
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan Dpk. FH Unpas (Paguyuban Pasundan)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sejarah bukanlah sesuatu yang beku. Ia bergerak, bergeser, beradaptasi. Tetapi yang sering kali luput kita sadari adalah bahwa perubahan bukan sekadar soal meninggalkan yang lama untuk memasuki yang baru. Ia adalah soal bagaimana yang lama bisa tetap hidup, berdenyut, dalam wajah yang berbeda.
Paguyuban Pasundan, sebuah organisasi yang lahir lebih dari seabad lalu, tahu betul bahwa perubahan itu keniscayaan. Didirikan pada 20 Juli 1913, organisasi ini tidak hanya menjadi wadah ekspresi budaya Sunda, tetapi juga mengambil peran dalam perjuangan kemerdekaan, pendidikan, hingga politik. Sejarahnya panjang, seperti sungai yang mengalir melewati berbagai lanskap zaman. Tetapi pertanyaan yang relevan hari ini bukanlah tentang apa yang telah dicapai, melainkan tentang bagaimana ia menempatkan diri di era digital—di dunia yang kini lebih sering berbicara dalam algoritma dan hashtag ketimbang dalam pantun atau babad.
Apakah Paguyuban Pasundan masih memiliki peran dalam masyarakat modern yang serba instan ini? Atau apakah ia hanya menjadi catatan kaki dari masa lalu, sekadar simbol dari kejayaan yang telah lewat?
Dari Priangan ke Dunia Maya
Dulu, Paguyuban Pasundan adalah tempat para pemikir dan aktivis berbicara tentang masa depan tanah Priangan. Mereka mendirikan sekolah, menerbitkan majalah, menyuarakan kepentingan pribumi dalam politik kolonial. Pada 1920-an, mereka bukan hanya sekadar kelompok adat yang melestarikan tari jaipong atau wayang golek, tetapi juga sebuah gerakan yang berbicara tentang pendidikan dan hak politik rakyat.
Tetapi dunia telah berubah. Pendidikan kini bukan lagi soal mendirikan sekolah fisik, tetapi juga soal bagaimana menciptakan ruang belajar di dunia digital. Politik bukan lagi sekadar soal menduduki kursi parlemen, tetapi juga soal bagaimana menyampaikan narasi yang bisa menembus gelembung algoritma di media sosial.
Paguyuban Pasundan hari ini tampaknya telah menangkap perubahan itu. Mereka mulai aktif di media sosial, mengajak generasi muda untuk memahami budaya Sunda bukan sebagai sesuatu yang eksotis dan kuno, tetapi sebagai sesuatu yang bisa hidup dalam kehidupan modern. Mereka membuat konten di TikTok, memberi tips tentang penggunaan bahasa Sunda dalam keseharian, bahkan mengajarkan bagaimana budaya lokal bisa relevan dalam era globalisasi.
Digitalisasi sebagai Tantangan dan Peluang
Tentu, ada yang skeptis. Ada yang melihat digitalisasi sebagai ancaman bagi otentisitas budaya. Ada yang khawatir bahwa budaya Sunda, ketika masuk ke dalam format video berdurasi 60 detik, akan kehilangan esensinya, akan berubah menjadi sekadar gimmick tanpa kedalaman.
Tetapi bukankah sejarah selalu tentang adaptasi? Dulu, sastra lisan Sunda harus beradaptasi menjadi sastra tulis agar tidak lenyap. Dulu, tradisi belajar berbasis pesantren harus beradaptasi dengan sistem sekolah modern. Sekarang, tantangannya adalah bagaimana budaya Sunda bisa tetap hidup dalam ruang-ruang digital tanpa kehilangan ruhnya.
Paguyuban Pasundan bisa menjadi jembatan dalam proses itu. Mereka bisa mengambil peran sebagai kurator budaya, yang memastikan bahwa warisan leluhur tidak hanya diterjemahkan ke dalam bahasa digital, tetapi juga tetap bermakna. Mereka bisa mengajarkan bahwa memahami budaya Sunda bukan hanya soal menari atau berbahasa, tetapi juga soal memahami nilai-nilai egalitarianisme, gotong royong, dan intelektualitas yang sejak dulu menjadi bagian dari identitas Sunda.
Dari Paguyuban ke Gerakan Sosial
Tantangan terbesar bagi Paguyuban Pasundan saat ini bukanlah sekadar bagaimana menjaga eksistensi, tetapi bagaimana membangun relevansi. Di tengah berbagai persoalan sosial—dari isu kemiskinan, ketimpangan pendidikan, hingga ancaman homogenisasi budaya akibat globalisasi—Paguyuban Pasundan harus menentukan apakah ia sekadar akan menjadi kelompok nostalgia, ataukah ia akan menjadi kekuatan yang benar-benar berarti bagi masyarakat.
Mereka telah memulai dengan gerakan-gerakan sosial, misalnya dengan mengajak pemuda terlibat dalam kegiatan sosial berbasis budaya. Mereka terlibat dalam program pramuka, dalam penggalangan dana untuk korban bencana, dalam kampanye-kampanye pelestarian lingkungan yang berbasis kearifan lokal.
Tetapi pertanyaan yang lebih besar adalah: apakah mereka bisa melangkah lebih jauh?
Apakah mereka bisa menjadi suara bagi petani Sunda yang terpinggirkan oleh pembangunan? Apakah mereka bisa menjadi kekuatan yang memastikan bahwa pendidikan berbasis budaya tidak hanya sekadar kurikulum tambahan di sekolah, tetapi menjadi sesuatu yang hidup dalam keseharian? Apakah mereka bisa membangun model ekonomi berbasis budaya yang bisa memberdayakan masyarakat, sehingga budaya Sunda tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga menjadi sesuatu yang berdaya secara ekonomi?
Menjaga yang Lama, Menyambut yang Baru
Sejarah Paguyuban Pasundan menunjukkan bahwa mereka bukan organisasi yang diam. Mereka selalu bergerak, selalu mencari cara untuk menyesuaikan diri dengan zaman. Hari ini, tantangannya adalah bagaimana mereka bisa terus melakukan itu tanpa kehilangan identitasnya.
Di tengah era digital, Paguyuban Pasundan bukan hanya harus menjaga budaya Sunda agar tetap hidup, tetapi juga harus memastikan bahwa budaya itu tetap relevan, tetap berdaya, tetap menjadi bagian dari percakapan besar tentang masa depan.
Karena budaya, sebagaimana sejarah, bukanlah sesuatu yang diam. Ia selalu bergerak. Dan bagaimana ia bergerak, itulah yang menentukan apakah ia akan tetap hidup atau hanya menjadi kenangan yang perlahan memudar.
Masa Depan Paguyuban Pasundan: Lebih dari Sekadar Budaya
Pertanyaannya kini adalah, apakah Paguyuban Pasundan siap untuk berubah menjadi lebih dari sekadar pelestari budaya? Apakah mereka bisa bertransformasi menjadi kekuatan sosial yang benar-benar berdampak?
Dalam era di mana ekonomi berbasis budaya berkembang pesat, mereka bisa belajar dari model komunitas budaya di berbagai negara yang sukses mengubah tradisi menjadi aset ekonomi. Di Jepang, misalnya, komunitas lokal mengembangkan produk berbasis budaya tradisional dan menjualnya ke pasar global. Di Korea Selatan, budaya lokal menjadi bagian dari industri kreatif yang berkembang pesat.
Paguyuban Pasundan, dengan sejarah dan jejaringnya, punya potensi besar untuk menjadi lebih dari sekadar lembaga budaya. Mereka bisa menciptakan program-program yang menghubungkan seni dan budaya Sunda dengan industri kreatif, dengan pariwisata, dengan dunia akademik. Mereka bisa berkolaborasi dengan startup teknologi untuk menciptakan platform pembelajaran budaya yang inovatif. Mereka bisa membangun komunitas yang tidak hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru berdasarkan budaya itu sendiri.
Karena di ujungnya, budaya yang hidup bukanlah budaya yang hanya dilestarikan, tetapi budaya yang terus berkembang, terus bergerak, terus menemukan relevansinya dalam setiap zaman.
Dan Paguyuban Pasundan, dengan segala warisan dan potensinya, masih punya banyak ruang untuk tumbuh.
Kini, pertanyaannya adalah, apakah mereka siap? (han)