BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Menuangkan persepsi pribadi terhadap seseorang ke dalam bentuk buku biografi, Ahda Imran memilih prosa sebagai bentuk karya tulisnya. Dengan mengandalkan pengetahuan mendalam terhadap Jais Darga sebagai tokoh utama, Ahda menuliskan novel autobiografi berjudul ‘Jais Darga Namaku’ yang dirilis pada 2018.
Di mata Ahda, Jais Darga bukan hanya perempuan pertama yang memiliki galeri seni, melainkan juga sosok menak sunda yang berhasil mendunia, dengan kemampuan sendiri.
“Bahkan Jais Darga berhasil ‘menundukan’ laki-laki, di tengah dominasi kaum adam di jagad Eropa. Hal itu yang bisa menjadi inspirasi bagi perempuan di Indonesia,” tutur Ahda.
Ahda memang mengenal Jais Darga dengan baik. Selama tiga tahun proses penulisan novel ‘Jais Darga Namaku’, Ahda mencoba berada di tengah-tengah kehidupan perempuan Sunda ini. Untuk melahirkan autobiografi ini, Ahda juga mempelajari benar bagaimana kehidupan anak muda pada 1970, perkembangan seni rupa dan perekonomian di Perancis.
“Hal ini perlu saya lakukan untuk bisa melihat dan merasakan langsung apa yang dialami Teh Jais saat itu,” tambahnya.
Ahda Membaca Surat Cinta Jais Darga
Bahkan Ahda dipersilahkan membaca surat cinta Jais Darga dan beberapa dokumen lain. Sudah sedemikian intens komunikasi Ahda, Jais dan keluarga besarnya, sehingga bagi Jais Darga, Ahda bukan lagi rekan kerja, namun lebih sebagai sahabat.
“Saya memang dimudahkan dengan surat-surat cinta dan dokumen lain milik Teh Jais yang masih disimpan rapi,” katanya.
Dalam karya ini, Ahda menolak ada intervensi bahkan dari sang tokoh.
“Apa yang saya tuangkan ini, semua murni mengenai persepsi saya terhadap Teh Jais. Mungkin akan berbeda jika orang lain yang menulis,” tuturnya.
Meski demikian, Ahda memperislahkan Jais untuk mengoreksi data dan kisah yang terkait dengan orang lain. Karena bagaimanapun juga dalam menulis autobiografi pasti melibatkan orang lain dalam penulisannya.
“Jadi setiap saya menyelesaika satu bab, saya akan meminta Teh Jais mengecek dan mengoreksi jika ada data yang salah. Dan jika ada kisah orang lain yang tidak boleh dipublikasi, maka akan diedit,” jelasnya.
Di sisi lain, Jais Darga memepersilahkan Ahda untuk mengetahui kehidupannya lebih dekat. Bukan hanya karirnya sebagai art dealer, namun juga kehidupan pribadinya. Bahkan dengan ibunya.
“Bahkan saya mengenal ibu saya, melalui buku ini. Demikian juga dengan ibu saya, mengenal saya lebih jauh dari buku ini,” terang Jais.
Jais juga menceritakan, bagaimana sang ibu menangis setelah membaca buku ini, karena menegtahui apa yang dirasakan Jais, demikian juga sebaliknya.
Menurut Jais, sebenarmya niat awal membuat buku ini, hanya untuk kebutuhan dokumentasi keluarga besar. Bahkan awalnya hanya dicetak sebanyak 500 copy, hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal pencetakan buku.
“Ini awalnya hanya untuk keluarga dekat, dan untuk Mamih,” katanya.
Tak disangka, buku ini ditermia masyarakat luas, bahkan sekarang terjual laris di pasaran.
Ada kepuasan dalam diri Jais Darga setelah berhasil meraih kesuksesan yang ditandai dengan kemandirian finansial dan bagaiamana pencapaianya di dunia yang digelutinya, sehingga tidak bisa dinilai dengan materi. Karena awalnya, apa yang dia lakukan ini hanya untuk menyenangkan ibunya.
“Saya senang bisa membahagiakan orang tua terutama ibu saya. Tidak ada rasa jumawa dalam diri saya, hanya perasaan senang bisa membahagiakan orang tua,” pungkasnya. (put)