenal bagaimana para pemikir abad pertengahan berani menantang dogma demi ilmu. Kita membaca bagaimana universitas, dalam sejarahnya yang panjang, menjadi ruang perlawanan terhadap otoritas yang buta.
Namun, hari ini, banyak ilmuwan yang lebih tertarik menjadi manajer.
Gelar profesor tidak lagi sekadar pencapaian akademik, tetapi juga tiket menuju kekuasaan. Ada kompetisi ketat, ada manuver yang halus dan kasar, ada strategi yang melibatkan jaringan politik.
Orang-orang yang pernah mengkritik korupsi di seminar-seminar kini diam ketika kampus mereka sendiri disusupi kepentingan pragmatis. Mereka yang dulu mengajarkan tentang demokrasi kini terlibat dalam transaksi kuasa yang tak jauh berbeda dengan yang mereka kritik di luar kampus.
Dan kampus, yang seharusnya menjadi tempat bagi keberanian intelektual, justru semakin dipenuhi oleh mereka yang lebih nyaman bermain aman.
Rektor, Dekan, dan Politik Kampus
Tidak sulit melihat bagaimana politik telah menyusup ke dalam ruang akademik.
Pemilihan rektor, misalnya, semakin menyerupai pemilihan kepala daerah. Ada lobi ke pusat, ada kampanye terselubung, ada pembagian kepentingan. Dalam beberapa kasus, intervensi pemerintah begitu kentara, seolah kampus tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
Dan ketika seorang akademisi akhirnya mendapatkan kursi itu, apa yang terjadi?
Sering kali, jabatan yang diemban bukan lagi soal kepemimpinan akademik, tetapi tentang bagaimana mengelola hubungan dengan berbagai pemangku kepentingan. Anggaran harus dijaga, birokrasi harus dirawat, dan tentu saja, hubungan dengan penguasa harus tetap harmonis.
Ilmu?
Ah, itu bisa menunggu.
Ketika Akademisi Tidak Lagi Kritis
Kita semakin jarang melihat ilmuwan yang berani mengambil sikap kritis.
Bukan karena mereka tidak tahu ada yang salah, tetapi karena mereka sadar bahwa keberanian sering kali memiliki harga. Mengkritik bisa berarti kehilangan kesempatan, kehilangan akses, atau bahkan kehilangan jabatan.
Maka, lebih baik diam.
Lebih baik menulis jurnal yang aman, yang tidak mengguncang, yang cukup untuk memenuhi standar administrasi tanpa perlu menyinggung siapa pun.
Dan di tengah semua itu, kampus perlahan kehilangan semangatnya.
Dulu, universitas adalah tempat di mana pemikiran baru lahir. Hari ini, ia lebih mirip pabrik ijazah dan birokrasi yang sibuk dengan urusan administrasi.
Dan para ilmuwan, alih-alih berjuang untuk ilmu, lebih sibuk mengejar kursi.
Haruskah Kita Pasrah?
Tentu saja, tidak semua akademisi seperti itu. Masih ada mereka yang terus berjuang, yang percaya bahwa kampus bukan sekadar tempat mencari jabatan, tetapi rumah bagi pemikiran yang bebas.
Tetapi jumlah mereka semakin sedikit.
Dan jika kita tidak berhati-hati, kita akan sampai pada titik di mana universitas benar-benar kehilangan ruhnya—menjadi institusi yang megah secara fisik tetapi kosong secara intelektual.
Maka, pertanyaannya bukan sekadar apakah kampus kita masih menghasilkan ilmuwan, tetapi apakah kampus kita masih menghasilkan pemikir?
Karena jika yang kita hasilkan hanyalah birokrat akademik, maka universitas tak lebih dari kantor administrasi yang kebetulan memiliki perpustakaan.
Dan jika itu terjadi, maka kita harus bertanya pada diri sendiri: di mana tempat bagi mereka yang benar-benar ingin mencari kebenaran? (han)