Oleh: Ketua Umum Paguyuban Pasundan Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si.
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Seperti warga lingkungan budaya lain, orang Sunda pada umumnya tetap bekerja pada bulan Ramadan. Kegiatan berpuasa, sebagai salah satu manifestasi dari komitmen religius, tidak dijadikan alasan untuk mengurangi produktivitas. Dalam bahasa Sunda, misalnya, ada ungkapan “fardu kasambut, sunat kalampah” (tugas wajib terlaksanakan, tugas tambahan tidak ditinggalkan).
Di lingkungan budaya Sunda sebenarnya kegiatan berpuasa mempunyai dasar tradisinya sendiri, yang boleh jadi sudah terbentuk sejak zaman sebelum meresapnya nilai-nilai Islam. Dalam hal ini, kita dapat memperhatikan tradisi mengadakan upacara kawalu di ulayat Kanekes, Banten.
Sebagaimana yang dipaparkan dalam Ensiklopedi Sunda (2000), upacara itu diselenggarakan setiap selesai panen ketika padi telah dimasukkan ke dalam leuit (gudang). Untuk merayakannya, warga Kenekes berburu di hutan dan menjaring ikan di sungai. Patut dicatat, hasil tangkapan mereka kemudian dijadikan lauk pauk untuk berbuka puasa. Singkatnya, di Kanekes pun masyarakat terbiasa berpuasa.
Kita dapat menginterpretasikan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut dalam kaitannya dengan etos kerja Ki Sunda. Padi yang dipanen dan disimpan dalam leuit jelas merupakan simbol produktivitas, buah keringat masyarakat yang giat bekerja dari hari ke hari. Dengan terkumpulnya hasil kerja keras itu, masyarakat tidak berfoya-foya, menghambur-hamburkan rajakaya untuk kegiatan yang sia-sia.
Sebaliknya, hasil kerja keras itu disimpan baik-baik di dalam tempat yang tertutup, bahkan sakral, sebagai cadangan kekuatan atau ketahanan pangan menjelang masa-masa yang akan datang. Pada momen inilah mereka berpuasa, mungkin sebagai ungkapan syukur tersendiri kepada kekuatan adikodrati yang senantiasa nangtayungan mereka.
Dengan kata lain, secara tradisional, kegiatan berpuasa turut memberikan tekanan tersendiri pada tercapainya tingkat produktivitas tertentu,
Kegiatan berburu di hutan dan menjala ikan di sungai, yang hasil. nya akan dijadikan santapan berbuka puasa itu pun jelas merupakan kerja keras tersendiri. Sepertinya, dari tradisi itu ada pesan yang menegaskan bahwa jika orang tidak mau bekerja, mustahil orang bisa berbuka puasa.
Yang tidak kalah pentingnya untuk dicatat adalah pesan tersirat yang menekankan bahwa kegiatan berpuasa itu sendiri diwarnai dengan kerja keras mencari, mengumpulkan, dan mengolah bahan pangan. Islam sendiri mewajibkan umatnya melaksanakan puasa atau saum pada bulan Ramadan dengan tujuan yang sesungguhnya bersifat spiritual ketimbang fisikal.
Dengan demikian, dapat kiranya kita merumuskan sebentuk titik persenyawaan antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai budaya Sunda. Nilai-nilai Islam telah memberikan inspirasi tentang betapa pentingnya disiplin diri melalui saum sebagai manifestasi dari kepatuhan kepada Allah SWT. Di pihak lain, nilai-nilai budaya Sunda memberikan dasar-dasar tradisi yang memperlihatkan betapa kegiatan berpuasa sesungguhnya melekat erat pada kegiatan bekerja yang produktif.
Oleh karena itu, jika Ki Sunda berleha-leha pada bulan Ramadan, ja sesungguhnya mengkhianati nilai-nilai warisan karuhun-nya sendiri.Dalam budaya Sunda, maca, macul, macakal (membaca, bekerja, dan mengandalkan tenaga sendiri) adalah rawayan (jembatan) menuju kesejahteraan sosial. (han)