BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Di balik tenangnya kota Ngawi yang sering dilewati dalam perjalanan lintas Jawa, tersembunyi serpihan cerita masa lalu yang menggugah. Dari benteng tua yang disebut Benteng Pendem, hingga kompleks pemakaman kolonial yang dikenal dengan nama Bong Londo, jejak-jejak sejarah itu kembali mengemuka lewat langkah-langkah para pegiat Temu Sejarah Indonesia.
Temu Sejarah Explore #3 yang dilaksanakan pada Minggu, 13 April 2025, menjadi ruang temu yang bukan hanya fisik, tapi juga emosional dan intelektual. Bersama Komunitas Sadar Lestari Ngawi, para peserta menyusuri lorong waktu, mencoba membaca kembali masa lalu yang tercetak diam di batu bata dan nisan-nisan tua.
Founder Temu Sejarah, Tiwi Kasavela, menyebut bahwa ide eksplorasi ini bermula dari obrolan santai antaranggota yang berdomisili di Ngawi.
“Awalnya cuma ngobrol biasa, lalu berkembang jadi wacana eksplorasi yang nyata. Karena kami percaya, sejarah bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk dialami langsung,” tutur Tiwi.
Benteng Van den Bosch, lebih dikenal warga sebagai Benteng Pendem—dibangun pada 1845, tak lama setelah berkecamuknya Perang Diponegoro. Dulu difungsikan sebagai markas militer Belanda, benteng ini kini berdiri sebagai saksi bisu bagaimana kolonialisme mencengkeram Nusantara. Tidak jauh dari sana, Bong Londo, kompleks pemakaman Belanda yang dibangun pada 1885, menguatkan nuansa nostalgia sejarah yang dalam.
Yang menarik, perjalanan ini bukan hanya tentang batu, arsitektur, dan fakta-fakta lama. Ini adalah tentang koneksi antarmanusia yang dibangun lewat sejarah. Para peserta datang dari Bandung, Solo, Blora, Madiun, hingga Malang—berkumpul untuk satu tujuan: menghidupkan kembali kisah yang nyaris dilupakan.
“Ini bukan sekadar napak tilas, kami ingin membangun kesadaran, bahwa sejarah itu hidup, dan kita adalah bagian darinya,” ungkap Tiwi.
Meski diselenggarakan dalam waktu yang cukup singkat, antusiasme peserta luar biasa. Masing-masing datang dengan semangat belajar dan berbagi, menjadikan kegiatan ini bukan hanya eksplorasi, tapi juga ruang diskusi yang hangat. Dari saling bertanya soal arsitektur kolonial, hingga berbagi kisah pribadi tentang hubungan mereka dengan kota-kota sejarah.
Temu Sejarah tak berhenti di sini. Menurut rencana, eksplorasi akan berlanjut ke Malang dan Jakarta pada Mei dan Juni 2025. Semakin banyak kota yang dikunjungi, semakin banyak cerita yang disulam kembali ke dalam kesadaran kolektif.
Ngawi, dalam perjalanan ini, menjadi lebih dari sekadar lokasi. Ia menjadi tokoh—diam, namun berbicara lewat setiap tembok yang mengelupas dan jalan setapak yang pernah dilalui serdadu-serdadu asing.
“Kita bukan sekedar pelancong, kita adalah pewaris. Dan kita harus terus menjaga cerita-cerita ini agar tak terkubur waktu,” tutupnya. (tiwi)