Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Secara eksplisit, Al-Quran banyak mengungkap kata-kata “khalifah” yang dalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai pemimpin. Istilah yang sepadan dengan “khalifah” yang sering digunakan dalam literatur politik Islam adalah amir atau sultan yang mengandung arti pemimpin atau wakil Allah dalam memelihara alam semesta. Sebab, manusia mendapat amanat kehormatan sebagai wakil Allah di muka bumi dan atas dasar kehormatan itu, ia harus memelihara dan melindungi alam semesta, bukan sebaliknya merusak atau mengeksploitasi kekayaan alam semesta.
Kepemimpinan (leadership) telah menjadi salah satu kajian sosiologis, baik yang bersifat makro maupun yang bersifat mikro. Secara sosiologis, kepemimpinan adalah suatu proses atau fungsi dari suatu peran yang memerintah. Oleh karena itu, menurut para ahli sosiologi, kepemimpinan harus meliputi tiga fakta:
- pemimpin dengan karakteristik psikologinya,
- para pengikut dengan masalah, sikap dan kebutuhannya,
- situasi kelompok yang mana pemimpin dan pengikut saling berinteraksi.
Jelasnya, kepemimpinan itu tidak harus diarahkan atau diorientasikan pada pencapaian tujuan organisasi (Hersey, 1969: 111)
Pemimpin dalam Islam
Kendatipun demikian, kepemimpinan itu selalu ada dalam setiap usaha kelompok dan memiliki posisi strategis dalam kegiatan kelompok atau organisasi. Kepemimpinan merupakan potensi atau kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mcnggerakkan dan mengarahkan orang-orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
Kepemimpinan dalam Islam mempunyai aspek tersendiri di antara berbagai aspek kehidupan yang disorot oleh Al-Quran dan Al-Hadis. Dalam praktik ibadah formal yang dimanifestasikan melalui ibadah shalat berjamaah yang terdiri atas imam dan makmum sampai masyarakat terkecil di dalam keluarga, pemimpin dan kepemimpinan ini berperan sekali. Bahkan, Islam memandang setiap individu adalah pemimpin, yang setidak-tidaknya (dalam batas yang paling minimal) ia akan mempertanggungjawabkan seluruh aktivitas dirinya di hadapan Allah.
Dasar-dasar yang mengangkut pemimpin dalam Islam telah digariskan, baik dalam Al-Quran maupun dalam Al-Hadis, antara lain hadis Rasulullah SAW., “Apabila tiga orang bepergian, jadikanlah salah seorang di antara mereka untuk menjadi pemimpin.” (H.R. Abu Hurairah). Hadis tersebut menyatakan bahwa Rasulullah SAW mewajibkan umatnya untuk mengangkat seorang pemimpin dalam suatu jamaah yang begitu kecil dan bersifat sementara yaitu dalam bentuk perjalanan, berskala apalagi bila dalam suatu komunitas atau jamaah yang skalanya besar. Sebab, “amar ma’ruf nahi munkar” tidak akan dapat terlaksana dalam suatu kelompok masyarakat, melainkan dengan menggunakan kekuatan jamaah dan pemimpin.
Konsep Kepemimpinan
Konsep kepemimpinan tersebut mengisyaratkan keharusan umat Islam untuk memilih dan mengangkat pemimpin yang dapat membimbing kehidupannya. Secara teologis, ayat-ayat Al-Quran menegaskan agar seorang muslim hanya memilih pemimpin dari kalangannya sendiri. Namun, pada praktiknya, dalam kehidupan sosial politik, faktor lingkungan budaya amat mempengaruhi dalam pola penjaringan seorang muslim sehingga antara satu daerah dan daerah lainnya melahirkan formula yang amat berbeda sebab dimensi sosial budaya ikut membentuk Tumusan ajaran agama yang dalam ilmu-ilmu kcislaman sering disebut sebagaimana ilmu fiqih. Dalam soal kepemimpinan, keterkaitan antara keduanya melahirkan disiplin ilmu fiqih siyasah.
Ayat Al-Quran yang dijadikan dasar kepemimpinan, sekaligus dijadikan dasar ketaatan para pengikut terhadap pemimpinnya adalah:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang berkuasa di antara kamu, maka sekiranya di antara kamu berbantahan dalam suatu perkara hendaklah kamu kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Q.S. An-Nisa [4] : 59)
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang terpilih, wajib diikuti dan ditaati selama tidak keluar dari garis ajaran serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Apabila terjadi perselisihan di antara mereka, hendaklah dikembalikan kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (As-Sunnah).
Kedudukan Pemimpin
Kedudukan seorang pemimpin adalah di bawah kepemimpinan Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, dalam Islam, kepemimpinan secara berturut-turut setelah Allah dan Rasul-Nya harus ditaati. Keberadaarr nya di tengah-tengah umat hendaknya berfungsi sebagai wakil Allah untuk menyampaikan dan memelihara terlaksananya setiap ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Keharusan taat kepada seorang pemimpin tidak berarti bahwa para pengikutnya tidak dapat mengkritisi kepemimpinan yang diperankannva. Fungsi kontrol harus tetap dimainkan. Terlepas dari persoalan apakah fungsi kontrol itu harus terlembaga atau tidak, Islam tetap mengisyaratkan setiap individu untuk melakukan kontrol terhadap berbagai kemunkaran fermasuk kemunkaran yang dilakukan oleh para pemimpin.
Pemimpin Kehendak Umat
Oleh karena itu, dalam Islam kepemimpinan tidak lahir atas kehendak sendiri, melainkan atas kehendak umat. Sebab kepemimpinan merupakan bagian dari kehidupan. Ia lahir karena adanya kenyataan bahwa massa membutuhkan seseorang untuk memimpin mereka, dan mereka pun menerima kehadirannya untuk menjamin hak-hak individu dan memelihara keutuhan sosial yang mengikat kebersamaannya. Dengan demikian, seorang pemimpin haruslah menjadi bagian tak terpisahkan dari bangunan masyarakat yang dipimpinnya.
Rasulullah SAW mensyaratkan “cinta kasih” untuk memelihara legitimasi kepemimpinan. Atas dasar kekuatan teologis yang menjadi akar cinta kasih inilah, relasi-relasi fungsional antara manusia dapat terwujud. Demikian pula kesatuan sosiologis antarindividu yang pada akhirnya membentuk suatu kelompok atau society terbentuk dari kesepakatan rasional untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya. Manusia sendiri terlahir dari proses cinta kasih yang dipancarkan dari kekuatan rahman dan rahim-Nya. (han)