Krisis Otoritas Guru: Menegur Murid yang Bermasalah atau Menghadapi Ancaman Pidana
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Pendidikan merupakan elemen penting dalam membentuk karakter dan kecerdasan anak.
Guru memang memiliki peran vital dalam mendidik peserta didik, tidak hanya dari segi kecerdasan intelektual dan emosional, tetapi juga dalam membentuk karakter.
Krisis Otoritas Guru: Menegur Murid yang Bermasalah atau Menghadapi Ancaman Pidana
Namun, belakangan ini, kasus pidana yang melibatkan guru karena menegur peserta didik semakin marak.
Fenomena ini menciptakan dilema besar: di satu sisi, menegur murid yang bermasalah adalah bagian dari mendidik, tetapi di sisi lain, guru menghadapi risiko hukum yang mengancam karier, reputasi, bahkan kualitas hidup mereka.
Guru di Indonesia kini semakin kesulitan mengambil keputusan terkait pendisiplinan peserta didik. Kasus laporan wali murid terhadap guru, dengan tuduhan kekerasan, menjadi ancaman nyata.
Misalnya, kasus Supriyani, guru honorer di SD Negeri 4 Baito, Konawe Selatan, yang dilaporkan pada 29 April 2024 karena dituduh memukul murid dengan sapu ijuk.
Menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pendidikan, dalam lima tahun terakhir, lebih dari 200 kasus hukum melibatkan guru di Indonesia.
Beberapa di antaranya hanyalah kesalahpahaman, namun tetap berdampak besar pada rasa aman guru dalam mendisiplinkan siswa.
Ketakutan ini membuat banyak guru enggan menegur murid, bahkan ketika diperlukan. Hal ini terlihat dari konten sindiran akun TikTok @Mutiauti42,
yang menggambarkan guru bimbingan konseling enggan menegur siswa karena takut dipidanakan.
Akibatnya, efektivitas pembelajaran, khususnya dalam membangun disiplin, menurun karena guru lebih memilih bersikap pasif.
Dilema ini tidak hanya berdampak pada individu guru, tetapi juga pada kualitas pendidikan di Indonesia.
Menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), lebih dari 60% guru merasa bahwa ancaman hukum mengganggu fokus mereka dalam mengajar.
Lingkungan belajar yang kondusif menjadi sulit tercapai ketika guru khawatir mengambil tindakan pendisiplinan.
Selain itu, tekanan yang terus dirasakan guru dapat menurunkan motivasi mengajar, memengaruhi kesehatan mental, dan berdampak pada kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Kasus lain, seperti yang dialami Darmawati, guru pendidikan agama di SMA Negeri 3 Pare-Pare, menunjukkan hubungan yang kurang harmonis antara guru dan orang tua.
Ia dipenjara selama tiga bulan (masa percobaan tujuh bulan) karena diduga memukul murid yang tidak mengikuti sholat dzuhur berjamaah,
meskipun kegiatan tersebut merupakan kewajiban sekolah. Ketidakpahaman orang tua terhadap peran guru sering kali menjadi pemicu konflik seperti ini.
Orang tua seharusnya memahami bahwa tindakan mendisiplinkan oleh guru adalah bagian dari proses pendidikan.
Jika komunikasi antara pihak sekolah dan orang tua terjalin dengan baik, kasus serupa dapat dicegah. Untuk itu, perlu ada kesepakatan yang jelas tentang aturan dan tanggung jawab guru sebelum anak didaftarkan di sekolah.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan multifaset. Pertama, pemerintah harus memperkuat perlindungan hukum bagi guru,
sehingga mereka merasa aman dalam menjalankan tugasnya. Kedua, pihak sekolah dan orang tua harus membangun komunikasi yang baik untuk mencegah kesalahpahaman.
Ketiga, pelatihan tentang manajemen kelas dan strategi komunikasi perlu diberikan kepada guru agar mereka dapat menegur siswa dengan cara yang lebih efektif tanpa risiko hukum.
Masalah ini membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Dengan memberikan perlindungan hukum, membangun komunikasi yang baik,
dan meningkatkan kompetensi guru, lingkungan belajar yang kondusif dan berkualitas dapat tercipta.
Langkah-langkah ini diharapkan dapat mengurangi laporan pidana terhadap guru, sekaligus menjaga kualitas pendidikan Indonesia dalam mencetak generasi emas yang unggul dan berprestasi.
Ditulis oleh Nadiyah Jayanti
Mahasiswi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pasundan.
(*/tiwi)