# Kekayaan intelektual Jadi aset
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — “Kekayaan intelektual itu bukan sekadar proteksi, tetapi investasi.” Pernyataan tegas itu disampaikan Dr. Andrieansjah, S.T., S.H., M.M.,
Sekretaris Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI, Focus Group Discussion (FGD) bertema
“Sinergi Antar Lembaga dalam Memperkuat Payung Hukum Kekayaan Intelektual sebagai Agunan Bank untuk Mendukung Pembiayaan Industri Kreatif di Jawa Barat.”
Acara ini digelar oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat melalui Bidang Pelayanan
Kekayaan Intelektual, Divisi Pelayanan Hukumberkolaborasi dengan Ikatan Alumni Notariat Universitas Padjadjaran (IKANO Unpad), Kamis (23/10/2025).
Kegiatan ini menjadi ajang diskusi lintas lembaga yang melibatkan pemerintah, akademisi, perbankan, dan pelaku industri kreatif.
FGD ini bertujuan memperkuat ekosistem pembiayaan berbasis kekayaan intelektual (KI), sekaligus membuka peluang bagi pelaku industri kreatif untuk menjadikan kekayaan intelektual sebagai aset agunan yang sah di dunia perbankan.
Andrieansjah, S.T., S.H., M.M., menjelaskan bahwa seluruh regulasi mengenai pemanfaatan kekayaan intelektual sebagai agunan bank sebenarnya sudah siap.
Ia menegaskan, tantangan utama saat ini bukan pada aturan, melainkan pada kesiapan ekosistem, mulai dari lembaga keuangan hingga tim penilai nilai kekayaan intelektual itu sendiri.
“Kalau terkait implementasi, sebetulnya semuanya sudah siap. Aturannya sudah ada, tim penilai sedang dipersiapkan, dan dari sisi lembaga keuangan pun bank-bank sudah merasa siap untuk melaksanakan,” ujar Andrieansjah.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya mengubah cara pandang terhadap kekayaan intelektual. Selama ini, banyak pihak masih melihat KI sebatas alat proteksi.
Kekayaan Intelektual
Padahal, menurutnya, kekayaan intelektual sejatinya adalah bentuk investasi yang memiliki nilai ekonomi.
“Kekayaan intelektual itu bukan sekadar proteksi, tetapi investasi. Nilainya bisa meningkat seiring waktu, tergantung bagaimana kita membangun reputasi dan merek dari kekayaan tersebut,” jelasnya.
Ia mencontohkan, sebuah merek yang didaftarkan dengan biaya kecil dapat bernilai puluhan juta rupiah beberapa tahun kemudian, tergantung bagaimana pemiliknya mengembangkan dan memanfaatkan hak tersebut.
Karena itu, ia mendorong adanya sosialisasi dan kesadaran bersama di kalangan perbankan agar nilai ekonomi KI dapat diakui.
“Sertifikat KI seharusnya bisa dilihat layaknya sertifikat tanah — berbeda wujud, tetapi sama-sama memiliki nilai aset.
Di negara lain seperti China, Korea, dan Amerika Serikat, hal ini sudah berjalan dengan baik. Indonesia perlu mengarah ke sana,” imbuhnya.
Pandangan tersebut juga disambut positif oleh pihak perbankan. Salah satu pengurus regional bank di Jakarta,
Nila Maita Dwi, menuturkan bahwa lembaga keuangan pada prinsipnya siap mendukung skema agunan berbasis kekayaan intelektual, namun masih menunggu kejelasan dari regulator.
“Memang sekarang ini masih belum ada diskusi lebih lanjut. Ketika nanti OJK dan Bank Indonesia memberikan lampu hijau dan aturan-aturannya sudah matang, kami di perbankan akan segera menyusun kebijakan internal,” ungkap Nila.
Ia menambahkan, koordinasi lintas sektor sangat penting agar aturan mengenai kekayaan intelektual sebagai
agunan dapat diimplementasikan secara komprehensif dan tidak menimbulkan tumpang tindih kebijakan antar lembaga.
Kegiatan FGD ini menjadi langkah nyata Kemenkumham Jawa Barat dalam mendorong sinergi antar lembaga untuk memperkuat kebijakan pembiayaan yang inklusif bagi pelaku industri kreatif.
Dengan dukungan dari akademisi, regulator, dan perbankan, diharapkan pemanfaatan kekayaan intelektual sebagai agunan dapat segera terwujud dan memberi dampak ekonomi nyata. (tiwi)
# Kekayaan intelektual Jadi aset












