# Penerapan KUHP Akademisi Hukum
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2026 terus menuai kritik dari kalangan akademisi dan praktisi hukum.
Salah satunya datang dari Leni Anggraeni, S.H., M.H., pengacara sekaligus dosen Hukum Pidana Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung.
Ia menilai, sejumlah pasal dalam KUHP baru justru berpotensi mengancam kebebasan warga negara dan melemahkan semangat keadilan.
“Saya termasuk yang kurang setuju dengan KUHP baru ini, karena memang sangat kontroversial.
Dari awal sudah banyak penolakan dan demonstrasi besar. Kalau dipelajari pasal-pasalnya, banyak yang bermasalah — terutama yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan ancaman terhadap pelaku UMKM,” ujarnya.
Menurut Leni, pasal-pasal seperti Pasal 426 tentang kegiatan usaha mikro, Pasal 99 mengenai pidana mati,
serta Pasal 2 tentang larangan unjuk rasa tanpa izin menjadi bukti bahwa negara cenderung mempersempit ruang gerak masyarakat.
“Ada ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Misalnya pasal penghinaan terhadap presiden, pasal ini bisa membuka ruang kriminalisasi terhadap kritik.
Padahal definisi ‘penghinaan’ itu sendiri masih kabur. Lalu pasal unjuk rasa tanpa izin juga membatasi hak konstitusional warga untuk berpendapat,” jelasnya.
Kritik terhadap Pasal Moralitas, Korupsi, dan Hukum Adat
Leni juga menyoroti pasal-pasal yang mengatur moralitas dan kehidupan privat warga.
Menurutnya, pasal-pasal mengenai kohabitasi atau hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah bersifat terlalu mengatur ranah pribadi.
“Ada pasal yang memidanakan hidup bersama tanpa pernikahan sah. Itu masuk ke wilayah privat.
Belum lagi pasal tentang perzinaan di Pasal 415 ayat (1) yang bisa memenjarakan satu tahun bagi pelaku hubungan di luar pernikahan. Ini pasal baru yang kontroversial dan bisa menimbulkan masalah sosial,” terangnya.
Selain itu, Leni menilai KUHP baru justru melemahkan efek jera bagi pelaku korupsi. Ia membandingkan antara KUHP lama dengan versi baru yang ancaman pidananya justru menurun.
“Coba lihat Pasal 607 KUHP baru, tentang korupsi. Hukuman pidananya bisa hanya dua tahun, padahal undang-undang sebelumnya jauh lebih tinggi.
Ini ironis, karena di saat kasus korupsi makin besar dan merugikan negara triliunan, justru hukuman pidananya diturunkan. Ini bisa menghilangkan efek jera,” tegasnya.
Pasal lain yang tak kalah kontroversial, kata Leni, adalah Pasal 2 ayat (2) tentang hukum adat (living law). Pasal ini menimbulkan kekhawatiran karena bisa bertentangan dengan asas legalitas hukum pidana.
“Dalam pasal itu disebut hukum yang hidup di masyarakat bisa menjadi dasar pemidanaan. Tapi itu bertentangan dengan asas legalitas.
Contohnya, di Bali ada hukum adat yang menghukum pencuri sapi lebih berat. Kalau seperti itu dijadikan dasar pidana, berarti membuka peluang ketimpangan hukum antar daerah.
Padahal hukum adat sudah ratusan tahun hidup di masyarakat dan seharusnya tidak dihapus, tapi juga tidak bisa dijadikan dasar pidana begitu saja,” paparnya.
Soal Kebebasan Berekspresi dan Penghinaan Presiden
Leni mengingatkan, pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara yang dulu pernah dihapus melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kini justru dihidupkan kembali.
“Dulu pasal penghinaan terhadap presiden sudah dihapus waktu era SBY karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi. Tapi sekarang dihidupkan lagi. Ini berbahaya, bisa mengancam ruang kritik publik,” ujarnya.
“Makanya dulu mahasiswa demo besar-besaran menolak KUHP baru ini. Karena dianggap langkah mundur dari reformasi hukum,” tambahnya.
Ruang Judicial Review Masih Terbuka
Meski menilai KUHP baru sarat kontroversi, Leni menyebut masih ada ruang hukum untuk memperjuangkan perubahan, yakni melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi.
“Masih ada ruang untuk mengajukan judicial review. Kalau ada pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bisa diuji ke MK.
Dulu pasal penghinaan presiden juga pernah dikabulkan waktu era SBY. Jadi masih terbuka ruang konstitusional itu,” katanya.
Ia mencontohkan, judicial review yang pernah dilakukan oleh Machica Mochtar terhadap pasal Undang-undang Perkawinan berhasil mengubah status anak luar nikah yang semula dianggap tidak sah menjadi diakui secara hukum melalui tes DNA.
“Dulu Machica Mochtar judicial review pasal perkawinan dan dimenangkan. Hasilnya, anak luar nikah bisa punya hubungan perdata dengan ayah biologisnya.
Tapi efeknya sekarang pasal itu sering disalahpahami, bahkan dipakai untuk kasus-kasus hubungan di luar nikah yang tidak melalui pernikahan agama,” jelas Leni.
Menurutnya, kondisi seperti itu menunjukkan bahwa penulisan dan perumusan pasal KUHP baru masih menyisakan ambiguitas dan disparitas tafsir yang bisa menimbulkan kekacauan hukum di lapangan.
Menunggu Undang-undang Perampasan Aset
Sebagai praktisi dan akademisi, Leni menaruh harapan besar terhadap Rancangan Undang-undang Perampasan Aset yang tengah dibahas pemerintah.
“Saya berharap undang-undang perampasan aset segera disahkan. Itu bisa menutup celah kelemahan KUHP baru, terutama dalam penanganan korupsi.
Karena kalau hukuman korupsi di KUHP baru lebih rendah, efek jeranya bisa hilang. Dengan perampasan aset, pelaku korupsi minimal kehilangan hasil kejahatannya,” tegasnya.
Meski mengkritik keras, Leni menyadari bahwa KUHP baru sudah disahkan dan akan berlaku pada Januari 2026. Karena itu, langkah realistis yang bisa dilakukan masyarakat adalah tetap patuh pada aturan yang ada, sembari mendorong evaluasi hukum melalui jalur konstitusional.
“Suka tidak suka, KUHP baru ini harus ditaati. Tapi kalau masyarakat merasa ada pasal yang tidak adil atau tidak sesuai, bisa diajukan judicial review ke MK.
Harapan saya, semoga ada perubahan yang lebih baik, terutama untuk perlindungan UMKM, pemberantasan korupsi, dan kebebasan berekspresi,” pungkasnya. (tiwi)
# Penerapan KUHP Akademisi Hukum












