WWW.PASJABAR.COM – Belantara Foundation bersama Universitas Pakuan mendorong upaya mitigasi konflik manusia-gajah sumatra melalui pendekatan koeksistensi.
Gagasan ini disampaikan dalam panel diskusi bertajuk “A Conservation Partnership Fighting to Protect Biodiversity in Asia” di Asia Pavilion, IUCN World Conservation Congress, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), Sabtu (11/10/2025).
Panel ini diinisiasi oleh Conservation Allies, organisasi konservasi asal Amerika Serikat, dan menghadirkan sejumlah mitra konservasi dari Asia.
Antara lain Applied Environmental Research Foundation (India), Royal Society for Protection of Nature (Bhutan), The NGO Forum On Cambodia (Kamboja), Malaysian Nature Society (Malaysia), Mindoro Biodiversity Conservation Foundation, Inc. (Filipina), serta Belantara Foundation (Indonesia).
Dalam kesempatan tersebut, Belantara Foundation bersama Universitas Pakuan mempresentasikan paparan berjudul “Coexistence in the Making: From Human–Elephant Conflict to Harmony in Industrial Landscape” atau “Mengupayakan Koeksistensi: Dari Konflik Gajah Menuju Sebuah Harmoni di Lanskap Industri.”
Populasi Gajah Sumatra Terancam dan Tantangan di Lapangan
Menurut para ahli, populasi gajah sumatra terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada 1980-an, jumlahnya masih sekitar 2.800–4.800 individu.
Data Departemen Kehutanan tahun 2007 mencatat populasinya menurun menjadi 2.400–2.800 individu. Selama periode 2007–2017, populasi gajah sumatra turun 21,2% atau sekitar 700 individu, hingga tersisa 1.694–2.038 individu di alam.
Perhitungan tahun 2019 menunjukkan populasi gajah sumatra tinggal 928–1.379 individu, tersebar di 23 kantong populasi terpisah di Pulau Sumatra.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation sekaligus dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Dr. Dolly Priatna, menjelaskan penurunan drastis populasi gajah dipicu oleh kehilangan habitat akibat alih fungsi hutan, perburuan, serta meningkatnya konflik manusia-gajah.
“Interaksi negatif yang semakin sering antara manusia dan gajah merupakan masalah serius dalam upaya konservasi,” ujar Dolly.
Ia menyoroti pentingnya Lanskap Sugihan–Simpang Heran di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, yang menjadi rumah bagi sekitar 100–120 individu gajah.
Lanskap seluas 600.000–700.000 hektar ini merupakan kawasan mosaik yang terdiri atas hutan tanaman industri, perkebunan, ladang, dan pemukiman, dengan hanya sekitar 10–12% berupa kawasan konservasi Suaka Margasatwa Padang Sugihan.
Upaya Kolaboratif Menuju Harmoni
Menurut Dolly, diperlukan pendekatan inovatif agar kepentingan konservasi dan kebutuhan manusia dapat berjalan seimbang.
“Selain mengoptimalkan fungsi koridor ekologis, diperlukan solusi atas semakin seringnya rombongan gajah liar masuk desa dan memakan tanaman masyarakat,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa konsep koeksistensi atau hidup berdampingan hanya bisa terwujud jika pemerintah, pelaku usaha, lembaga konservasi, akademisi, dan media bekerja sama membangun strategi bersama.
Untuk mendukung hal itu, Belantara Foundation bersama mitra berfokus pada peningkatan kapasitas kelompok mitigasi konflik, pembangunan menara pemantauan, edukasi lingkungan bagi anak usia dini, pengayaan pakan, serta penyediaan artificial saltlicks (tempat menggaram buatan) di kawasan hutan produksi.
Presiden Conservation Allies, Dr. Paul Salaman, menegaskan dukungan terhadap program konservasi Belantara Foundation di Lanskap Sugihan–Simpang Heran.
“Kami berkomitmen mendukung melalui hibah, penggalangan dana publik, serta peningkatan kapasitas di lapangan,” ujarnya.
Sementara itu, Dirjen KSDAE KLHK, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, M.Agr.Sc., yang turut hadir dalam diskusi, mengapresiasi kolaborasi tersebut.
Ia menekankan bahwa gajah sumatra berstatus Critically Endangered menurut IUCN dan masuk kategori Appendix I CITES, sehingga dilarang diperdagangkan.
“Inisiatif ini sangat baik dan diharapkan mampu mengubah interaksi negatif manusia-gajah menjadi hubungan yang harmonis,” tuturnya. (*)












