BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Di pagi yang sunyi dan berembun, saat matahari baru menggeliat dari balik pepohonan pinus, ada damai yang tak bisa dijelaskan. Damai itu juga yang dirasakan Siti Nuzulia Astiti Purwanto atau yang akrab disapa Nuzul, perempuan kelahiran Bandung, 17 Januari 1998, setiap kali melangkah di jalur pendakian.
Perkenalannya dengan dunia gunung berawal dari ajakan teman, tahun 2024. Gunung Pangradinan jadi awal mula segalanya.
“Sebelumnya aku cuma suka trekking ringan, tapi sejak saat itu, jadi nagih. Kayak ada rasa yang nggak bisa dilepas,” tuturnya.
Kini, 14 gunung sudah ia tapaki. Dari yang bertanah merah hingga berbatu tajam, dari Gunung Ciremai yang mistis sampai Gunung Prau dengan siluet Sindoro-Sumbing yang katanya, “se-magical itu.”
Bagi Nuzul, gunung bukan soal ketinggian, tapi kedalaman. Bukan tentang menaklukkan alam, melainkan menyatu dengannya.
“Setiap naik, aku selalu dapat tenang. Bisa ngobrol sama diri sendiri tanpa distraksi. Di ketinggian, kita dituntut jujur pada apa yang kita rasakan,” ungkapnya.
Di Gunung Prau, ia menangkap cahaya fajar yang jatuh sempurna di antara gunung-gunung biru di kejauhan. Di Ciremai, ia berdiri di Padang Edelweiss yang luas seperti dunia yang lupa waktu.
“Ada rasa dipanggil. Kayak Ciremai tuh punya magis sendiri,” tuturnya.
Namun, pendakian bukan selalu indah. Ia pernah nyasar di UPAS Hill, dan di situ, pelajaran terbesar datang: bahwa gunung bukan tempat untuk merasa tahu segalanya.
“Di gunung, kita belajar rendah hati. Kita nggak bisa nebak alam, jadi harus siap secara fisik, mental, dan logistik,” ungkapnya kepada PASJABAR, Rabu (7/5/2025).
Buat yang baru ingin mencoba naik gunung, Nuzul menyarankan: latihan fisik ringan seminggu sebelum, mental yang siap menghadapi ketidakpastian, riset jalur, bawa perlengkapan yang sesuai, dan jangan mendaki sendiri.
“Yang penting, jangan sok tahu dan jangan sok kuat. Alam itu guru yang tegas,” tandasnya.
Kini, Nuzul sedang menjalani hari-harinya sebagai job seeker, sembari aktif di komunitas, menulis, dan tetap menjaga koneksi dengan alam. Ia belum membuat konten khusus tentang pendakian, tapi fotonya di puncak dan senyumnya saat memegang trekking pole bercerita banyak.
Yang paling ia pegang sampai hari ini adalah filosofi kecil yang ia petik dari setiap langkah menanjak:
“Kalau kamu lagi pengen nyerah, coba deh satu langkah lagi. Kadang, tujuan kita cuma sejauh satu langkah yang belum kita ambil. Dan di gunung, setiap langkah punya arti,” pungkasnya. (tiwi)









