![Opini Kegaduhan Politik](https://pasjabar.com/wp-content/uploads/2024/08/opini-300x221.jpg)
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Dana Desa)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sejak diluncurkan pada 2015, Dana Desa menjadi instrumen penting dalam pembangunan di tingkat desa. Dengan lebih dari Rp500 triliun yang telah dikucurkan oleh pemerintah selama hampir satu dekade, harapannya desa mampu tumbuh mandiri, masyarakat lebih sejahtera, dan kesenjangan pembangunan antara desa dan kota semakin menyempit. Namun, kenyataan di lapangan justru menyakitkan. Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, serta memperkuat ekonomi desa, kini justru digunakan untuk berjudi online oleh oknum kepala desa.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru-baru ini mengungkap temuan mengejutkan. Di Sumatera Utara, enam kepala desa diduga menggunakan Dana Desa untuk judi online, dengan nilai penyelewengan yang bervariasi, mulai dari Rp50 juta hingga Rp260 juta per kepala desa (Pikiran Rakyat, 02/02/2025). Lebih jauh, aliran Dana Desa senilai Rp40 miliar terdeteksi masuk ke rekening judi online. Ini bukan angka yang kecil. Fakta ini menunjukkan bahwa Dana Desa telah menjadi korban praktik judi online yang makin merajalela dan sulit dikendalikan.
Celah
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai pengawasan dan tata kelola Dana Desa. Bagaimana mungkin dana yang memiliki aturan ketat dalam pencairannya bisa dengan mudah dialihkan ke judi online? Seharusnya, ada pengawasan berlapis mulai dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD), pemerintah daerah, hingga inspektorat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. BPD yang seharusnya menjadi benteng pengawasan di tingkat desa tampak lemah dan tidak berdaya. Banyak kasus menunjukkan bahwa BPD sering kali hanya menjadi lembaga formalitas yang tidak memiliki peran nyata dalam mengawasi penggunaan anggaran desa.
Celakanya, sistem pencairan Dana Desa juga masih memiliki banyak celah. Kepala desa yang memiliki wewenang besar atas keuangan desa dapat dengan mudah mengakses dana tanpa pengawasan yang memadai. Ketika sistem pengelolaan keuangan desa masih rentan terhadap manipulasi, maka peluang untuk menyalahgunakan dana semakin terbuka lebar. Pemerintah daerah yang seharusnya melakukan fungsi kontrol juga belum menunjukkan efektivitasnya. Inspektorat daerah sering kali baru bergerak ketika kasus sudah mencuat ke publik, bukan dalam bentuk pencegahan yang aktif dan sistematis.
Persoalan ini semakin diperburuk dengan fakta bahwa negara tampaknya kalah menghadapi maraknya judi online. Situs-situs judi digital dengan mudah diakses oleh siapa saja, termasuk kepala desa yang memiliki anggaran besar dalam genggaman mereka. Upaya pemerintah dalam memblokir situs judi sering kali hanya menjadi solusi sementara. Begitu satu situs ditutup, situs lain dengan domain baru segera muncul menggantikannya. Tidak ada sistem pemantauan transaksi yang efektif untuk melacak perputaran uang yang mengalir ke platform perjudian digital.
Dampak
Dampak dari penyelewengan Dana Desa untuk judi online tidak bisa dianggap sepele. Ketika Dana Desa hilang di meja judi, dampaknya langsung terasa di tengah masyarakat. Pembangunan infrastruktur yang sudah direncanakan akhirnya mandek. Jalan desa yang seharusnya diperbaiki tetap berlubang, saluran irigasi yang rusak dibiarkan tak tersentuh, dan program pemberdayaan ekonomi masyarakat desa gagal terlaksana. Masyarakat yang seharusnya menikmati manfaat dari Dana Desa justru menjadi korban dari kejahatan yang dilakukan oleh pejabat desa mereka sendiri.
Di sisi lain, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa juga semakin terkikis. Kepala desa yang seharusnya menjadi pemimpin dan pelayan masyarakat justru mengkhianati amanah yang diberikan kepada mereka. Masyarakat yang sudah menaruh harapan besar terhadap pemanfaatan Dana Desa kini semakin apatis. Jika kondisi ini terus dibiarkan, partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa akan semakin menurun, dan demokrasi di tingkat desa menjadi lemah.
Kemiskinan yang seharusnya bisa dikurangi dengan adanya Dana Desa justru semakin bertambah karena dana yang ada tidak digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melainkan masuk ke kantong bandar judi. Akibatnya, desa-desa tetap terjebak dalam keterbelakangan, dan jurang kesenjangan dengan wilayah perkotaan semakin dalam.
Tata Kelola
Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola Dana Desa secara menyeluruh. Tidak cukup hanya memberikan sanksi bagi kepala desa yang terbukti menyalahgunakan keuangan. Lebih dari itu, harus ada sistem pengawasan yang lebih transparan dan ketat agar praktik serupa tidak kembali terulang. Digitalisasi pengelolaan keuangan desa menjadi langkah yang sangat mendesak untuk diterapkan. Dengan sistem digital yang memungkinkan masyarakat dan instansi pengawas untuk memantau penggunaan Dana Desa secara real-time, peluang untuk menyalahgunakan dana bisa diminimalisir.
Selain pengawasan, negara juga harus lebih serius dalam memberantas judi online. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan pemblokiran situs tanpa membangun sistem yang lebih ketat dalam mengawasi transaksi keuangan yang mencurigakan. Penegakan hukum harus lebih tajam dalam menindak jaringan judi online, termasuk menangkap dan menghukum bandar yang mengoperasikan bisnis haram ini. Jika judi online terus dibiarkan berkembang tanpa kontrol, maka tidak hanya kepala desa yang akan menjadi korban, tetapi juga masyarakat luas yang semakin rentan terhadap jebakan perjudian digital.
Langkah pencegahan lainnya yang tidak kalah penting adalah edukasi dan peningkatan kapasitas bagi aparatur desa. Kepala desa dan perangkat desa harus diberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai tata kelola keuangan desa yang baik serta risiko dan konsekuensi hukum dari penyalahgunaan anggaran. Tanpa adanya pemahaman yang kuat mengenai etika pemerintahan dan integritas kepemimpinan, kasus penyalahgunaan biaya Desa akan terus berulang.
Pembangunan Desa
Keberlanjutan pembangunan desa bergantung pada bagaimana negara mampu mengelola dan mengawasi Dana Desa dengan lebih baik. Dana ini bukan untuk dijadikan modal spekulasi di meja judi, melainkan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat desa. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas, maka biaya yang seharusnya menjadi harapan bagi kemandirian desa justru akan berubah menjadi kutukan yang menghancurkan desa dari dalam.
Masyarakat desa tidak membutuhkan pemimpin yang mencari keberuntungan lewat judi online. Mereka membutuhkan kepala desa yang bekerja keras, jujur, dan benar-benar memahami bahwa setiap rupiah dari Dana Desa adalah amanah untuk kesejahteraan bersama. Jika kepala desa lebih memilih berjudi daripada membangun desanya, maka sudah seharusnya mereka dicopot dan dijatuhi hukuman setimpal.
Negara tidak boleh kalah dari bandar judi online. Masa depan desa harus ditentukan oleh kerja keras dan inovasi, bukan oleh spekulasi dan keberuntungan semu. (han)