
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Unpas dpk FH Unpas (Ngawula ku Kawasa, Lain Ngawasaan ku Kawasa)
WWW.PASJABAR.COM – Dalam khazanah Sunda, ungkapan “Ngawula ku kawasa, lain ngawasaan ku kawasa” memuat kearifan yang lembut sekaligus tegas. Ia bukan sekadar petuah moral, melainkan pandangan hidup tentang kekuasaan yang berakar pada budaya yang menjunjung martabat manusia.
Ngawula berarti mengabdi dengan hati, bukan tunduk dengan buta. Ku kawasa berarti dengan kekuasaan—menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk melayani, bukan untuk menindas. Kekuasaan dalam falsafah ini bukan singgasana untuk meninggi, melainkan jembatan untuk menunduk.
Namun, dalam realitas politik kita hari ini, makna ngawula telah terkikis. Kekuasaan diukur dari seberapa banyak orang dapat dikendalikan, bukan seberapa banyak orang dapat diangkat martabatnya. Bahasa kekuasaan berubah menjadi bahasa dominasi. Pemimpin yang seharusnya menjadi teladan justru menjadi pusat pemujaan.
Ungkapan Sunda ini ingin menegur: kuasa tanpa rasa adalah bencana; pengabdian tanpa nurani hanyalah topeng kesetiaan.
Etika
Etika politik Sunda menempatkan kekuasaan dalam relasi moral, bukan semata-mata legalitas. Pemimpin bukan pangéran (tuan), melainkan pangawula (abdi). Ia memikul tanggung jawab bukan demi diri, melainkan demi rahayat—rakyat yang menjadi sumber legitimasi kekuasaannya.
Aristoteles dalam Politics (Buku III) menulis bahwa politik sejati adalah seni mencapai kebaikan bersama (common good). Hannah Arendt dalam On Violence (1970) juga menegaskan, kekuasaan sejati tumbuh dari kepercayaan dan kesepakatan bersama, bukan dari paksaan. Kekuasaan tanpa etika hanyalah kekerasan yang disamarkan.
Namun kini, etika digantikan oleh strategi. Pengabdian digeser oleh pencitraan. Banyak pejabat sibuk menata narasi ketimbang menata nurani. Padahal ngawula adalah laku batin, bukan pertunjukan. Ia menuntut keikhlasan menundukkan ego demi kepentingan publik.
Budaya
Dalam kosmologi Sunda, kekuasaan selalu diikat oleh kebijaksanaan (kawijaksanaan). Ajaran Tri Tangtu di Buana mengajarkan keseimbangan antara tiga unsur: Prabu atau Ratu (pemimpin politik), Resi (kebijaksanaan spiritual dan moral), dan Rama (rakyat dan keluarga). Bila ketiganya selaras, dunia akan berada dalam harmoni.
Namun, ketika kekuasaan mengabaikan kebijaksanaan dan menindas rakyat, lahirlah kaangkaraan—keserakahan dan kesewenang-wenangan. Budaya politik kita justru sedang merayakan kaangkaraan itu. Kekuasaan menjadi panggung narsisme kolektif. Semakin tinggi jabatan, semakin jauh dari rakyat. Pemimpin hadir di layar televisi, tetapi absen di ladang penderitaan rakyat.
Ajaran Tri Tangtu di Buana yang diwariskan leluhur Sunda mengingatkan, keseimbangan sosial tak mungkin tegak bila satu unsur menelan dua lainnya.
Kuasa
Michel Foucault dalam The History of Sexuality Vol. I (1978) menjelaskan bahwa kuasa tidak semata-mata dimiliki, melainkan dijalankan dalam jaringan relasi sosial. Kuasa adalah praktik, bukan benda. Ia hadir di setiap ruang kehidupan, dari istana hingga rumah tangga.
Dalam logika Sunda, kekuasaan dijalankan ngawula ku kawasa—menggunakan kekuasaan untuk mengabdi, bukan menindas. Namun sejarah Indonesia berkali-kali memperlihatkan bahaya ketika kekuasaan kehilangan kendali moral. Dari masa otoritarianisme hingga demokrasi elektoral kini, penyakitnya sama: kekuasaan dijalankan untuk melanggengkan kekuasaan itu sendiri.
Kita menyaksikan pejabat yang tampak melayani, tetapi sejatinya sedang membangun kultus pribadi. Mereka menebar jargon “reformasi”, namun yang lahir adalah restorasi dengan wajah baru. Inilah ironi kita: ngawula di bibir, ngawasaan di hati.
Pengabdian
Makna ngawula bersumber dari kesadaran bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari tatanan sosial yang lebih luas. Mengabdi berarti menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.
Max Weber dalam Politics as a Vocation (1919) memperkenalkan konsep ethic of responsibility—etika tanggung jawab pejabat publik. Kekuasaan tanpa tanggung jawab adalah bentuk paling halus dari kejahatan politik.
Namun di negeri ini, pengabdian sering berhenti pada simbol. Pejabat mengenakan pakaian sederhana di depan kamera, tapi hidup mewah di balik layar. Mereka menyeru rakyat untuk hemat, sementara mereka berpesta dalam rapat dinas. Dalam konteks itu, ungkapan Sunda ini terasa relevan: kekuasaan seharusnya menjadi jalan pengabdian, bukan panggung pencitraan.
Rasa
Dalam tradisi Sunda, rasa selalu didahulukan sebelum kawasa. Rasa berarti kepekaan batin terhadap penderitaan sesama. Pemimpin yang ngawula harus memiliki rasa ka nu handap—empati terhadap mereka yang lemah.
Kini rasa itu kian pudar. Pemerintah sibuk mengelola opini publik ketimbang mendengar suara publik. Rasa kehilangan anak dianggap statistik, bukan tragedi. Rasa lapar dipandang angka, bukan jerit manusia.
Tanpa rasa, pengabdian hanyalah administrasi. Tanpa rasa, kekuasaan hanyalah mesin. Ketika rasa mati di dada pemimpin, rakyat pun kehilangan makna ngawula.
Bahaya
Lord Acton menulis dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton (5 April 1887): “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Peringatan itu masih berlaku: kekuasaan yang kehilangan moralitas akan berubah menjadi tirani—bahkan dalam sistem demokrasi.
Demokrasi tanpa ngawula hanya melahirkan pemimpin yang pandai berjanji tapi miskin hati. Di zaman ini, kekuasaan dapat dibeli, kebenaran dinegosiasikan, dan keadilan diperjualbelikan. Politik kehilangan jiwa etikanya, berganti menjadi kompetisi modal dan citra.
Filsafat ngawula ku kawasa menjadi penawar bagi penyakit itu. Ia menuntut agar kekuasaan kembali ke arah etik: pemimpin sebagai pelayan, bukan penguasa; jabatan sebagai ujian, bukan kemewahan.l
Refleksi
Bung Hatta menolak rumah dinas dan memilih hidup sederhana, karena baginya kekuasaan tanpa moral hanya menambah dosa sosial. Ki Hadjar Dewantara mengajarkan trilogi kepemimpinan: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani—pemimpin sejati memberi teladan, bukan perintah.
Dalam filsafat Sunda, pemimpin ideal disebut pamong jagat—penata keseimbangan dunia. Ia sadar bahwa kekuasaan tanpa kebijaksanaan akan memutus harmoni antara manusia dan semesta. Maka ngawula ku kawasa bukan sekadar prinsip moral, tetapi cara hidup yang menuntun kekuasaan agar selalu berlandaskan silih asih, silih asah, silih asuh.
Harapan
Di tengah krisis kepercayaan terhadap pemimpin, ungkapan tua ini menjadi oase moral. Ngawula ku kawasa mengingatkan bahwa demokrasi tidak akan tegak oleh aturan saja, melainkan oleh batin yang tulus untuk melayani.
Kita membutuhkan pemimpin yang memiliki rasa ngahormat ka rahayat—menghormati rakyat dengan tindakan, bukan dengan slogan. Pemimpin yang berani melawan kemapanan ketika rakyatnya tertindas, yang memahami bahwa kekuasaan sejati bukan di tangan, melainkan di hati.
Jika setiap pejabat memahami makna ngawula ku kawasa, bangsa ini tak akan lagi terjebak dalam lingkaran kekecewaan. Pengabdian bukan kehilangan kehormatan, melainkan menemukan makna kemanusiaan.
Ungkapan “Ngawula ku kawasa, lain ngawasaan ku kawasa” adalah cermin bagi republik ini. Ia menantang kita untuk menilai kembali orientasi kekuasaan: apakah masih menjadi alat pengabdian, atau telah berubah menjadi sarana penguasaan?
Dalam masyarakat yang menuhankan jabatan, ajaran ini menjadi kritik atas kesombongan struktural. Ia mengingatkan setiap pemegang amanah untuk kembali ke fitrahnya: menjadi abdi, bukan penguasa.l
Maka, ketika seorang pejabat menandatangani kebijakan, ketika partai berbicara tentang masa depan bangsa, atau ketika presiden menyebut nama rakyat—tanyakan satu hal sederhana:
Apakah mereka sedang ngawula ku kawasa, atau ngawasaan ku kawasa?
Jika jawabannya yang pertama, republik ini masih memiliki harapan. Namun bila yang kedua, kita sedang berjalan di jalan gelap—di mana kekuasaan menjadi candu, dan rakyat sekadar penonton sejarahnya sendiri. (han)












