BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM— Live Instagram KamSara edisi Buku Kehidupan #2 pada Kamis, (10/7/2025) menghadirkan sosok Novi Syaftika—seorang peneliti perempuan yang kini menempuh pendidikan doktoral di Universitas Hiroshima, Jepang.
Bersama host Foggy FF, perbincangan malam itu mengalir hangat dan penuh makna. Bukan sekadar kisah studi ke luar negeri, tapi perjalanan batin tentang ilmu, makna hidup, dan menjadi manusia utuh.
Novi membuka kisahnya dengan sederhana. Ia perempuan biasa, perantau, dan pencinta ilmu. Ketika mendapat kesempatan studi di Jepang, ia tak hanya pergi membawa mimpi akademik, tapi juga membawa pertanyaan-pertanyaan hidup yang selama ini ia simpan rapat.
Negeri sakura memberinya ruang untuk menyendiri, sekaligus memahami. Dalam heningnya Jepang, ia belajar bahwa ilmu tak pernah berdiri sendiri. Ia tumbuh dari budaya, nilai, dan relasi antarmanusia.
“Jepang memberi saya ruang untuk menyendiri, tapi juga untuk mengerti,” ucapnya pelan, namun penuh gema.
Pendidikan tinggi, bagi Novi, bukan soal gelar atau prestise. Ia menyebut bahwa justru gelar kadang terasa kosong, jika tak berpijak pada kebermanfaatan. Ia merasa lebih utuh sebagai manusia ketika bisa berbagi, menyentuh kehidupan orang lain, dan menjadikan ilmunya alat untuk merawat kehidupan.
Menjadi ‘terpelajar’ bukan berarti hafal teori atau pintar di atas kertas. Melainkan peka, rendah hati, dan terus membuka ruang belajar dari hal-hal kecil.
Ilmu pengetahuan modern yang ia tekuni—sains dan biomassa—tidak menjauhkan dirinya dari akar nilai dan spiritualitas. Sebaliknya, ia menemukan harmoni antara rasionalitas akademik dan kebijaksanaan tradisional. Bagi Novi, tidak perlu ada pertentangan antara ilmu dan kearifan lokal. Justru di titik temu keduanya, manusia bisa melihat dunia dengan lebih utuh.
“Ilmu pengetahuan modern dan nilai lokal tak harus bertentangan. Di sanalah saya belajar melihat dunia tidak hanya lewat data, tapi juga lewat rasa,” tambahnya.
Di akhir sesi, Novi menyampaikan satu hal yang terus ia pegang: bahwa manusia sejatinya adalah makhluk yang belajar, tak pernah selesai. Belajar dari buku, dari pengalaman, dari kesalahan, dari relasi, dan dari kehilangan.
“Menjadi manusia adalah terus belajar,” ucapnya. Kalimat itu menggantung, seperti mantra lembut yang ingin terus diulang.
Acara KamSara malam itu ditutup dengan haru dan apresiasi dari para peserta yang hadir. Bagi mereka, kisah Novi adalah cermin. Ia menunjukkan bahwa jalan meraih ilmu bisa sekaligus menjadi jalan pulang pada diri. Bahwa di tengah dunia yang menuntut cepat dan hebat, masih ada ruang untuk tumbuh dengan tenang—dengan keyakinan bahwa menjadi manusia bukan soal pencapaian, tapi perjalanan. (tiwi)












