
Oleh: Firdaus Ariifin, Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Upah)
WWW.PASJABAR.COM – Setiap tahun, kita menyusun panggung. Ada spanduk, orasi, pengeras suara. Ada sorakan yang menggema dari massa, dari tenda-tenda yang dirakit terburu-buru, dari ketegangan yang disimpan semalaman. May Day, seperti yang kita kenal, adalah panggung yang tak pernah benar-benar sunyi. Tapi juga tidak pernah benar-benar didengar.
Tahun ini, Presiden datang. Ia hadir di tengah massa buruh, berdiri di atas podium, menyapa dengan tangan setengah terangkat. Ia bicara tentang niat baik, tentang komitmen, tentang reformasi yang akan datang. Tapi pidato, seperti musim, selalu tiba sesuai kalender. Dan seperti musim pula, ia sering datang tanpa perubahan.
Yang naik setiap tahun adalah panggung. Tapi sesuatu tetap tinggal di bawah: upah, dan semua yang digantungkan padanya.
Sunyi
Upah adalah suara yang paling sering dibungkam dengan angka. Ia dihitung, ditakar, dijustifikasi dengan pertumbuhan ekonomi, inflasi, indeks konsumsi, dan biaya logistik. Tapi dalam bilangan itu, tak pernah ada rasa lelah. Tak ada jam lembur. Tak ada harga rumah kontrakan, susu anak, atau obat lambung.
Yang tak pernah naik bersama upah adalah kepastian. Bahwa bekerja seharusnya membuat seseorang hidup lebih layak, bukan sekadar bertahan. Bahwa kerja bukan hanya kewajiban, tetapi hak untuk dihormati sebagai manusia.
Pekerja rumah tangga, misalnya, bekerja dalam ruang yang paling privat tapi tak pernah mendapat ruang dalam hukum. Lebih dari dua dekade RUU PPRT dibicarakan. Tapi yang lahir bukan perlindungan, melainkan janji yang ditunda.
Di sektor digital, para pengemudi daring bekerja tanpa upah tetap. Mereka disebut mitra. Kata yang sopan, tapi mematikan. Sebab di balik itu, tak ada cuti. Tak ada pensiun. Tak ada perlindungan. Tak ada negara.
Bayang
Dulu, buruh turun ke jalan membawa mimpi. Hari ini, mereka membawa kenangan tentang janji yang tak ditepati. Mimpi itu berubah bentuk: menjadi proposal yang ditolak, menjadi serikat yang dibubarkan, menjadi rapat yang ditunda.
Kita menyebut mereka tulang punggung ekonomi. Tapi tubuh yang menopang ini terus-menerus ditekuk. Mereka disuruh sabar. Disuruh menunggu. Disuruh memahami kepentingan investasi.
Sementara itu, gaji pejabat naik. Tunjangan birokrasi bertambah. Tapi upah buruh? Ditahan oleh formula yang tak pernah berpihak. Yang naik bersama inflasi bukan penghasilan mereka, tapi kekhawatiran.
Di ruang-ruang rapat elite, kata “buruh” jarang disebut. Tapi mereka tetap bekerja. Tanpa disebut pun, mereka menjaga negeri ini tetap berdenyut.
Gelap
Di balik setiap angka upah minimum, ada yang disembunyikan. Biaya hidup yang melonjak. Kontrak kerja yang tak jelas. Ancaman PHK yang mengintai. Dan janji-janji hukum yang tak kunjung dijadikan keputusan.
Negara membanggakan pertumbuhan ekonomi. Tapi pertumbuhan itu sering berjalan sendiri. Ia tak menoleh ke tukang sapu, ke buruh garmen, ke pekerja tambang, ke perawat tanpa status ASN.
RUU PPRT masih tertahan. RUU Perampasan Aset digantung. Satgas PHK hanya ide. Dan pengawasan ketenagakerjaan berjalan seperti ritual yang tak punya otoritas.
Yang naik di papan indikator ekonomi adalah keyakinan pasar. Tapi yang jatuh di rumah-rumah sempit di pinggiran kota adalah keyakinan rakyat.
Tangga
Setiap orang ingin naik tangga hidup. Tapi bagi buruh, tangga itu sering kali miring. Mereka memulai dari bawah. Tapi tak ada yang menjamin akan sampai ke atas.
Sistem kontrak membuat mereka tak punya jenjang. Sistem outsourcing membuat mereka tak punya masa kerja yang diakui. Dan sistem pengupahan membuat mereka terus melangkah di tempat.
Kita sering bicara tentang meritokrasi. Tentang kerja keras yang akan dibalas. Tapi kenyataannya, kerja keras buruh dibayar dengan surat kontrak tiga bulan yang terus diperpanjang.
Tak ada jabatan. Tak ada promosi. Yang ada hanya penggantian kartu identitas perusahaan setiap kali diperpanjang. Nama perusahaan berubah. Nasib tetap sama.
Gaung
Buruh bersuara setiap 1 Mei. Tapi suara itu jarang menggema. Ia dipantulkan oleh tembok-tembok gedung tinggi. Ia ditelan oleh strategi pengamanan. Ia diliput, tapi tak ditindaklanjuti.
Media menulis headline. Politikus membuat pernyataan. Presiden hadir. Tapi besoknya, harga kebutuhan pokok naik. Besoknya, PRT tetap tidak punya kontrak. Besoknya, pekerja lepas tetap tanpa jaminan kesehatan.
Hari Buruh seharusnya bukan seremoni. Tapi sudah terlalu lama peringatan ini hanya jadi tanda baca—bukan paragraf baru dalam sejarah perburuhan kita.
Peluh
Kerja adalah peluh yang tak selalu dihargai. Ia bukan sekadar soal gaji. Tapi tentang martabat. Tentang waktu bersama keluarga yang terambil. Tentang tubuh yang lelah sebelum waktunya. Tentang masa depan yang tak bisa direncanakan.
Upah yang naik bukan berarti hidup jadi lebih baik. Karena saat upah naik, biaya hidup sering naik lebih dulu. Keseimbangan itu palsu. Dan yang membayar harga tertingginya adalah mereka yang tidak pernah bisa menolak kerja.
Kita bicara tentang produktivitas. Tapi tak pernah bicara tentang kesehatan mental buruh. Tentang tidur yang cukup. Tentang keamanan kerja. Tentang ruang tumbuh yang wajar.
Janji
Negara tak pernah kekurangan janji. Tapi janji, seperti juga panggung, harus dibongkar jika tidak digunakan.
Buruh tidak butuh dibela. Mereka butuh diperlakukan adil. Mereka tidak minta dikasihani. Mereka hanya ingin dihargai.
Upah bukan sekadar kompensasi kerja. Ia adalah bentuk penghormatan. Jika negara membiarkan upah tetap rendah, itu bukan semata soal ekonomi. Itu adalah pernyataan ideologis bahwa buruh tak penting.
Dan itu, dalam republik yang katanya demokratis, adalah pengkhianatan terhadap konstitusi.
Akhir
Setelah semua spanduk dilipat, setelah presiden turun dari panggung, dan setelah pengeras suara dimatikan, buruh kembali ke tempat mereka bekerja.
Mereka tetap datang pagi-pagi. Tetap menaati jam lembur. Tetap menerima gaji yang sama. Tetap menahan diri untuk tidak bersuara terlalu keras. Sebab terlalu banyak yang pernah dipecat hanya karena bersuara.
Dan negara? Mungkin sedang menyiapkan panggung tahun depan. (han)












