BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Universitas Diponegoro (Undip) tengah mengembangkan nano shogaol jahe sebagai ramuan antikanker. Kajian ini dilakukan selama tiga tahun, yaitu mulai 2020 sampai 2022. Penelitian jahe sebagai obat kanker ini didanai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
“Untuk tahun ketiga kami akan bekerjasama dengan orang-orang farmasi dan pemerintah untuk membuat obat herbal nano shogoal Jahe menjadi obat berbentuk kapsul sehingga mayarakat dapat membeli dengan mudah dengan harga terjangku. Semoga bisa membantu masyarakat khususnya orang-orang yang berjuang untuk sembuh dari penyakit kanker,” kata Ketua Tim Penelitian, Mohamad Endy Yulianto, S.T., M.T seperti dikutip PASJABAR dari laman undip, Sabtu (22/1/2022).
Ide lahirnya penelitian ini, katanya terkait keprihatinan mahalnya biaya kemoterapi yang harus ditanggung penderita kanker di Indonesia. Selain mahal, bahan baku yang dipakai pada proses penanganan pasien kanker 90 persen masih harus diimpor.
“Pengalaman adik kandung saya sendiri, saat melakukan kemoterapi dalam sebulan bisa mengeluarkan uang antara Rp 30 juta hingga Rp 60 juta, padahal biaya itu sudah ada diskon. Maka kita bisa bayangkan untuk membeli obat tersebut apabila secara finansial kurang mencukupi dapat memberatkan masyarakat,”
“Dari pengalaman itulah, saya mencoba mengupayakan memanfaatkan hasil alam di Indonesia yang sangat kaya manfaatnya salah satunya adalah tanaman Jahe. Dari situlah kami bersama tim melakukan pengembangan shogaol jahe melalui senyawa biokatif sebagai obat herbal untuk kemoterapi bagi para penderita kanker,” sambungnya dosen vokasi ini.
Kemandirian bangsa
Menurut dia, produksi nano shogaol jahe merupakan salah satu upaya peningkatan kemandirian bangsa dalam pemenuhan obat dan bahan baku obat yang berdaya saing tinggi. Produksi ekstrak senyawa aktif jahe, mampu meningkatkan harga produk hingga 80,8 kali lebih tinggi dibandingkan apabila dijual dalam bentuk rimpang jahe.
Perlu diketahui, produk-produk derivatif jahe seperti shogaol dan 6 gingerol di pasaran harganya sangat mahal, untuk shogaol Rp. 10.640.000/10 miligram, sedangkan gingerol Rp. 8.806.500/10 miligram. Padahal produk tersebut sangat dibutuhkan dalam proses kemoterapi.
“Untuk itu perlu pengembangan produk nano shogaol sebagai antikanker dengan pengembangan high efficient system fotoekstraksi-uv menggunakan pelarut air subkritis. Karena shogaol pada Jahe ini sangat luar biasa dan mampu mengembor kanker dengan adanya shogaol melalui bioaktif pada Jahe. Sehingga ini dapat membantu terapi untuk penyembuhan bagi para penderita kanker itu sendiri,” jelasnya.
Alasan shogoal jahenya dibuat nano, ia menjelaskan pada saat delivery obat tersebut ke dalam tubuh bisanya kalau sudah kemo tubuh sangat rentan dan akut dan kadang suhu tubuh tinggi dan tidak stabil. Sehingga untuk masuk ke dalam, obat itu belum sampai yang ditargetkan senyawanya bisa pecah duluan.
“Maka dari itu saya bersama tim mencoba mengubah senyawa shogaol untuk dinanokan dengan dilindungi dan dilapisi sehingga ketika menggunakan obat ini bisa sampai ke target yang dituju,” imbuhnya.
Proses pembuatan
Untuk mengubah nano, ada beberapa terobosan salah satunya dengan pengembangan high efficient system fotoekstraksi-uv menggunakan pelarut air subkritis. Metode ini juga memastikan kehalalan produk karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) sering menanyakan apakah obat itu menggunakan pelarut alkohol atau etanol.
Penggunaan pelarut sistem fotoekstraksi-uv dengan air subkritis diantaranya karena pelarut tidak bersifat toksik, pelarut murah, mudah diperoleh, ketersediaan melimpah, memiliki kemurnian tinggi. Dapat di-recycle dan mudah di-handling, memiliki polaritas yang mendekati polaritas alkohol, memiliki viskositas dan tegangan permukaan rendah, meningkatkan difusivitas hingga 10 kali dibanding air biasa, bahkan meningkatkan laju perpindahan massa, penyerapan dalam partikel matrik, dan selektivitas. (*/ytn)