
Oleh: Prof. Dr. H. Yaya Mulyana Abdul Azis, M.Si, Wakil Direktur I Bidang Akademik Pascasarjana Unpas dan Ketua Litbang Paguyuban Pasundan (Kebijakan KDM)
WWW.PASJABAR.COM – Pendidikan merupakan sebuah fondasi bangsa. Pendidikan di Indonesia tela diatur dalam sebuah Undang-Undang tentang pedoman dalam setiap Pendidikan dan penyelenggaraan yaitu: Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai pedoman Pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia terbagi menjadi tiga jenjang utama. Yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar terdiri dari enam tahun sekolah dasar dan tiga tahun sekolah menengah pertama. Pendidikan menengah meliputi tiga tahun sekolah menengah atas atau kejuruan.
Kondisi pendidikan di Indonesia saat ini mencerminkan kemajuan dan tantangan yang berjalan bersamaan. Hal tersebut dapat dilihat dari akses pendidikan yang semakin luas tetapi belum merata. Contohnya yaitu anak usia SMA banyak yang putus sekolah karena faktor ekonomi, lokasi, atau ketiadaan sekolah negeri. Seperti di Jawa Barat, setiap tahun puluhan ribu siswa tidak tertampung di SMA negeri karena keterbatasan ruang dan guru. Meskipun ada upaya pemerintah, jumlah anak putus sekolah di Indonesia masih tinggi. Menurut data UNESCO, sekitar 1,2 juta anak putus sekolah pada tahun 2020.
Sementara itu, pendidikan adalah pondasi utama dalam pembangunan sumber daya manusia. Salah satu aspek yang krusial dalam penyelenggaraan pendidikan adalah rasio antara jumlah siswa dan kapasitas ruang kelas. Di Jawa Barat, Gubernur Kang Dedi Mulyadi (KDM) mengambil kebijakan menambah jumlah siswa dalam satu kelas SMA negeri menjadi 50 siswa. Kebijakan ini menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat, mulai dari dukungan hingga kritik keras.
Latar Belakang Kebijakan
Permasalahan dalam sistem pendidikan menengah di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, terutama menyangkut aksesibilitas dan pemerataan kualitas pendidikan. Di Provinsi Jawa Barat, jumlah lulusan SMP yang ingin melanjutkan ke jenjang SMA setiap tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Namun, peningkatan tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan fasilitas pendidikan yang memadai. Baik dari segi jumlah sekolah negeri, kapasitas ruang kelas, maupun jumlah guru yang tersedia.
Dalam konteks ini, pemerintah provinsi menghadapi dilema. Di satu sisi, masyarakat menuntut agar anak-anak mereka bisa mengakses pendidikan di sekolah negeri yang terjangkau dan berkualitas. Di sisi lain, pemerintah memiliki keterbatasan anggaran dan waktu untuk membangun sekolah baru atau merekrut guru dalam jumlah besar. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara jumlah peserta didik dan daya tampung sekolah. Khususnya di wilayah perkotaan yang padat penduduk seperti Bandung, Bekasi, Bogor, dan Depok.
Gubernur Jawa Barat saat itu, Kang Dedi Mulyadi (KDM), melihat fakta bahwa setiap tahun puluhan ribu siswa lulusan SMP tidak tertampung di SMA negeri. Dan banyak dari mereka akhirnya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Bahkan, data dari UNESCO pada tahun 2020 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 1,2 juta anak di Indonesia yang mengalami putus sekolah. Angka ini menjadi sinyal keras bahwa sistem pendidikan belum berhasil memberikan solusi inklusif dan menyeluruh bagi seluruh peserta didik.
Dalam upaya mengatasi permasalahan daya tampung ini secara cepat, Gubernur KDM mengambil langkah kebijakan. Untuk meningkatkan jumlah siswa dalam satu kelas menjadi 50 orang di sekolah-sekolah negeri. Kebijakan ini secara administratif dan teknis berarti memaksimalkan penggunaan ruang kelas yang sudah ada. Tanpa harus menunggu pembangunan unit sekolah baru. Langkah ini dinilai sebagai solusi jangka pendek yang bersifat darurat. Untuk memastikan bahwa anak-anak yang berhak atas pendidikan tidak tertinggal hanya karena persoalan tempat. (Kebijakan KDM)
Sejalan dengan Prinsip Keadilan Sosial Pendidikan
Kebijakan tersebut juga sejalan dengan prinsip keadilan sosial dalam pendidikan. Banyak siswa dari keluarga kurang mampu tidak mampu membayar biaya sekolah swasta yang relatif mahal. Sehingga pilihan mereka terbatas pada sekolah negeri. Jika daya tampung sekolah negeri tidak diperluas, maka yang paling dirugikan adalah siswa dari kalangan ekonomi lemah. Oleh karena itu, kebijakan ini, meskipun kontroversial, dianggap sebagai upaya afirmatif. Untuk membantu siswa dari kelompok masyarakat bawah agar tetap bisa mengakses pendidikan menengah.
Namun, perlu diakui bahwa kebijakan ini tidak lahir dalam ruang kosong. Ia merupakan refleksi dari kegagalan sistemik dalam perencanaan dan pengelolaan pendidikan. Terutama dalam aspek pemerataan dan proyeksi jumlah peserta didik. Pemerintah daerah selama ini cenderung reaktif terhadap lonjakan jumlah siswa. Dan kurang sigap dalam mengantisipasi kebutuhan infrastruktur pendidikan. Akibatnya, ketika terjadi lonjakan jumlah siswa, solusinya cenderung bersifat darurat dan berisiko tinggi terhadap kualitas pendidikan.
Meskipun ada pihak yang mengkritik bahwa kebijakan ini dapat menurunkan mutu pembelajaran, pemerintah daerah beralasan. Bahwa langkah ini bersifat sementara sambil menunggu proses pembangunan unit sekolah baru yang sedang berjalan. Gubernur KDM bahkan menyatakan bahwa “lebih baik anak-anak berdesakan di sekolah daripada tidak sekolah sama sekali.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa pemerintah memilih prioritas kuantitas akses terlebih dahulu. Dengan harapan bahwa kualitas bisa diperbaiki seiring waktu.
Pergeseran Fokus Kebijakan
Selain itu, kebijakan ini mencerminkan adanya pergeseran fokus kebijakan pendidikan. Dari yang semula hanya berorientasi pada mutu menjadi kombinasi antara mutu dan aksesibilitas. Dalam situasi darurat seperti ini, kebijakan publik harus mampu menyeimbangkan dua hal penting tersebut. Artinya, pemerintah harus mampu membuat kebijakan yang tidak hanya menguntungkan satu sisi. Tetapi juga meminimalisir dampak negatifnya di sisi lain.
Penting untuk dicatat bahwa kebijakan ini hanya dapat berhasil jika diikuti oleh langkah-langkah pendukung lainnya. Seperti pelatihan guru untuk menangani kelas besar, penambahan sarana dan prasarana penunjang. Pengawasan terhadap kualitas pembelajaran, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam mendukung dunia pendidikan.
Jadi bisa dikatakan bahwa kebijakan menambah jumlah siswa per kelas hingga 50 orang adalah cerminan dari kompromi kebijakan publik. Antara keterbatasan sumber daya dan kewajiban negara untuk menjamin hak pendidikan setiap warganya. (Kebijakan KDM)
Dampak Positif Kebijakan KDM
Kebijakan penambahan jumlah siswa dalam satu kelas hingga 50 orang di SMA negeri Jawa Barat yang dilakukan oleh Gubernur Kang Dedi Mulyadi (KDM) merupakan bentuk intervensi langsung. Terhadap persoalan daya tampung pendidikan negeri, khususnya di tingkat menengah. Namun, kebijakan ini tidak terlepas dari konsekuensi, baik positif maupun negatif, terutama dalam hal kualitas pendidikan. Ada beberapa dampak positif dari kebijakan ini, yaitu:
- Meningkatkan Akses Pendidikan
Salah satu tujuan utama kebijakan ini adalah memperluas akses pendidikan menengah bagi siswa di Jawa Barat. Dengan menambah kuota siswa per kelas, maka lebih banyak lulusan SMP yang dapat diterima di SMA negeri. Khususnya siswa dari keluarga tidak mampu yang tidak sanggup membayar biaya pendidikan di sekolah swasta. Ini berkontribusi pada upaya menurunkan angka putus sekolah, yang menurut data UNESCO, masih sangat tinggi di Indonesia.
- Mengurangi Ketimpangan Sosial dalam Akses Sekolah Negeri
Sekolah negeri sering kali menjadi rebutan karena biayanya yang murah dan kualitasnya yang cenderung lebih baik dibandingkan sekolah swasta biasa. Namun, dengan kuota terbatas, hanya sebagian kecil siswa yang bisa masuk. Kebijakan ini, meskipun bersifat darurat, memberi peluang bagi lebih banyak siswa. Termasuk yang dari daerah padat penduduk dan miskin, untuk masuk ke sekolah negeri. Sehingga kesempatan belajar menjadi lebih merata.
- Efisiensi Sumber Daya
Dari sudut pandang efisiensi anggaran dan waktu, kebijakan ini bisa dianggap sebagai langkah logis. Membangun sekolah baru atau merekrut guru baru membutuhkan waktu bertahun-tahun dan biaya besar. Sementara itu, ruang kelas yang sudah ada bisa langsung digunakan dengan penyesuaian kapasitas. Kebijakan ini mencerminkan prinsip efisiensi dalam manajemen pendidikan publik. Dengan memaksimalkan fasilitas yang sudah tersedia.
Dampak Negatif kebijakan KDM
Tetapi bukan hanya dampak positif saja, melainkan ada juga dampak negatifnya dari kebijakan ini, berikut beberapa dampak negatif :
- Penurunan Kualitas Proses Pembelajaran
Dengan jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas, kualitas pembelajaran terancam menurun. Interaksi antara guru dan siswa menjadi sangat terbatas. Karena guru tidak mungkin memberi perhatian yang cukup kepada masing-masing siswa. Ini terutama berdampak pada siswa yang kesulitan belajar atau membutuhkan pendekatan khusus. Sistem pembelajaran yang ideal adalah ketika siswa dapat aktif bertanya dan berdiskusi—sesuatu yang sulit tercapai dalam kelas yang terlalu penuh.
- Beban Guru Semakin Berat
Jumlah siswa yang besar berarti guru harus menghadapi lebih banyak tugas. Mulai dari pengawasan, penilaian tugas dan ujian, hingga mengelola dinamika kelas. Tanpa penambahan tenaga pengajar, guru akan mengalami kelelahan fisik dan mental. Yang dapat menurunkan motivasi dan performa kerja. Bahkan, dalam jangka panjang, beban ini dapat mempengaruhi kesehatan dan profesionalisme guru.
- Kapasitas Ruang Kelas Tidak Memadai
Sebagian besar ruang kelas di sekolah-sekolah negeri dirancang untuk menampung sekitar 32–36 siswa. Ketika harus diisi hingga 50 siswa, maka ruang menjadi sempit, tidak nyaman, dan sirkulasi udara menjadi buruk. Dalam situasi ini, siswa bisa kesulitan berkonsentrasi, mudah lelah, dan suasana kelas menjadi bising dan tidak kondusif untuk belajar.
-
Menurunnya Kesejahteraan Psikologis Siswa
Lingkungan belajar yang penuh sesak dapat menyebabkan stres pada siswa. Mereka tidak punya cukup ruang untuk berekspresi, bertanya, atau berdiskusi. Tekanan belajar dalam situasi kelas yang ramai juga bisa menimbulkan kecemasan, kejenuhan. Dan bahkan sikap apatis terhadap proses belajar-mengajar.
- Risiko Kesenjangan Mutu antar Sekolah
Jika tidak semua sekolah mampu menangani kondisi kelas besar secara baik—terutama sekolah-sekolah di daerah pinggiran—maka kebijakan ini justru berisiko meningkatkan kesenjangan mutu antar sekolah. Sekolah-sekolah yang tidak memiliki sarana dan SDM memadai akan mengalami penurunan mutu lebih tajam. Dibanding sekolah favorit atau di pusat kota.
Kebijakan ini menempatkan pemerintah pada dilema antara kuantitas dan kualitas. Di satu sisi, perluasan akses pendidikan adalah keharusan konstitusional dan moral. Di sisi lain, pendidikan yang tidak bermutu justru bisa menjadi beban jangka panjang. Karena menghasilkan lulusan yang tidak siap bersaing atau melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
- Ancaman bagi sekolah Swasta
Kebijakan penambahan ini berdampak sangat signifikan bagi sekolah swasta. Dimana banyak sekolah swasta kehilangan siswanya, seperti seklah Taman Siswa hanya ada 1 siswa tahun ini. Begitu juga sekolah-sekolah Pasundan dan Muhammadiyah banyak yang hampir mati karena kehilangan jumlah siswanya.
Kebijakan Trade-Off
Dari sudut pandang kebijakan publik, tindakan Gubernur KDM mencerminkan kebijakan trade-off. Yaitu mengambil satu aspek yang mendesak (akses pendidikan) dengan mengorbankan aspek lain (kualitas proses belajar). Oleh karena itu, penting bahwa kebijakan ini hanya menjadi solusi sementara, dan harus diikuti oleh:
- Percepatan pembangunan ruang kelas baru,
- Rekrutmen guru baru (ASN atau PPPK),
- Pelatihan guru untuk metode mengajar dalam kelas besar,
- Penambahan fasilitas pendukung seperti teknologi dan sistem penilaian digital
Tanggapan Masyarakat, Guru, dan Pemangku Kepentingan Lainnya
Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), untuk menambah jumlah siswa dalam satu kelas hingga 50 orang di SMA negeri menimbulkan berbagai tanggapan yang beragam dari masyarakat, tenaga pendidik, dan para pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Respons-respons tersebut menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak hanya berdampak secara administratif dan teknis. Tetapi juga menyentuh dimensi sosial, psikologis, dan profesional dari semua pihak yang terlibat dalam ekosistem pendidikan.
Berikut beberapa respon dari Guru, Masyarakat, dan Pemangku kepentingan lainnya yang bisa saya uraikan dalam makalah ini. Sebagian besar masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah, menyambut baik kebijakan ini. Bagi mereka, sekolah negeri adalah satu-satunya harapan agar anak-anak mereka bisa melanjutkan pendidikan tanpa beban biaya tinggi. Sekolah swasta sering kali tidak terjangkau, baik dari sisi biaya pendaftaran, uang bulanan, maupun kebutuhan penunjang lainnya. Oleh karena itu, kebijakan yang memperbesar kapasitas kelas dianggap sebagai bentuk keadilan sosial. Karena membuka peluang lebih besar bagi siswa miskin untuk bisa bersekolah.
Beberapa orang tua juga melihat kebijakan ini sebagai langkah nyata pemerintah untuk mengurangi angka putus sekolah. Yang selama ini menjadi permasalahan kronis di Indonesia. Dalam banyak kasus, siswa yang tidak tertampung di SMA negeri memilih berhenti sekolah karena tidak punya alternatif lain. Maka, mereka memandang bahwa lebih baik anak-anak mereka “berdesakan” di ruang kelas daripada tidak bisa sekolah sama sekali.
Namun, tidak sedikit pula masyarakat, terutama yang memiliki kepedulian terhadap kualitas pendidikan, mengkritisi kebijakan ini. Mereka menilai bahwa keputusan menambah jumlah siswa per kelas akan merugikan anak-anak dalam jangka panjang. Karena suasana belajar menjadi tidak efektif. Sebagian orang tua juga mengkhawatirkan kenyamanan dan kesehatan anak-anak mereka yang harus belajar dalam ruang sempit, panas, dan penuh sesak. (Kebijakan KDM)
Guru yang Paling Terdampak
Sementara, kelompok guru merupakan salah satu pihak yang paling terdampak langsung dari kebijakan ini. Banyak guru yang mengeluhkan beban kerja yang meningkat tajam akibat jumlah siswa yang membeludak di setiap kelas. Dalam kondisi ideal, satu guru dapat mengajar dan mengawasi 30–35 siswa secara efektif. Namun, ketika jumlah siswa meningkat hingga 50 orang, maka waktu dan energi guru untuk membimbing setiap individu menjadi terbatas.
Dari sisi profesionalisme, banyak guru merasa tidak mampu memberikan pengajaran secara optimal dalam kelas besar. Interaksi antara guru dan siswa menjadi minim, suasana kelas cenderung lebih gaduh, dan pengelolaan disiplin menjadi lebih sulit. Selain itu, pekerjaan administratif seperti mengoreksi tugas, memberi penilaian, dan membuat laporan hasil belajar juga meningkat dua kali lipat, tanpa diimbangi dengan tambahan tenaga atau kompensasi.
Beberapa organisasi guru, seperti PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), menyuarakan kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat menurunkan semangat dan motivasi guru dalam mengajar. Mereka menekankan bahwa mutu pendidikan bukan hanya ditentukan dari akses masuk sekolah. Tetapi juga dari kualitas proses pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas.
Sedangkan respon pemerhati pendidikan, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada isu pendidikan umumnya mengambil sikap kritis terhadap kebijakan ini. Mereka mengakui bahwa pemerintah provinsi menghadapi dilema serius dalam menampung semua siswa di tengah keterbatasan anggaran dan fasilitas. Namun, mereka juga menekankan bahwa meningkatkan akses pendidikan tidak boleh mengorbankan mutu secara drastis.
Bisa Sebagai Langkah Darurat Jika Ada Rencana Jelas
Banyak pengamat menganggap kebijakan ini sebagai langkah darurat yang hanya bisa diterima jika disertai dengan rencana jangka menengah dan panjang yang jelas. Kebijakan ini tidak boleh menjadi solusi permanen. Karena akan menciptakan standar baru yang rendah dalam sistem pendidikan negeri. Beberapa dari mereka bahkan menyarankan agar kebijakan ini segera dievaluasi secara menyeluruh. Melalui pengumpulan data dampak di lapangan, termasuk melalui survei kepada siswa dan guru.
Dari pihak pemerintah sendiri, terutama Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, disampaikan bahwa kebijakan ini adalah solusi jangka pendek untuk menghindari ledakan siswa tidak sekolah. Pemerintah menyadari risiko kebijakan ini, tetapi menyebutnya sebagai pilihan paling rasional di tengah kondisi darurat. Gubernur KDM juga menegaskan bahwa langkah ini dilakukan sambil menunggu percepatan pembangunan sekolah baru dan perekrutan guru melalui skema ASN dan PPPK.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kebijakan penambahan jumlah siswa per kelas menjadi 50 orang di SMA negeri Jawa Barat telah memicu respons pro dan kontra dari berbagai pihak. Masyarakat miskin mendukungnya karena melihat manfaat langsung, sementara guru dan pemerhati pendidikan menyuarakan kekhawatiran atas dampaknya terhadap mutu. Oleh karena itu, kebijakan ini harus dikelola dengan pendekatan partisipatif, evaluatif. Dan disertai dengan kebijakan pelengkap agar tidak menciptakan permasalahan baru di kemudian hari. (Kebijakan KDM)
Kesimpulan
Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), untuk menambah jumlah siswa dalam satu kelas di SMA negeri menjadi 50 orang merupakan respons. Atas permasalahan kronis dalam sistem pendidikan menengah di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Barat. Kebijakan ini lahir dari realitas bahwa setiap tahun ribuan lulusan SMP tidak tertampung di SMA negeri akibat keterbatasan daya tampung, infrastruktur, dan jumlah tenaga pendidik. Dalam kondisi darurat seperti ini, pemerintah provinsi dihadapkan pada dilema. Antara menjaga kualitas pendidikan dan memastikan akses yang merata bagi seluruh warga negara. Terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Secara umum, kebijakan ini dapat dipahami sebagai langkah afirmatif yang bersifat jangka pendek. Untuk menyelamatkan sebanyak mungkin anak-anak dari risiko putus sekolah. Dengan menambah kapasitas kelas tanpa harus membangun ruang baru atau merekrut guru dalam jumlah besar, pemerintah berupaya menyelesaikan masalah daya tampung secara cepat dan efisien. Kebijakan ini sejalan dengan prinsip keadilan sosial, karena memberikan peluang bagi siswa dari lapisan masyarakat bawah. Untuk tetap bisa mengenyam pendidikan di sekolah negeri yang biayanya lebih terjangkau.
Dampak
Namun demikian, kebijakan ini juga menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas pendidikan. Ruang kelas yang dirancang untuk 32–36 siswa kini harus menampung hingga 50 siswa, menyebabkan suasana belajar menjadi tidak kondusif. Interaksi antara guru dan siswa berkurang drastis, serta beban kerja guru meningkat secara tajam. Selain itu, dari perspektif psikologis, siswa dapat mengalami stres dan kejenuhan karena lingkungan belajar yang terlalu padat dan bising. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak jangka panjang terhadap motivasi belajar dan pencapaian akademik siswa.
Tanggapan dari masyarakat pun beragam. Kelompok masyarakat miskin menyambut baik kebijakan ini karena membuka akses yang lebih besar bagi anak-anak mereka untuk melanjutkan pendidikan. Namun, kalangan guru, akademisi, dan pemerhati pendidikan justru mengkritisi kebijakan ini. Karena dinilai mengorbankan kualitas pendidikan demi kuantitas. Guru menjadi pihak yang paling terdampak langsung, menghadapi tantangan besar dalam memberikan pengajaran yang efektif. Serta meningkatnya beban administratif tanpa tambahan dukungan yang memadai.
Kompromi Keterbatasan Sumber Daya dan Tanggung Jawab Negara
Berdasarkan analisis terhadap ketiga aspek utama—latar belakang kebijakan, dampaknya, dan tanggapan dari berbagai pihak—dapat disimpulkan bahwa kebijakan ini adalah bentuk kompromi antara keterbatasan sumber daya dan tanggung jawab negara dalam menjamin hak pendidikan bagi seluruh warga. Kebijakan ini tidak dapat dijadikan solusi permanen, melainkan harus diposisikan sebagai strategi transisi. Sambil menunggu pembangunan sekolah baru, penambahan ruang kelas, perekrutan guru, dan peningkatan kualitas sistem pendidikan secara menyeluruh.
Untuk itu, pemerintah perlu segera menyusun dan menjalankan kebijakan pendukung. Seperti pelatihan guru untuk pengelolaan kelas besar, penyediaan sarana penunjang digital, serta sistem monitoring dan evaluasi yang transparan. Keterlibatan semua pemangku kepentingan secara partisipatif sangat penting. Agar kebijakan ini tidak menciptakan ketimpangan dan degradasi mutu pendidikan di masa depan.
Dengan demikian, kebijakan penambahan jumlah siswa dalam satu kelas hingga 50 orang adalah langkah berani namun berisiko tinggi. Yang memerlukan pengelolaan serius, komitmen politik yang kuat, dan perencanaan jangka panjang. Demi memastikan bahwa pendidikan di Indonesia tidak hanya inklusif secara kuantitas. Tetapi juga bermutu secara kualitas.
Melihat kompleksitas permasalahan dalam dunia pendidikan, khususnya di tingkat menengah di Provinsi Jawa Barat, maka kebijakan penambahan jumlah siswa dalam satu kelas menjadi 50 orang harus direspons dengan langkah-langkah strategis yang komprehensif dan berorientasi jangka panjang. Kebijakan ini memang memberikan solusi sementara terhadap keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Dan menjadi bentuk keberpihakan terhadap masyarakat kurang mampu. Namun, agar kebijakan tersebut tidak berdampak negatif secara permanen terhadap mutu pendidikan, maka pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya harus mengambil tindakan korektif dan antisipatif secara menyeluruh.
Saran
Pertama, pemerintah daerah bersama Dinas Pendidikan perlu segera mempercepat pembangunan unit sekolah baru. Dan penambahan ruang kelas di wilayah-wilayah padat pelajar. Hal ini penting agar kebijakan penambahan kapasitas kelas tidak menjadi solusi tetap. Melainkan transisi menuju sistem pendidikan yang lebih layak secara fisik dan kapasitas. Peningkatan infrastruktur juga harus dibarengi dengan penataan ulang zonasi pendidikan agar distribusi siswa lebih merata. Tidak menumpuk di sekolah-sekolah favorit saja.
Kedua, pemerintah harus menambah jumlah guru melalui mekanisme rekrutmen ASN atau PPPK. Sekaligus memberikan pelatihan intensif kepada guru yang sudah ada agar mampu mengelola kelas besar secara efektif. Pelatihan ini sebaiknya mencakup strategi pembelajaran aktif, penggunaan media teknologi. Serta pendekatan diferensiasi pembelajaran untuk siswa dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda.
Ketiga, sekolah-sekolah perlu difasilitasi dengan sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Seperti perangkat pendingin ruangan, proyektor, mikrofon, serta platform digital pembelajaran. Agar proses mengajar tetap efektif meskipun dengan jumlah siswa yang besar. Lingkungan fisik yang nyaman dan sarana belajar yang memadai akan membantu menjaga konsentrasi siswa dan mendukung kinerja guru.
Keempat, perlu dilakukan evaluasi berkala dan monitoring yang terukur terhadap pelaksanaan kebijakan ini. Baik melalui survei pada siswa dan guru, observasi di lapangan, maupun kajian akademik dari lembaga independen. Hasil evaluasi ini harus digunakan sebagai bahan koreksi dan perbaikan kebijakan yang terus- menerus. Agar dampak negatif bisa ditekan dan kualitas pendidikan tetap terjaga.
Saran (2)
Kelima, dalam setiap tahap perumusan maupun pelaksanaan kebijakan pendidikan, pemerintah harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Mulai dari orang tua, guru, kepala sekolah, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil yang peduli pendidikan. Keterlibatan publik yang partisipatif ini akan memperkuat legitimasi dan akuntabilitas kebijakan, serta membuka ruang untuk berbagai perspektif dalam merumuskan solusi.
Terakhir, yang tak kalah penting adalah penyusunan roadmap kebijakan jangka menengah dan panjang. Yang berfokus pada perbaikan sistem pendidikan secara menyeluruh. Tidak hanya dari aspek kuantitas akses. Tetapi juga peningkatan kualitas dan pemerataan layanan pendidikan.
Dengan demikian, kebijakan penambahan siswa per kelas yang saat ini diterapkan hendaknya dipandang bukan sebagai solusi akhir. Melainkan sebagai batu loncatan menuju reformasi pendidikan yang lebih inklusif, manusiawi, dan berorientasi masa depan. Pemerintah harus tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan, efisiensi, dan mutu dalam setiap kebijakan publik di bidang pendidikan. Demi menciptakan generasi muda yang cerdas, tangguh, dan kompetitif secara global. (han)












