BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM—
Dalam senja yang menggantung di Kamis, 3 Juli 2025, ruang virtual Instagram Live Sindikasi Aksara terasa hangat oleh percakapan penuh makna. Bedah Buku #5 dalam program Kamisan Sindikasi Aksara (KamSara) kali ini mengulik karya seorang pemikir besar literasi Indonesia, Prof. A. Chaedar Alwasilah, melalui bukunya yang berjudul Pokoknya Rekayasa Literasi.
Hadir sebagai narasumber, putrinya yang juga akademisi dan penulis, Indiana Ayu Alwasilah, serta Deni Rachman sebagai pendamping diskusi.
Buku ini bukan sekadar catatan pemikiran tentang bahasa, tapi juga sebuah gugatan intelektual atas cara kita memaknai literasi, bahasa ibu, dan kekuasaan yang melekat di dalamnya.
Prof. Chaedar membuka ruang tafsir yang luas tentang perencanaan bahasa, sebuah bidang yang jarang disentuh dalam kajian akademik di Indonesia. Menurutnya, perencanaan bahasa tak bisa dilepaskan dari konteks politik, ekonomi, psikologi, hingga sosial. Bahasa bukan alat netral; ia bisa menjadi alat kontrol kekuasaan, sebagaimana digambarkan dalam bagian buku yang menyoroti kebijakan bahasa di Amerika. Di sana, seseorang yang tidak fasih berbahasa Inggris akan secara otomatis kehilangan posisi politik—tak terlihat, tak terdengar, dan akhirnya tersingkir.
“Bahasa adalah sesuatu yang dapat mengendalikan masa,” tulis Prof. Chaedar dalam bukunya. Kalimat ini bukan hanya puitik, tapi juga reflektif. Kita diingatkan bahwa bahasa bukan hanya sarana komunikasi, tapi juga penentu akses terhadap kekuasaan dan pengetahuan.
Literasi dan Krisis Apresiasi
Indiana Ayu Alwasilah, dalam sesi live, menggarisbawahi keresahan ayahnya tentang makna literasi hari ini. Literasi sering kali direduksi menjadi kemampuan teknis membaca dan menulis, padahal inti dari literasi adalah pemahaman dan apresiasi. Dalam pandangan Prof. Chaedar, di sinilah letak masalah besar literasi kita: kehilangan rasa.
“Kemampuan membaca seseorang dilihat dari seberapa jauh pemahamannya terhadap apa yang dibaca,” ungkap Indiana, mengutip ayahnya. Literasi bukan sekadar kata, tapi makna yang kita serap dan nilai yang kita hayati.
Sebagai seorang guru besar yang menanamkan nilai pada setiap kata, Prof. Chaedar dikenal akrab memperkenalkan sastrawan-sastrawan lokal kepada mahasiswanya. Baginya, sastra lokal adalah produk budaya yang layak dikembangkan dan diapresiasi. Dalam arus globalisasi yang deras, kekuatan lokal bukan untuk dipertentangkan, tapi untuk dikuatkan.
Indiana mengingatkan pentingnya pendekatan bertingkat dalam penguasaan bahasa:
“Bahasa ibu pasti, Bahasa Indonesia harus, Bahasa asing itu perlu.”
Pernyataan ini sederhana tapi tajam—mengandung filosofi identitas yang kuat. Di tengah euforia bahasa global, kita tak boleh lupa pada akar: bahasa ibu sebagai pondasi, Bahasa Indonesia sebagai pemersatu, dan bahasa asing sebagai jembatan ke dunia.
Menjadikan Literasi sebagai Sikap Hidup
Diskusi berdurasi satu jam ini jauh dari sekadar kupasan buku. Ia menjelma menjadi pengajian pikiran, tempat kita merenungkan ulang makna literasi. KamSara malam itu menghadirkan literasi bukan sebagai kegiatan akademik semata, tetapi sebagai sikap hidup—berpikir kritis, menghargai lokalitas, dan meletakkan bahasa sebagai alat pembebas, bukan penindas.
Siaran live yang bisa ditonton ulang melalui @sindikasi.aksara ini meninggalkan kesan mendalam: bahwa literasi sejatinya adalah upaya untuk merajut keberagaman pikiran, membuka ruang dialog, dan memperkuat identitas kolektif kita sebagai bangsa.
Bedah buku Pokoknya Rekayasa Literasi bukan sekadar membuka halaman demi halaman, tetapi membuka kesadaran. Di tengah gempuran arus informasi tanpa makna, kita diajak kembali ke esensi: bahwa membaca bukan hanya melihat huruf, tapi menyelami jiwa. Dan bahwa bahasa, dalam tangan yang tepat, bisa menjadi alat transformasi—bukan hanya wacana.
“Ketika bahasa bukan sekadar alat untuk berbicara, tapi adalah jembatan yang menyatukan pemahaman, membuka ruang dialog, dan merajut keberagaman pikiran.”— Sindikasi Aksara
(tiwi)












